IKS Pro Patria

SEJARAH

Terlahir dari pembelaan  terhadap kaum yang lemah, membuat seorang pemuda bernama Victor Lie Kuang Hwa (Koh Hwa) lahir di Pamekasan Madura tanggal 10 Mei 1938 memutuskan untuk mendirikan  perguruan yang bernama Ikatan Keluarga Kuntauw Pro Patria. Pada suata mula Koh Hwa sedang berjalan di tengah keramaian kota lalu beliau melihat seorang kaum yang lemah ditindas oleh seorang pemuda yang sedang mabuk berat dan Koh Hwa pun berniat untuk menolong kaum tersebut dan secara tidak sengaja Koh Hwa refleks menghadapi pemuda yang sedang mabuk tersebut, Koh Hwa pun mengeluarkan ilmunya yang secara turun temurun oleh keluarganya. Di awal kejadian tersebut banyak penduduk yang minta di ajarkan kung fu oleh Koh Hwa, Koh Hwa sendiripun sudah berlatih kung fu sejak 12 tahun yang dilatih oleh ayahnya sendiri bernama Lie Gun Yin, adalah seorang pendekar kungfu aliran shaolin. Lie Gun Yin adalah putra dari Lie Chen Ciao alias Lai Yun Chiu, salah seorang dari  “10 Harimau Kwantung/Kanton” seangkatan dengan Wong Kei Ying, ayah Wong Fei Hung. Koh Hwa pun mulai mengajar kung fu mulai tahun 1963 sampai tahun 1970 di rumahnya sendiri di jalan Trunojoyo no 10 Madiun.

Pada awal tahun 1971, para murid yang merasakan manfaatnya dan masih setia mengkuti latihan berupaya mendesak Koh Hwa untuk mendirikan suatu perguruan yang resmi. Maka pada tanggal 28 oktober 1971 di Madiun didirikanlah perguruan yang bernama “Ikatan Keluarga Kuntauw Pro Patria”. Pro Patria sendiri yang berarti “Untuk Tanah Air (Indonesia)”. Agar dapat lebih mengembangkan perguruan, diusahakanlah untuk bergabung dengan salah satu induk organisasi bela diri yang ada. Warna bela diri yang hampir mirip dengan Pro Patria adalah pencak silat (pada saat itu belum ada Persatuan Wushu Indonesia). Akhirnya Pro Patria bergabung dengan IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) cabang Madiun. Untuk dapat diterima menjadi anggota IPSI, nama “Kuntauw” diubah menjadi “Silat”, tanpa mengubah hakikat ilmu beladiri yang harus dikaji anggotanya. Akhirnya, Pro Patria resmi menjadi anggota IPSI cabang Madiun pada tanggal 11 Juni 1975, dengan nama “Ikatan Keluarga Silat Pro  Patria”. Koh Hwa selalu berpegang pada falsafah RNg. Ronggowarsito: Sabar, tawakal, eling, narimo, lan waspada

FILOSOFI DAN ILMU

            Ilmu silat terbagi dalam dua golongan yaitu : Nui Kung dan Way Kung. Nui Kung adalah ilmu silat yang menggunakan 10% tenaga dan 90% kelembutan. Ilmu ini cocok dengan orang yang bertubuh kecil dan lemah, karena mereka mempunyai kelincahan, ulet dan kecerdasan. Way Kung adalah ilmu silat yang menggunakan kekerasan, tetapi hal tersebut tidak mutlak, karena ilmu silat ini juga menjadi bagian dari ilmu kelembutan sebagai induknya. Pada Way Kung terdapat 70% kekerasan dan 30% kelembutan. Pedoman pesilat aliran Way Kung adalah keras lawan keras, karena bukan saja tenaga mereka besar, namun tulangnya pun keras bagai besi dan ototnya besar kelihatan nyata. Para pesilat Way Kung umumnya adalah orang yang bertubuh kuat dan tinggi besar. Nui Kung tingkatannya lebih tinggi dari pada Way Kung, karena merupakan penghalusan atau penyempurnaan dari Way Kung.

Ilmu silat Kung Fu dibagi menjadi dua aliran besar, aliran Utara yang berkembang di utara sungai Jang Ciang, dan aliran Selatan yang berkembang di selatan sungai Jang Ciang. Ilmu silat aliran utara lebih mengutamakan kaki sebagai jurus andalan, dan aliran selatan lebih mengandalkan jurus-jurus tangan. Tetapi tidak berarti jurus tendangan kaki aliran selatan kalah mutunya dibanding aliran utara, dan sebaliknya. Pada aliran selatan ada beberapa yang mengutamakan jurus tendangan, dan pada aliran utara juga ada yang mengutamakan permainan tangan.

Ilmu beladiri Pro Patria disusun secara ilmiah dan memperhatikan kepraktisan dengan bersendi pada Kungfu (hasil dari latihan yang serius dan tekun). Ilmu yang diajarkan telah diramu sedemikian rupa sehingga merupakan perpaduan Kungfu Utara dan Kungfu Selatan. Berbagai latihan tersebut dimaksudkan untuk melatih empat aspek penting yaitu: Bela Diri (melindungi diri dan orang lain yang membutuhkan), Olah Raga (untuk kesehatan dan kebugaran), Seni (untuk keindahan gerak yang terpadu dan dihayati benar-benar), dan Mental (ketekunan, kesabaran, ketenangan, keuletan dan kebijaksanaan). Sejalan dengan bertambahnya usia perguruan ini dan menyesuaikan kebutuhan warganya, PRO PATRIA pun terus berkembang. Bagi PRO PATRIA, bela diri tidak lagi  hanya bermakna kemampuan membela diri seperti mengelak, menangkis, dan jika perlu membalas serangan lawan, tetapi juga membela diri secara utuh seperti kemampuan menangkal penyakit dan atau penyembuhannya. Ilmu pernafasan yang sejak awal diberikan ke pada warganya adalah salah satu contoh ilmu pernafasan yang dimiliki  PRO PATRIA yang mampu memelihara diri mereka dari berbagai serangan dari luar dirinya. Berbagai hasil latihan telah dirasakan oleh banyak warga, dari penyembuhan sakit sesak nafas, migrain, rematik, gangguan tekanan darah, dan masih banyak lagi.Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali penggemar ilmu silat yang tidak dapat mencapai cita-citanya menjadi benar-benar memiliki kemahiran ilmu silat karena cara pandang yang tidak benar. Mereka cuma mengejar status tingkatan yang tinggi dan ijasah, sehingga berlatih hanya sekedar untuk memenuhi target nilai ujian saja. Tinggi-rendahnya kepandaian ilmu silat seseorang tergantung pada masak tidaknya inti-inti ilmu silatnya. Apa tingkatannya dan macam apa ilmu silat yang telah dipelajarinya tidak menjadi prinsip. Ada peribahasa dalam persilatan bahwa untuk menjadi ahli silat yang tangguh perlu memiliki: pertama keberanian, kedua kekuatan, dan ketiga jurus-jurus yang masak inti-intinya.  I Tan, Êr Li, San Kung Fu.

JURUS-JURUS KUNGFU PRO PATRIA

Walaupun dalam Pro Patria warna utama jurusnya adalah Harimau, seperti ditunjukkan dalam lambangnya, tetapi juga dipelajari berbagai warna jurus binatang:

  1. Jurus Harimau (Hu) – menekankan kekuatan pukulan dan tendangan, dapat menghindar sambil menyerang ke seluruh tubuh lawan.
  2. Jurus Kera (Hou ce’) – menekankan kelincahan gerak, penggunaan akal dalam kondisi apapun, bisa menjatuhkan lawan menggunakan kekuatan lawan sendiri.
  3. Jurus Macan Tutul (Pa) – tidak terlalu mengutamakan kekokohan fisik tapi kegesitan, pukulan dan tendangan mengarah ke tubuh lawan dengan lebih spesifik.
  4. Jurus Naga (Lung) – lebih banyak menggeliat dan mematuk dengan kuat, menonjolkan sifat kejantanan.
  5. Jurus Ular (Coa) – mengutamakan olah pernapasan, sehingga walau awalnya tampak lemah begitu mendapat sasaran tepat akan berakibat fatal. Lebih banyak menampilkan kelenturan.
  6. Jurus Bangau (Hoo) – mengutamakan ketenangan dan kewaspadaan, walau gerak tampak lamban tapi pada saat yang tepat serangan dapat dilakukan dengan cepat dan tiba-tiba.
  7. Jurus Belalang (Thang lang) – mengandalkan kegesitan, gerak tangan dan kaki bisa serempak, dan kuda-kuda kokoh.

Latihan di Pro Patria dibagi dalam berbagai  tingkatan-tingkatan yang disebut tingkat perintis. Secara keseluruhan tingkatan latihan dalam Pro Patria yaitu :

1.   Program Perintis I : Sabuk Putih, 6 bulan.
Materi : Hwa Jien (Jurus panjang), Toan Ta (jurus pendek) Tui Fa (jurus tendangan) Perintis 1 dan Hwa Jien Pro Patria

2.   Program Perintis II : Sabuk Kuning, 6 bulan.
Materi : Hwa Jien,Toan Ta dan Tui Fa Perintis 2 dan Panca Tunggal 1 (U Sien Jien/Wu Xing Chuan

3.   Program Perintis III : Sabuk Hijau Muda, 6 bulan.
Materi : Hwa Jien, Toan Ta dan Tui Fa Perintis 3 dan Panca Tunggal 2

4.   Program Perintis IV : Sabuk Hijau Tua, 6 bulan
Materi : Hwa Jien, Toan Ta dan Tui Fa Perintis 4 dan Panca Tunggal 3.

5.   Program Pendekar Muda : Sabuk Biru
Materi : Meng Hu Sia San Jien (Jurus Harimau Galak Turun Gunung)
Meng Hu Juk Tong Jien (Jurus Harimau Galak Keluar Sarang)
Jurus Pisau Tunggal dan berpasangan
Meng Hu Twee Ta (Jurus harimau galak – berpasangan)
4 Naga tanah.

6.   Pendekar Muda : Sabuk Coklat.
7.   Pendekar : Sabuk Hitam.
Selain sabuk tersebut diatas, juga ada sabuk berwarna merah, yang dikenal sebagai sabuk warga. Sabuk ini digunakan bila ada acara diluar latihan rutin, seperti acara demo, long march, dll. Lama waktu dari masing-masing tingkatan Perintis yaitu 6 bulan, sedangkan pada program pendekar muda dan seterusnya tergantung penilaian dari Dewan Pendekar, biasanya masing-masing paling tidak 4 tahun.Ada juga materi tersebut diatas, juga diajarkan jurus Lou Han, Jang Jien (Chang Quan) tradisional (berbeda dengan Wushu), T’ai Chi Chuan, Bagua, Xing Yi, Baduanjin/Pa Twan Cing (8 helai sutra) dan lain-lain.

MAKNA LAMBANG

Lambang Pro Patria

pakwa

 

  1.  Bentuk segi delapan;  merupakan garis titian pesilat dalam praktek Loan Ta ilmu bela diri PRO PATRIA
  2. Warna Merah Putih dalam segi delapan melambangkan bendera Indonesia.
  3. Seorang pendekar penuh kewaspadaan, melambangkan bahwa seorang pendekar akan tetap selalu waspada dan mawas diri dalam melakukan segala tindakan.
  4. Harimau
    1. Pendekar harus memiliki sifar pemimpin yang agung, penuh tanggung jawab dan haram melakukan tindakan tercela.
    2. Warna ilmu PRO PATRIA adalah gerak harimau
    3. Garis-garis simbol
      1. Warna garis simbol merah: pesilat harus memiliki keberanian dan hidup yang dinamis
      2. Warna dasar titian kuning; Pesilat harus mempunyai budi pekerti luhur dan ilmunya hanya untuk membela diri semata.
      3. Garis delapan trigram: pesilat harus memelihara , menjaga, dan membela tanah airnya

Lambang Kungfu

kung-fu-cilik

  1. Atap Kuil/Biara: Seni bela diri PRO PATRIA berakar dari ilmu bela diri kung fu Shaolin.
  2. Perisai: Bela diri digunakan untuk membela diri
  3. Kepal tangan dan kuda-kuda: Ilmu PRO PATRIA menganut 2 aliran kung fu (aliran utara dan selatan)
  4. Lingkaran di atas kepal: diatas kemampuan manusia masih ada yang lebih tinggi dan menguasai manusia yaitu Tuhan.

Seragam

imogiri

  1. Baju:  Warna puith bermakna bersih, suci, dan tulus. Warna Merah bermakna hidup, berani, dan dinamis. Jadi, di dalam kesudian dan ketulusan hati ada keberanian yang jika perlu saja ditampakkan. Keberanian tidak untuk dipamerkan karena harus disimpan dalam ketulusan jiwa.
  2. Celana: Warna hitam bermakna tenang, sederhana dan lugas. Yang tampak adalah kesederhanaan dan kentenangan dalam bertindak dan bersikap.

Laporan Praktikum Industri Ternak Unggas Acara Kunjungan Perusahaan

LAPORAN PRAKTIKUM INDUSTRI TERNAK UNGGAS

KUNJUNGAN PERUSAHAAN

(Sinar Permata Farm)

 

Disusun oleh :

Nurus Sobah

13/349268/PT/06587

Kelompok XXIX

Asisten Pendamping : Ardian Priyono

LABORATORIUM ILMU TERNAK UNGGAS

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015


 

Laporan Praktikum Industri Ternak Unggas

Kunjungan Perusahaan

(Sinar Permata Farm)

 

Profil Perusahaan

            Praktikum Industri Ternak Unggas pada acara kunjungan perusahaan kali ini dilaksanakan di peternakan Sinar Permata Farm yang berada di daerah Cangkringan, kabupaten Sleman. Peternakan Sinar Permata Farm bergerak di bidang perunggasan, khususnya atam layer atau yang biasa disebut dengan ayam petelur. Peternakan Sinar Permata Farm terletak di lokasi yang memiliki temperatur udara yang cukup dingin dan terletak jauh dari pemukiman penduduk. Peternakan tersebut didirikan pada tahun 1982 oleh Bapak Novertus Yudianto Y. dengan populasi ayam sebanyak 2000 ekor dengan jumlah hanya memiliki satu kandang. Seiring berjalannya waktu, peternakan tersebut terus berkembang hingga sekarang memiliki lahan seluas 2 hektar dengan kandang sejumlah 31 kandang dengan jumlah populasi tiap kandang adalah 2080 ekor ayam, sehingga total populasi seluruh ayam petelur yang ada di peternakan Sinar Permata Farm adalah sejumlah 60.000 ekor ayam. Fasilitas yang ada di peternaka Sinar Permata Farm meliputi Kantor yang digunakan oleh manajer bekerja, kamar mandi untuk mandi dan buang air besar, dapur, gudang pakan untuk menyimpan pakan ternak, gudang telur untuk menyimpan telur yang sudah dikumpulkan, gudang alat digunakan untuk menyimpan perlengkapan dan peralatan dari peternakan tersebut, dan juga tempat istirahat.

 

Manajemen Pemeliharaan

            Bibit. Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa bibit yang digunakan untuk peternakan Sinar Permata Farm adalah jenis Lohman yang langsung didatangkan dari Multi Breeder (MB). Lohman Brown  memiliki karakteristik bulu berwarna coklat, perutnya lunak, kloaka bulat telur, lebar, basah kelihatan pucat, badan agak memanjang, tubuh penuh, punggung luas, dan bentuk kepala bagus dengan jengger berwarna merah cerah (Yupi, 2011). Peternakan tersebut membeli bibit dan dipelihara sendiri sejak umur satu hari dengan harga bibit adalah Rp 3.200 per ekor untuk usia bibit satu minggu. Bibit dipelihara hingga berumur 17 minggu dan kemudian setelah berumur 17 minggu bibit tersebut dipindahkan ke kandang produksi untuk menggantikan ayam yang sudah berproduksi rendah untuk dilakukan culling atau pengafkiran.

Populasi. Peternakan Sinar Permata Farm pada awal pendirian hanya memiliki ayam dengan jumlah 2.000 ekor ayam, kemudian terus berkembang hingga sekarang memiliki populasi ayam petelur sejumlah 60.000 ekor yang terbagi ke dalam 31 kandang dengan masing-masing kandang sejumlah 2.080 ekor ayam. Saat terjadi erupsi Merapi, banyak ayam yang ada di peternakan tersebut mati, diperkirakan ayam yang mati hingga berjumlah 5.000 ekor ayam.

Umur Produksi. Berdasarkan hasil dari praktikum yang telah dilakukan didapatkan data bahwa umur produksi ayam petelur di peternakan Sinar Permata Farm adalah dimulai sejak bibit ayam dipindahkan ke dalam kandang produksi yaitu ketika berumur sekitar 17 minggu dengan bobot ayam kira-kira sudah mencapai sekitar 1,85 kg per ekor ayam. Puncak produksi ayam petelur di peternakan tersebut adalah ketika ayam berumur sekitar 21 minggu dan kemudian ayam tersebut dilakukan culling atau pengafkiran ketika sudah berumur lebih dari 85 minggu atau rata-rata sekitar umur 90 minggu. Menurut Zulfikar (2013), umumnya produksi telur yang terbaik akan diperoleh pada tahun pertama ayam mulai bertelur. Produksi telur pada tahun-tahun berikutnya cenderung akan terus menurun. Dewasa ini yang dianggap lingkaran produksi yang optimal adalah ayam-ayam umur 1,5 sampai 2 tahun. Ayam petelur yang lebih dari 2 tahun tidak ekonomis lagi, sebab mereka tak mampu mengimbangi lagi makanan yang dihabiskan. Itulah sebabnya maka ayam-ayam yang sudah mencapai umur 2 tahun harus diafkir. Penundaan pengafkiran berarti mengurangi keuntungan.

Jumlah Produksi per Hari. Jumlah produksi telur yang dihasilkan di peternakan Sinar Permata Farm adalah sekitar 3,7 ton per hari dari total populasi ayam petelur sekitar 60.000 ekor ayam petelur. Krista dan Bagus (2013) menyatakan bahwa produksi telur ayam layer yaitu antara 200 hingga 250 butir per ekor per tahun. Berat telur berkisar antara 50 sampai 60 gram.

 

Manajemen Kandang

            Model Kandang. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diketahui bahwa model kandang yang ada di peternakan Sinar Permata Farm adalah jenis kandang panggung dengan model atap semi monitor. Ukuran dari kandang tersebut adalah panjangnya 28 m, lebar 3 m, tinggi 4 m, dan jarak antar kandang adalah 3,5 m. Menurut Murni (2009), bentuk atap kandang biasanya adalah monitor, semi monitor, shade atau miring, gable, dan sawtooth.

Populasi per Kandang. Peternakan Sinar Permata Farm memiliki jumlah populasi ayam per kandang sekitar 2080 ekor dengan jumlah kandang di peternakan tersebut sebanyak 31 kandang. Menurut Murni (2009), kapasitas kandang perlu mendapat perhatian dalam perencanaan kebutuhan kandang karena erat hubungannya dengan kepadatan kandang, dan kondisi ini juga berhubungan dengan iklim mikro kandang. Penggunaan kandang harus disesuaikan dengan kapasitasnya. Populasi yang terlalu padat menyebabkan ayam akan stress, sehingga menurunkan produksi, disamping ini juga akan berpengaruh pada efisien penggunaan pakan. Sedangkan populasi yang terlalu kecil akan menyebabkan kandang kurang efisien penggunaannya dan akan berpengaruh juga pada pertumbuhan bobot badannya yang kurang optimal disebabkan ayam banyak bergerak atau jalan-jalan. Faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan kandang yaitu temperatur lingkungan, tipe kandang, ukuran ayam, dan umur ayam.

Jarak Antar Kandang. Kandang yang ada di peternakan Sinar Permata Farm memiliki banyak sekali kandang, sehingga perlu dilakukan pengaturan kandang agar memudahkan manajemen dari kandang tersebut. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diketahui bahwa jarak antar kandang di peternakan tersebut adalah sekitar 2,5m sampai 3m. Jarak antar kandang sangat berpengaruh terhadap produktivitas ayam petelur karena berkaitan dengan sirkulasi udara di daerah kandang, selain itu juga jarak antar kandang yang ideal berhubungan dengan menghindari penularan penyakit antar tiap kandang. Menurut Murni (2009), jarak antar kandang satu dengan yang lainnya sebaiknya berjarak 7 m sampai 8 m.

Jumlah Kandang. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa jumlah kandang yang ada di peternakan Sinar Permata Farm berjumlah 31 kandang yang semuanya digunakan untuk produksi ternak ayam petelur. Jumlah kandang dipengaruhi oleh tujuan dari pemeliharaan serta keuntungan yang diharapkan dari peternakan itu sendiri. Semakin banyak ternak yang dipelihara maka semakin banyak kandang yang dibutuhkan.

 

Manajemen Pakan

            Pakan. Pakan yang diberikan di peternakan Sinar Permata Farm berupa pakan konsentrat, bekatul, jagung, dan obat. Pakan konsentrat dibeli dengan harga Rp 7.600 / kg, pakan bekatul dibeli dengan harga Rp 2.600 /kg, dan pakan jagung dibeli dengan harga Rp 3.000 /kg sedangkan obat yang digunakan dalam campuran pakan adalah obat jenis biovit yang didapat dari Boyolali yang berfungsi untuk mengurangi bau dari ekskreta yang dihasilkan, obat miko yang didapat dari Solo yang berfungsi untuk memberikan warna telur, dan biofos yang didapat dari Semarang yang berfungsi untuk pembentukan cangkang dari telur ayam. Menurut Hardjosworo (2000), penggunaan maksimal jagung kuning dalam ransum adalah 50% sampai 60%. Jagung kuning digunakan dalam jumlah besar dalam penyusunan ransum karena jagung kuning merupakan sumber energi yang baik. Bekatul biasanya bercampur pecahan-pecahan halus dari menir lebih sedikit mengandung kulit dan selaput putih serta berwarna agak kecoklatan. Menurut Murtidjo (1992), kebutuhan akan mineral memang tidak terlalu besar tetapi peranannya sangat penting sekali. Penggunaan premix yang dicampurkan pada komposisi pakan unggas, secara umum dianjurkan dengan dosis 100 sampai 200 gram untuk 100 kg pakan. Hal ini disebabkan karena premix adalah bahan sintetis selain itu juga dilihat dari segi ekonomisnya.

Metode Pemberian. Pemberian pakan yang dilakukan di peternakan Sinar Permata Farm dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pagi dan sore hari. Pagi diberikan pada pukul 06.30 WIB dan sore hari diberikan pada pukul 13.00 WIB. Bahan pakan yang ada berupa konsentrat, bekatul, jagung dan obat dicampur dengan ketentuan proporsi untuk konsentrat 35% (70 kg), bekatul 15% (30 kg), dan jagung 50% (100 kg). Proporsi 5% dari konsentrat merupakan campuran dari obat-obat yang diberikan yaitu berupa biovit, miko, dan biofos. Pakan yang diberikan pada ternak ayam petelur berupa campuran dari bahan pakan tersebut dan diberikan dalam bentuk crumble dan diberikan secara merata kepada tiap-tiap ternak ayam.  Menurut Kartadisastra (2008), metode every basis yaitu metode pemberian pakan dalam jumlah yang cukup dan sesuai dengan kebutuhannya. Metode ini cocok diterapkan pada pemeliharaan ayam potong (broiler) dan ayam petelur yang menghasilkan telur konsumsi (commercial layer).

Jumlah Pemberian. Jumlah pakan yang diberikan untuk ayam petelur pada peternakan Sinar Permata Farm adalah sejumlah 126 gram/ekor/hari dengan proporsi pada pagi hari 40% dan sore hari 60%. Jumlah pakan 126 gram tersebut sudah mengandung konsentrat 35%, bekatul 15% dan jagung 50%.

 

Manajemen Penanganan Penyakit dan Lingkungan

            Vaksinasi. Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (attenuated) (Puspitasari, 2009). Vaksinasi dilakukan untuk mencegah penyakit merugikan yang disebabkan oleh virus (Soeripto, 2002). Berdasarkan hasil praktikum diketuhui bahwa pada peternakan Sinar Permata Farm diberikan dalam bentuk minum dan juga suntik atau injeksi. Vaksin yang diberikan dalam bentuk minuman adalah vaksin jenis ND Lasota yang diberikan setiap 30 hari sekali dengan dosis 4 vaksin untuk 2000 ekor ayam, kemudian vaksin jenis IB yang diberikan setiap 2 bulan sekali. Vaksin jenis suntik yang diberikan untuk ayam petelur berupa vaksin Coryza dan vaksin jenis AI yang sama-sama diberikan sebanyak 4 kali pengulangan dalam sekali masa produksi, kemudian vaksin jenis ND kill, ND ID EDS kill, dan ND IB yang masing-masing diberikan secara berurutan. Menurut Nataamijaya (2005), pencegahan penyakit tetelo (newcastle disease) dilakukan melalui vaksinasi menggunakan vaksin galur La Sota atau Kumarov.

Vaksinasi merupakan salah satu cara pengendalian penyakit IBD. Vaksinasi IBD maupun infeksi virus Gumboro dapat merangsang respon antibodi yang bersifat aktif. Walaupun mortalitas akibat Gumboro sulit diramalkan, evaluasi lapangan menunjukkan bahwa mortalitas dan kemgian lain yang ditimbulkan oleh Gumboro pada ayam yang tidak divaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang divaksinasi. Vaksinasi haus mempertimbangkan saat vaksinasi yang tepat (bervariasi menurut titer antibodi asal induk), per vaksinasi, dan virulensi virus vaksin. Vaksinasi Gumboro dapat dilakukan dengan pemberian vaksin lived atau gabungan vaksin lived dan vaksin killed, selain itu vaksin killed dapat pula dilakukan bersamaan dengan vaksin ND secara subkutan menggunakan virus IBD galur tidak virulen (mild). Petemakan unggas secara umum biasa memberikan vaksin lived dibanding vaksin killed. Vaksin killed umumnya lebih mahal, walaupun memiliki kemampuan memproteksi lebih lama daripada vaksin lived. Vaksin ini biasanya hanya diberikan pada unggas-unggas yang hidup di daerah yang memiliki potensi terjadinya IBD cukup besar. Ayam yang divaksinasi dengan vaksin lived mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi dengan ayam yang divaksinasi gabungan vaksin lived dan killed, jika terjadi kegagalan vaksinasi (Tabbu, 2000 dikutip oleh Puspitasari, 2009).

Sanitasi. Sanitasi pada peternakan Sinar Permata Farm dilakukan secara berkala yang meliputi sanitasi pembersihan tempat pakan dan minum, pembersihan kandang, dan juga pengumpulan ekstreta dari ayam. Sanitasi untuk tempat pakan dilakukan ketika akan memberikan pakan pada ayam, sedangkan sanitasi tempat minum dilakukan 2 kali bersamaan dengan pembersihan tempat pakan. Alat yang sering digunakan untuk sanitasi kandang adalah sikat yang digunakan untuk sanitasi tempat minum, grenjeng yang digunakan untuk membersihkan lumut yang ada di tempat minum, timba atau kurasan digunakan untuk membuan sisa minum yang tersisa. Soeripto (2002), menyatakan bahwa tujuan dari sanitasi secara menyeluruh adalah untuk menjaga kebersihan kandang baik luar maupun  dalam kandang agar ternak dapat menampilkan performans yang baik dan ternak bebas dari penyakit. Penyebab dari kurang perhatian sanitasi akan menimbulkan ternak rentan terhadap penyakit, sehingga ternak banyak yang mati. Oleh karena itu sanitasi sangat diperlukan dalam manajemen usaha peternakan.

Biosecurity. Sistem biosecurity yang ada di peternakan Sinar Permata Farm adalah berupa penyemprotan kendaraan yang masuk ke dalam area peternakan dengan menggunakan terminator dan juga krat untuk tempat telur sebelum digunakan harus dicelupkan terlebih dahulu dengan mengguanakan laruten wipol. Menurut Sudarmono (2003), biosecurity yang harus dilakukan adalah mencegah para tamu masuk ke dalam lokasi peternakan, menempatkan ayam yang sakit di kandang isolasi (kandang isolasi harus jauh dari kandang ayam lainnya), pembakaran bangkai ayam dilakukan jauh dari area peternakan serta mencegah keributan di lingkungan peternakan. Menurut pendapat Fadilah dan  Polana (2004) yang menyatakan bahwa penyakit ternak ayam dapat ditularkan lewat hubungan antara penderita dengan ayam-ayam yang sehat dan hubungan ayam-ayam yang sehat dengan tempat, perlengkapan dan lingkungan yang terinfeksi penyakit. Ternak yang sudah sembuh dapat menjadi penghantar penyakit.

 

Pemasaran

            Peternakan Sinar Permata Farm merupakan peternakan yang tujuannya adalah menghasilkan telur ayam. Setiap harinya, peternakan tersebut menghasilkan sekitar 3,7 ton telur ayam petelur. Pemasaran produk telur tersebut dilakukan dengan mengirimkan ke beberapa wilayah seperti di daerah Yogyakarta serta di luar Yogyakarta seperti Kutoarjo, Sumpyung, dan Gombong. Konsumen dari telur produk peternakan Sinar Permata Farm kebanyakan adalah dari Hotel yang sudah biasa membeli telur di peternakan tersebut. Harga jual dari telur di peternakan tersebut mengikuti dari harga pemerintah, jadi tidak pasti berapa harga untuk setiap harinya, tetapi untuk harga ketika praktikum sedang dilakukan yaitu berada di kisaran Rp 17.500 per kilogram telur. selain dari penjualan telur sebagai produk utama, peternakan Sinar Permata Farm juga menjual ayam petelur yang sudah diafkir. Penjualan dari ayam petelur afkir sendiri dijual di daerah Kaliurang dengan metode penjualan tiap penimbangan 20 ekor ayam petelur afkir. Menurut Mappingau dan Esso (2011), pemasaran merupakan kegiatan menyalurkan produk dari produsen ke konsumen, yaitu dari peternak ayam layer ke konsumen telur ayam, yang di dalamnya juga terlibat distributor untuk memperlancar penjualan telur. alur yang biasa digunakan untuk pemasaran telur yaitu peternak (produsen) lalu ke pedagang pasar besar ke pengecer dan yang terakhir ke konsumen. Pemasaran telur juga biasa disampaikan melalui media cetak maupun elektronik, dapat juga melalui komunikasi personal oleh peternak ataupun pedagang.

 

Kesimpulan

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan di peternakan Sinar Permata Farm, dapat disimpulkan bahwa manajemen pemeliharaan, manajemen perkandangan, manajemen pakan, manajemen penanganan penyakit dan lingkungan, serta pemasaran yang ada di peternakan Sinar Permata Farm sudah cukup baik dan sudah sesuai dengan standar.

 

Kritik dan Saran

Kritik

            Kritik yang dapat saya sampaikan adalah dalam hal pemberian informasi tentang perubahan jam pemberangkatan ke perusahaan terlalu mepet sehingga praktikan yang sudah terlanjur bertukan jadwal agak kebingungan karena ketika itu juga bertepatan ada yang sedang melakukan responsi praktikum. Transportasi menuju ke lokasi perusahaan juga sebaiknya menggunakan kendaraan berupa bus jangan dengan menggunakan sepeda motor karena untuk menghindari ada salah satu dari rombongan yang nyasar juga untuk menghindari kecelakaan karena motor harus berjalan secara bergerombol.

Saran

            Saran yang dapat saya sampaikan adalah sebaiknya pemberian informasi perubahan jadwal pemberangkatan dilakukan minimal 24 jam sebelu jadwal pemberangkatan agar semua praktikan mengetahui perubahan jadwal lebih awal sehingga pengaturan pertukaran jadwal bisa diatur lagi. Perlu disediakan alat transportasi yang memadai dan informasi tempat praktikum yang lebih jelas untuk menuju ke tempat praktikum agar kejadian praktikan dan asisten nyasar tidak terjadi lagi. Demikian kritik dan saran yang dapat saya sampaikan, mohon maaf dan terimakasih.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Fadilah, R. dan A. Polana. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Hardjosworo, P. S., dan Rukmiasih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kartadisastra, H. R. 2008. Pengelolaan Pakan Ayam. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Krista, B. dan Bagus, H. 2013. Ayam Kampung Petelur. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Mappigau, P., dan A. Sawe R. Esso. 2011. Analisis Strategi Pemasaran Telur pada Peternakan Ayam Ras Skala Besar di Kabupaten Sidrap. Vol. X (3).

Murni, M. C. 2009. Mengelola Kandang dan Peralatan Ayam Pedaging. Departemen Peternakan. Cianjur.

Murtidjo, B. A. 1992. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Nataatmijaya, Achmad Gozali. 2005. Karakteristik Penampilan Pola Warna Bulu, Kulit, Sisik Kaki, dan Paruh Ayam Pelung di Garut dan Ayam Sentul di Ciamis. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Buletin Plasma Nutfah Vol.11 No.1 Th.2005.

Puspitasari, Shinta. 2009. Gambaran Respon Kebal Terhadap Newcastle Disease (ND) pada Ayam Pedaging yang Divaksin IBD-Killed Setengah Dosis. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudarmono. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Soeripto. 2002. Pendekatan Konsep Kesehatan Hewan Melalui Vaksinasi. Jurnal Litbang Pertanian. 21(2):48-55.

Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Yupi. 2011. Analisis Usaha Tani Ayam Ras Petelur. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Zulfikar. 2013. Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur Ras. UNSYIAH.

 

 

LAMPIRAN

Gambar 1. Manajemen Perkandangan
Gambar 2. Manajemen Perkandangan
Gambar 3. Gudang Telur
Gambar 4. Gudang Pakan
Gambar 5. Proses Transportasi
Gambar 6. Penanganan Limbah Ekskreta

 

 

 

Laporan Praktikum Biokimia Ternak Acara Ekskresi Derivat Purin Dalam Urin

LAPORAN BIOKIMIA TERNAK

ACARA VIII

EKSKRESI DERIVAT PURIN DALAM URIN

 

Disusun oleh :

Kelompok XXVIII

                                 Maya Kurnia Kusuma                        PT/06438

                                 Amelia Rahmawati Santoso PT/06483

                                 Nurus Sobah                           PT/06587

                                 Nino Sugiyanto                       PT/06602

                                 Santa Astria Simbolon           PT/06613

Asisten : Qorina

 

 

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


 

ACARA VIII

EKSKRESI DERIVAT PURIN DALAM URIN

 

Tujuan Praktikum

            Praktikum acara ekskresi derivat purin dalam urin bertujuan untuk menentukan kadar allantoin urin dalam urin.

 

Tinjauan Pustaka

            Asam nukleat adalah struktur molekular kompleks yang terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan fosfor. Asam nukleat adalah molekul turunan dan pengatur fungsi protein dalam sel. Ada dua jenis asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA). DNA dapat ditemukan dalam kromosom semua makhluk hidup dan memiliki kemampuan untuk menggandakan dirinya. RNA berfungsi dalam sintesis protein di bawah perintah DNA. DNA dan RNA terdiri dari rantai-rantai subunit yang disebut nukleotida yang disatukan melalui proses sintesis dehidrasi. Setiap nukleotida terdiri dari tiga bagian,nukleotida mengandung basa nitrogen yang bergabung dengan satu pentosa (gula lima karbon)  yang kemudian terikat pada satu gugus fosfat. Ada dua jenis basa nitrogen yaitu primidin dan purin. Pirimidin adalah molekul bercincin tunggal yang mengandung karbon, nitrogen, dan hidrogen. Pirimidin dalam asam nukleat meliputi sitosin (C), timin (T), dan urasil (U). Primidin pada RNA tidak ada timin namun hanya ditemukan urasil. Purin adalah molekul bercincin ganda,yang termasuk purin adalah adenine (A) dan guanine (G) yang keduanya dapat ditemukan dalam DNA dan RNA.

Nukleotida yang paling dikenal karena peranannya adalah nukleotida purin dan pirimidin. Basa-basa purin yang yang terpenting adalah adenin, guanin, hipoxantin, dan xantin. Purin terdapat dalam asam nukleat berupa nukleoprotein. Asam nukleat ini akan dipecah lagi menjadi mononukleotida. Mononukleotida dihidrolisis menjadi nukleosida yang dapatb secara langsung diserap oleh tubuh dan sebagian dipecah lebih lanjut menjadi purin dan pirimidin. Purin teroksidasi menjadi asam urat. Asam urat terbentuk dari hasil metabolisme ikatan kimia yang mengandung nitrogen yang terdapat dalam asam nukleat yang disebut purin. Asam urat dapat direabsorpsi melalui mukosa usus dan dieksresikan melalui urin.

Derivat purin merupakan penjumlahan ekskresi allantoin dan asam urat pada urin sapi. Protein kasar yang berada di pakan menyebabkan terjadinya perbedaan ekskresi derivat purin karena perbedaan kandungan ammonia dalam rumen. Sintesis protein pakan oleh mikrobia dipengaruhi oleh kecepatan pemecahan nitrogen makanan, kecepatan absorpsi ammonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan yang keluar rumen, kebutuhan mikrobia akan asam, dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis makanan (Arora, 1995).

Protein mikrobia merupakan sumber asam amino yang diperlukan ternak ruminansia untuk pemeliharaan jaringan tubuh, pertumbuhan, produksi, dan reproduksi. Protein mikrobia dapat memenuhi sekitar 80% kebutuhan asam amino ternak ruminansia. Metode yang paling sederhana dan mudah pelaksanaan untuk mengestimasi sintesis protein mikrobia adalah dengan mengukur derivat purin (DP) yang dieksresikan lewat urin. Ada korelasi antara absorbsi protein mikrobia rumen dengan asam nukleat sehingga jumlah protein mikrobia yang diabsorbsi dapat diestimasi dari derivat purin (DP) yang dieksresikan melalui urin yaitu hypoxanthin, xanthin, asam urat, dan allantoin.


 

Materi dan Metode

 

Materi

Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum acara ekskresi derivat purin dalam urin yaitu tabung reaksi, tabung spektrofotometer, vortex, spektrofotometer, bak, oil bath, pipet, pipet ukur, lap kain, rak tabung.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum acara ekskresi derivat dalam urin yaitu urin sapi PFH, aquades, NaOH 0,5 M, HCl 0,5 M, penil hidrazin, air es, alkohol dingin 40%, HCl pekat, dan K2FeCN.

 

Metode

            Penentuan kadar allantoin yaitu sampel atau blanko sebanyak  0,5 mL ditambah 2,5 ml aquades ditambah dengan NaOH 0,5 M sebanyak 0,5 ml dan divortex. Tahap selanjutnya, dimasukkan dalam oil bath 100ºC selama 7 menit kemudian didinginkan pada air es lalu ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 M ditambah dengan penil hidrazin sebanyak 0,5 ml dan dihomogenkan lalu dimasukkan dalam oil bath 100ºC selama 7 menit. Sampel, blanko didinginkan dengan alkohol dingin 40%, kemudian ditambah 1,5 ml HCl pekat dan 0,5 ml K2FeCN, dihomogenkan dan didiamkan 20 menit dan dibaca pada panjang gelombang 522 nm (standar allantonin = 100 mg/L).

Y = 0,0047 + 0,0132X

            Dimana,

Y = absorbansi

X = kadar allantoin (mg/mL)

 

 

Hasil dan Pembahasan

Praktikum  eksresi derivat purin dalam urin dilakukan dengan penentuan kadar allantoin dalam urin. Sampel yang digunakan adalah urin sapi PFH. Sampel sebanyak 0,5 mL ditambahkan dengan 0,5 mL NaOH 0,5 M selanjutnya dihomogenkan dengan vortex. Penambahan NaOH berfungsi sebagai pensuasana basa. Tabung reaksi yang telah dihomogenkan selanjutnya dimasukkan ke dalam oil bath pada suhu 100˚C selama 7 menit kemudian didinginkan dengan air es. Larutan yang telah dingin kemudian ditambah dengan 0,5 mL HCl 0,5 M dan 0,5 mL indikator penil hidrazin selanjutnya dihomogenkan dengan vortex serta dimasukkan ke oil bath kembali pada suhu 100˚C selama 7 menit. Fungsi penambahan HCl 0,5 M yaitu untuk mempercepat reaksi. Larutan di dalam tabung mempunyai laju reaksi yang cepat, lalu ditambahkan fenilhidrazin supaya dihasilkan derivat lain dari purin selain allantoin yaitu derivat fenilhidrazon. Penggunaan oil bath karena suhu yang dibutuhkan 1000C sehingga kalau memakai water bath tidak bisa mencapai suhu 1000C.

Tabung reaksi dimasukkan dalam oil bath kembali, didinginkan dengan alkohol 40% dingin serta ditambah dengan HCl pekat sebanyak 1,5 mL dan larutan K2FeCN sebanyak 0,5 mL. Pendinginan dengan alkohol berfungsi untuk menghentikan proses hidrolisis secara keseluruhan, agar dihasilkan allantoin saja, digunakan alkohol 40% dalam pendinginan kedua karena alkohol memiliki titik beku lebih rendah sehingga cepat untuk menghentikan proses hidrolisis. Larutan K2FeCN  berfungsi untuk membentuk kromosfor sebagai indikator warna terjadinya reaksi. Warna akan berubah dari kuning menjadi orange tua setelah penambahan  K2FeCN. Tabung berisi larutan divortex dan dibiarkan selama  20 menit sampai warna merah bata. Larutan selanjutnya dibaca dengan spektofotometer pada panjang gelombang 522 nm untuk mengetahui absorbansi dari allantoin tersebut.

Hasil absorbansi sampel urin PFH sebesar 1,152 dan absorbansi blanko urin sapi PFH sebesar 0,656, jadi absorbansi sampel kelompok 28 menjadi 0,496 sedangkan untuk sampel urin sapi PO kelompok 23 absorbansinya sebesar 2,160. Kadar allantoin di dalam sampel urin sapi PFH kelompok 28 dengan pengenceran sebanyak  5 kali sebesar 186,1 mg/mL sedangkan sampel urin sapi PO kelompok 23 yang diencerkan 5 kali sebesar 567,9 mg/mL. Menurut Yulianti (2010), penjumlahan derivat purin adalah penjumlahan dari allantoin dan asam urat. Ekskresi derivat purin mempunyai hubungan dengan purin. Menurut Chen et al. (1992) dalam Yulianti (2010),terdapat korelasi antara absorbsi protein mikrobia dengan asam nuklea sehingga jumlah protein mikrobia yang diabsorbsi dapat diestimasi dari DP yang diekskresikan melalui urin yaitu hypoxanthin, xanthin, asam urat dan allantoin. Menurut Orskov (1992) dalam Yulianti (2010), prinsip pengukuran DP adalah sebagian besar asam nukleat yang meninggalkan rumen berasal dari mikrobia rumen. Asam nukleat mikrobia selanjutnya dicerna dalam usus halus (kecernaannya sekitar 83 %) dan hanya sebagian kecil purin yang diabsorbsi dan digunakan oleh ternak sedangkan sebagian besar dikonversi menjadi hypoxanthin, xanthin, asam urat dan allantoin yang diekskresikan melalui urin.

Menurut Djouvinov dan Todorov (1994) dalam Yulianti (2010) bahwa penggunaan DP dalam urin untuk mengestimasi protein mikroba mempunyai akurasi yang relatif baik. Menurut Suprayogi (2010), hasil analisis derivat purin sapi PO dengan tiga macam jenis pakan yaitu jerami kacang tanah, rumput raja,dan hijauan jagung adalah 52,42; 44,42 dan 41,89 mmol/ekor/hari. Perbedaan ekskresi derivat purin dalam urin dipengaruhi oleh kontribusi allantoin dan asam urat di dalam urin dengan allantoin merupakan konsentrasi yang terbanyak di katabolisme purin. Perbandingan kadar allantoin sebagai derivat purin dalam urin untuk praktikum dengan literatur berbeda sebab kadar allantoin dalam derivat purin merupakan gambaran sintesis mikrobia dalam rumen sehingga masing-masing sapi dan bangsa sapi berbeda. Derivat purin dalam sapi PO lebih pekat daripada sapi PFH karena jumlah absorbansi dengan spektrofotometer lebih besar sampel urin sapi PO dan warna sampel lebih merah bata.

 

 

Kesimpulan

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan kadar allantoin dalam urin sapi PFH yang diencerkan sebanyak lima kali sebesar 186,1 mg/mL sedangkan urin sapi PO yang diencerkan sebanyak  lima kali sebesar 567,9 mg/mL.  Kadar allantoin urin sapi PO lebih besar daripada urin sapi PFH. Faktor yang mempengaruhi adalah kualitas pakan sebagai sumber protein ternak ruminansia yaitu protein pakan yang lolosdegradasi dalam rumen, protein mikrobia, juga dipengaruhi oleh kontribusi allantoin di dalam urin.

 

 

Daftar Pustaka

 

Arora, S, P. 1995. Pencemaran Mikrobia pada Ruminansia. Gadjah Mada Universty. Yogyakarta.

Krisnatuti, Diah, Rina Y., Vera U. 2007. Perencana untuk penderita gangguan asam urat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Lamid, Mirni. 2010. Penggunaan jerami padi, jerami padi amoniasi dan jerami kedelai sebagai pakan tunggal terhadap sintesis protein mikrobia pada sapi peranakan Ongole. Veterinaria Medika, Vol.3 No.2.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Pemula. EGC. Jakarta.

Suprayogi, W.P.S. 2003. Sintesis protein mikrobia sapi peranakan ongole yang diberikan pakan yang berserat. Jurnal Indon. Trop. Anim. Agric. Vol. 28, No. 3.

Yulianti, Arliana. 2010. Kinetika volatile fatty acid (vfa) cairan rumen dan estimasi sintesis protein mikrobia pada sapi perah dara peranakan

Friesian holstein yang diberi pakan basal rumput raja, jerami jagung, dan jerami padi yang disuplementasi konsentrat protein tinggi. Jurnal Teknologi Pertanian 6(1)  25-33.

 

 

Penghitungan

  • Urin sapi PFH

Diketahui  : Yblanko = 0,656

Ysampel = 1,152

Ditanya      : kadar allantoin urin sapi PFH

Jawab        :

Y = Ysampel – Yblanko

Y = 1,152 – 0,656

= 0,496

 

Y                 = 0,0047 + 0,0132X

0,496                   = 0,0047 + 0,0132X

0,0132X     = 0,496 – 0,0047

X                 = 0,4913 / 0,0132

X                 = 37,22 mg/mL

X                 = 37,22 x 5 (faktor pengenceran)

X                 = 186,1 mg/mL

  • Urin sapi PO

Diketahui  : Yblanko = 0,656

Ysampel = 2,160

Ditanya      : kadar allantoin urin sapi PO

Jawab        :

Y = Ysampel – Yblanko

Y = 2,160 – 0,656

= 1,504

 

 

Y                 = 0,0047 + 0,0132X

1,504                   = 0,0047 + 0,0132X

0,0132X     = 1,504 – 0,0047

X                 = 1,4993 / 0,0132

X                 = 113,6 mg/mL

X                 = 113,6 x 5 (faktor pengenceran)

X                 = 567,9 mg/mL

 

 

 

 

 

Laporan Praktikum Biokimia Ternak Acara Mikrobia Dalam Rumen

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA TERNAK

ACARA II

MIKROBIA DALAM RUMEN

Disusun oleh :

Kelompok XXVIII

Maya Kurnia Kusuma                                                PT/06438

Amelia Rahmawati Santoso                         PT/06483

Nurus Sobah                                                   PT/06587

Nino Sugiyanto                                               PT/06602

Santa Astria Simbolon                                   PT/06613

Asisten : Qorina

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

 UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

 

ACARA II

MIKROBIA DALAM RUMEN

 

Tujuan Praktikum

Praktikum mikrobia dalam rumen bertujuan untuk mengetahui kadar protein mikrobia rumen, aktivitas enzim CMC-ase, dan kadar amonia cairan rumen.

 

Tinjauan Pustaka

Ciri khas dari ternak ruminansia yaitu lambung jamak atau poligastrik yang memiliki empat segmen yaitu rumen,retikulum, omasum,abomasum. Keempat segmen ini memiliki aktivitas yang berbeda-beda. Ruminansia secara spesifik mampu menyintesis asam-asam amino dari unsur-unsur yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas dirumen, karenanya ruminansiamampu mengonsumsi urea ( non-protein nitrogen) dalam jumlah terbatas,yang di dalam rumen terurai menjadi amonia (NH3) dan merupakan bahan- bahan utama pembentuk asam-asam amino. Selain dari bahan pakan yang dikonsumsinya, kebutuhan protein ternak ruminansia dapat juga dipenuhi dari mikrobia rumen (Sodiq,2008).

Kecernaan merupakan hasil proses degradasi molekul makro yang terdapat di dalam bahan pakan menjadi senyawa yang sederhana yang dapat diserap dari organ cerna. Pencernaan pada ruminansia ditandai oleh adanya proses fermentasi yang ekstensif dalam organ retikulo-rumen. Pencernaan fermentatif ini terjadi melalui aktivitas mikrobia pada kondisi lingkungan anaerobik, temperatur yang konstan yaitu 390C dalam rentang pH antara 5,5 sampai 7,0 (sedikit asam sampai netral)    (Ginting et.al, 2012). Menurut Abidin (2008) bahwa komposisi zat-zat makanan (dalam presentase bahan kering) yang dibutuhkan oleh sapi dan harus tersedia di dalam pakan ternak ruminansi,seperti karbohidrat sebanyak 60-75%, dengan adanya rumen karbohidrat yang dibutuhkan oleh ruminansia berasal dari sumber yang lebih bervariasi yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, dan sedikit pati. Selulosa merupakan bahan organik yang terdapat pada tanaman dalamjumlah besar, seluruh karbohidrat ini akan dirubah menjadi VFA (volatil fatty acid). Keberadaan Mikrobia dalam rumen yang mampu mendegradasi protein menjadi ikatan-ikatan peptida dan gas metan (NH3) serta menyusunnya menjadi asam-asam amino,baik esensial maupun non esensial. Keberadaan mikrobia rumen inilah yang menyebabkan ruminansia yang mampu mengonsumsi non-protein nitrogen seperti urea.

Menurut Lamid et.al (2011) bahwa di dalam rumen ternak ruminansia mengandung bakteri dan fungi yang mampu mencegah lignoselulosa dan lignohemiselulosa. Salah satu genus bakteri yang hidup di rumen diantaranya adalah bakteri selulolitik yang memiliki kemampuan mendegredasikan selulosa pada tanaman dengan menghasilkan enzim selulase. Degradasi selulosa dilakukan dengan bantuan enzim selulase menjadi hasil akhir glukosa.

 

 

Materi dan Metode

 

Materi

Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum mikrobia dalam rumen antara lain: tabung reaksi, safelock tube, spektrofotometer, pipet ukur, rak tabung reaksi, vortex, waterbath, pipet mikro, sentrifuge, gelas beker.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum mikrobia dalam rumen adalah cairan rumen, NaOH 1 N, aquades, larutan Lowry A, enzim, sianida karbonat, sodium karbonat, potassium ferrisianida, larutan Lowry B, sodium tungstate, H2SO4 1 N, campuran phenol, hipoklorid, enzim, buffer, CMC.

Metode

Preparasi sampel. Cairan rumen disentrifuge pada 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan disentrifugasi kembali pada 10.000 rpm selama 15 menit sehingga mendapatkan endapan mikrobia. Supernatan (enzim) yang dihasilkan digunakan untuk penentuan CMC-ase. Presipitat yang dihasilkan digunakan untuk penentuan protein mikrobia.

Penentuan kadar protein mikrobia. Sebanyak 0,5 mL NaOH ditambahkan pada presipitat hasil dari preparasi sampel lalu dididihkan pada suhu 90°C selama 10 menit selanjutnya dihasilkan sampel untuk penentuan mikrobia dan diencerkan dengan aquades sebanyak 6 kali. Dua tabung reaksi disiapkan untuk 0,5 mL sampel dan 0,5 mL aquades sebagai blanko. Masing-masing tabung ditambakan 2,5 mL larutan Lowry B lalu dihomogenkan dan dibiarkan selama 10 menit. Tahap selanjutnya, masing-masing ditambahkan 0,25 mL larutan Lowry A lalu dihomogenkan dan dibiarkan 30 menit. Absorbansi dibaca dengan spektrofotmeter λ750 nm dan dihitung kadar protein dengan persamaan Y = 0,0025X + 0,0146.

Penentuan aktivitas enzim CMC-ase.  Enzim yang digunakan adalah supernatan yang dihasilkan dari preparasi sampel. Empat tabung reaksi disiapkan, tabung ES diisi dengan 0,1 mL enzim, 0,4 buffer pH 5,5, CMC 1%, aquades 0,3 mL; tabung E diisi dengan 0,1 mL enzim, 0,4 buffer pH 5,5, aquades 1,3 mL; tabung S diisi dengan 0,4 buffer pH 5,5, CMC 1%,dan aquades 0,4 mL; tabung BL diisi dengan 0,4 buffer pH 5,5 dan aquades 1,4 mL. Tahap selanjutnya, semua tabung yang telah terisi diinkubasi pada suhu 380C selama 45 menit, enzim dimasukkan setelah tabung diinkubasi selama 1 menit. Aktivitas enzim dihentikan dengan menambahkan campuran 1 mL larutan sianida karbonat, 0,2 mL sodium karbonat, dan 2 mL larutan 0,05% potassium ferrisianida (pH 10,6) pada semua tabung setelah diinkubasi. Isi tabung kemudian dihomogenkan dengan vortex, lalu dipanaskan pada air mendidih selama 30 menit. Tabung didinginkan dan warna yang terjadi dibaca pada λ420 nm. Perhitungan absorbansi produk = Abs (BL-ES) – (BL-E) – (BL-S). Hasil perhitungan absorbansi produk digunakan untuk menghitung aktivitas CMC-ase berdasar persamaan regresi berikut :      Y= 0,002034X + 0,01858

Penentuan NH3 cairan rumen. Larutan A (sodium tungstate) sebanyak 0,1 mL ditambah dengan 0,2 mL cairan rumen dicampurkan dengan 0,1 mL larutan B (H2SO4) dingin dan divortex lalu disentrifuge 15000 rpm selama 10 menit. Sebanyak 20 µL supernatan ditambah 2,5 ml larutan C (campuran phenol), lalu ditambahkan 2,5 ml larutan D (hipoklorid) dan dicampur. Larutan diinkubasi pada suhu 40°C selama 30 menit lalu didinginkan pada suhu kamar. Hasil pendinginan dibaca pada spektrofotometer pada λ630 nm lalu diabsorbansi dalam persamaan Y = 0,0068X + 0,0279.

 

 

Hasil dan Pembahasan

 

 

Preparasi sampel. Sentrifugasi cairan rumen pada 3000 rpm selama 15 menit pada saat preparasi sampel bertujuan untuk mengendapkan partikel pakan, lalu disentrifugasi kembali pada 10.000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan endapan mikrobia rumen. Menurut Yuwono (2010) bahwa ada dua macam prinsip sentrifugasi yang umum digunakan untuk pemisahan partikel didasarkan atas massa, ukuran, atau panjang partikel, dan densitas partikel.

Penentuan kadar protein mikroba. Penambahan NaOH pada presipitat uji protein mikrobia menyebabkan lisisnya membran sel, lalu dididihkan hingga 90°C untuk memecah sel mikrobia juga untuk membantu agar cepat lisis sehingga protein yang ada dalam mikrobia dapat keluar. Larutan Lowry B terdiri dari CuSO4, Na2CO3, dan Na-kartartat, CuSO4 memiliki fungsi untuk membentuk ikatan CuN sedangkan Na2CO3 dan Na-kartartat untuk melepaskan N. Pemberian larutan Lowry B pada sampel awalnya berwarna bening lama-kelamaan menjadi warna ungu karena terbentuknya ikatan CuN. Larutan Lowry A terdiri dari aquades dan folin, folin akan bereaksi dengan CuN membentuk folin-clocalteau yang memberi warna kompleks. Presipitat hasil preparasi sampel digunakan untuk kadar protein mikrobia karena hasil dari sentrifuge kedua adalah bahan yang akan diuji yaitu protein mikrobia. Prepitat diencerkan dengan NaOH maka  membran selmikrobia akan lisis sehingga protein di dalamnya akan keluar dengan dilakukannya pemanasan juga. Sampel selanjutnya ditambah dengan Lowry B yang mengandung CuSO4, CuSO4 akan bereaksi dengan N yang telah dilepaskan lalu membentuk ikatan CuN dengan penambahan Lowry A yang mengandung folin, folin akan mengikat CuN sehingga menjadi folin clocalteau yang berwarna biru.

Menurut Sari et.al. (2014) bahwa Lowry A berisi folin-clocateau dan diencerkan dengan aquades sedangkan larutan Lowry B berisi CuSO4, Na2CO3, dan Na-kartartat. Bahan-bahan dalam pereaksi Lowry B ini memiliki fungsi yang berbeda-beda, CuSO4 memiliki fungsi mereduksi fosfotungstat-fosfomolibdat, Na-kartartat berfungsi mencegah terjadinya pengendapan kupro oksida dalam reagen Lowry B sedangkan Na2CO3 digunakan sebagai garam yang mengkoordinasikan reaksi dalam suasana basa bersama dengan NaOH. Kadar protein mikrobia tercatat sebesar 72,8 mg/100mL dengan absorbansi produk sebesar 0,383, sedangkan menurut Nurhaita dkk (2008) kadar berkisar antara 10 sampai 23 mg/100 mL. Kadar protein mikrobia yang diperoleh melebihi  dari kadar seharusnya karena sintesis protein mikroba tergantung pada N yang cocok dan sumber karbohidrat.

Penentuan aktivitas CMC-ase. Aktivitas enzim ditentukan dengan menghitung gula mereduksi yang dibebaskan dari reaksi hidrolisis substrat CMC oleh enzim CMC-ase. Penentuan jumlah gula mereduksi yang dihasilkan menggunakan reaksi ferrisianida. Supernatan hasil dari preparasi sampel digunakan sebagai sumber enzim lalu diisi dengan  berbagai larutan berbeda lalu diinkubasi pada suhu 380C untuk menyesuaikan dengan kondisi di dalam tubuh yang umumnya sebagai suhu optimal enzim. Larutan yang sudah diinkubasi 380C selama 45 menit akan ditambahkan campuran larutan sianida karbonat, larutan 0,05% potassium ferrisianida, fungsi penambahan untuk menaikkan pH selanjutnya  tabung akan dihomogenkan lalu dipanaskan. Hasil praktikum penentuan aktivitas CMC-ase menunjukkan absorbansi produk sebesar 0,213. Kadar gula mereduksi yaitu sebesar 95,585 µmol/mL atau 18,93 x 106 mg/L, sedangkan menurut Sutarno (2005), CMC-ase secara acak menghidrolisis bagian dalam 1,4-D-glikosidik dari glukosa, hasilnya memendeknya polimer glukosa secara cepat yang diikuti dengan meningkatnya gula reduksi secara perlahan-lahan. Besar kecilnya nilai aktivitas enzim mempengaruhi kadar gula reduksi yang dihasilkan selama aktivitas enzim berlangsung, saat pH 7 didapatkan konsentrasi gula reduksi sebesar 124,565 mg/L, sementara itu pada pH 4, 5, 6, 8, dan 9 secara berturut-turut didapatkan konsentrasi gula reduksi sebesar 112,826 mg/L; 82,391 mg/L; 78,043 mg/L; 68,913 mg/L dan 72,826 mg/L, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi aktivitas enzim, maka semakin tinggi pula gula reduksi yang dihasilkan.

Mikrobia selulolitik pada umumnya akanmensekresikan tiga jenis enzim, yaitu: endoglukanase atau carboxymethylcellulase (CMC-ase), eksoglukanase, dan β-glukosidase. secara sinergis ketiga jenis enzim ini mendegradasi selulosa menjadi glukosa. Enzim CMC-ase memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin selulosa sehingga terbentuk rantai-rantai individu selulosa (Cai et al. (1999) dan Beauchemin et al.(2003) cit Prabowo dkk (2007)). Perbandingan kadar gula mereduksi dari hasil praktikum dengan literatur menunjukkan adanya perbedaan kadar gula mereduksi, kadar gula mereduksi saat praktikum lebih tinggi yaitu18,93 x 106 mg/L sedangkan lietarur 78,043 mg/L. Menurut Sutarno (2001), faktor yang mempengaruhi kadar gula mereduksi adalah aktivitas enzim yang dapat menurunkan pH karena umumnya semua aktivitas enzim khususnya endoglukanase dipengaruhi oleh pH.

Penentuan NH3 cairan rumen. Metode penentuan ammonia didasarkan pada reaksi indophenol yang menghasilkan senyawa biru stabil. Reaksi indophenol adalah reaksi antara ammonia dengan sodium phenat. Larutan A adalah larutan tungstate, reaksi A yaitu reaksi indophenol yang dikatalis menjadi warna biru yang stabil. Reaksi indophenol adalah reaksi antara reaksi amoniak dengan sodium penat. Larutan dingin yaitu larutan H2SO4, larutan C yang terdiri dari phenol, Na Nitroprusside, phenol kristal. Larutan D terdiri dari Hypocloride, NaOH pekat, Na2HPO4, Sodium Hypocloride. Semua reaksi akan menangkap ammonia. Larutan berwarna biru stabil setelah inkubasi pada 40°C. Tujuan inkubasi tidak lain adalah untuk menyesuaikan dengan suhu dalam rumen yaitu sekitar 38 sampai 42°C. Absorbansi produk yang didapatkan pada panjang gelombang 630 nm adalah sebesar 0,236. Kadar ammonia yaitu sebesar 0,307 mg/100mL. Hasil ini sudah sesuai dengan kadar amonia dalam rumen. Menurut Satter dan Styler (1974) dalam Nurhaita (2008) bahwa konsentrasi NH3 cairan rumen bervariasi tergantung pada tingkat degradasi protein pakan berkisar antara 0 sampai 130 mg/100 mL.

Protein yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi oleh mikrobia rumen memberikan hasil akhir NH3, dan gas berbentuk CO2 dan CH4. Sebagian NH3 akan digunakan mikrobia sebagai sumber nitrogen sedangkan sebagian lagi akan dikeluarkan melalui dinding rumen, selanjutnya melalui pembuluh darah akan dibawa ke hati. Sebagian urea akan menuju ginjal yang akan dikeluarkan sebagi urine sedangkan lainnya akan didaur ulang menuju saliva atau dikembalikan ke dalam rumen.

 

 

Kesimpulan

 

 

Kadar protein enzim mikrobia sebesar 72,8 mg/100mL , kemudian kadar gula mereduksi  sebesar 18,93 x 106 mg/L  dan kadar ammonia sebesar 0,307 mg/100mL. Populasi mikrobia di cairan rumen dipengaruhi oleh sintesis protein mikroba tergantung pada N yang cocok dan sumber karbohidrat. Aktivitas enzim ditentukan oleh difusi aktivator atau inhibitor, luas permukaan, dari katabolit, konten pretreatment, dan komposisi gula substrat.

 

 

Daftar Pustaka

 

Abidin, Zainal. 2008. Penggemukan Sapi Potong. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Ginting, Simon et.al. 2012. Indigofera sebagai Pakan Ternak. IAARD Press.Jakarta.

Lamid, Mirni, Tri Prasetyo N, Sri Chusniati, dan Kusriningrum R. 2011. Eksplorasi bakteri selulolitik asal cairan rumen sapi potong sebagai bahan inokulum limbah pertama. Jurnal Ilmu Kedokteran Hewan Vol 4,No 1.

Meryandini, Anja, Nunuk Widhyastuti dan Yulin Lestari. 2008. Pemurnian dan karakterisasi xilanase Streptomyces Sp. Skk1-8. Makara, Sains, Volume 12, No. 2, November 2008: 55-60

Nurhaita, N. Jamarun, R.Saladin, L.Warly, dan Z. Mardiati. 2008. Efek suplementasi mineral sulfur dan pospor pada daun sawit amoniasi terhadap kecernaan zat makanan secara in vitro dan karakteristik cairan rumen. Jurn. Indon. Trop. Anim. Agric, 33 (1).

Prabowo, A, Padmowijoto, Z. Bachrudin , dan A.Syukur. 2007. Potensi mikrobia selulolitik campuran dari ekstrak rayap, larutan feses gajah dan cairan rumen kerbau. Jurnal Indon. Trop. Anim. Agric.32 (3).

Sari,Nur Indah, Ahyar A, dan Seniwati D. 2014. Isolasi dan karakterisasi Protein Bioaktif dari spons Callyspongia Sp sebagai zat antioksidan. Jurusan Kimia Universitas Hasanudin.

Sodiq,Akhmad dan Zainal Abidin. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Ettawa. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Sutarno. 2005. Pengaruh ph terhadap Aktivitas Endo-1,4-β-Glucanase Bacillus Sp. AR 009. Biodiversitas, Vol.6 No.4.

Yuwono,Triwibowo. 2010. Biologi Molekular. Penerbit Erlangga. Jakarta.

 

 

PERHITUNGAN

  1. Protein Mikrobia

Y = 0,318

Y = 0,0025 X + 0,0146

Y = absorbansi produk

X = kadar protein mikrobia (mg/mL)

0,318 = 0,0025 X + 0,0146

0,0025 X  = 0,318 – 0,0146

 

X = 121,36 mg/mL  x 6 (faktor pengenceran)

X  = 728,16 µ/mL  1000

= 0,72816 mg/mL x 100 ml

= 72,8 mg/100ml

  1. Aktvitas Enzim CMC-ase
BL2 : 0,414 E28 : 0,398
ES28 : 0,286 E2 : 0,004
S2 : 0,515

Y = 0,002034 X + 0,01858

Y = absorbansi produk

X = kadar gula mereduksi

Abs Y    = Abs (BL2-ES28) – (BL2-E28) – (BL2-S2)

= Abs (0,414-0,286) – (0,414-0,398) – (0,414-0,515)

= Abs (0,128-0,016+0,10)

= Abs 0,213

0,213     = 0,002034 X + 0,01858

X  =

= 95,585 µmol/ml

95,585 x 10-3

= 18,93 x 106 mg/L

  1. NH3 Cairan Rumen

Y = 0,237

Y = 0,0068 X + 0,0278

Y = absorbansi produk

X = kadar NH3 (mg/100ml)

0,237 = 0,0068 X + 0,0278

 

X  = 0,3069 mg/100 ml

Laporan Praktikum Biokimia Ternak Acara Penentuan Kadar Fosfor

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA TERNAK

ACARA X

PENENTUAN KADAR FOSFOR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

Kelompok XXVIII

Maya Kurnia Kusuma                     PT/06438

Amelia Rahmawati Santoso          PT/06483

Nurus Sobah                                                PT/06587

Nino Sugiyanto                                PT/06602

Santa Astria Simbolon                    PT/06613

Asisten : Qorina

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


ACARA X

PENENTUAN KADAR FOSFOR

 

Tujuan Praktikum

            Praktikum penentuan kadar fosfor bertujuan untuk menentukan kadar fosfor dalam tulang ayam.

 

Tinjauan Pustaka

            Beberapa mineral dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang banyak seperti kalsium, fosfat, natrium, klorida, magnesium, dan kalium. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 15 mg. Hingga saat ini dikenal sebanyak 24 mineral yang dianggap essensial. Jumlah ini bisa bertambah seiring dengan waktu (Winarno, 1997).

Secara kimia komposisi utama tulang ayam adalah garam-garam terutama kalsium karbonat dan kalsium fosfat yang dapat dijadikan sebagai sumber mineral kalsium dan fosfor dalam rangka menyediakan suplemen mineral bagi ternak sekaligus mengurangi dampak buruk pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah industri pengolahan ayam. Mineral tergolong mikro elemen, namun esensial bagi ternak karena sekalipun keberadaannya dalam ransum ternak hanya sedikit dibandingkan dengan zat gizi lainnya. Kekurangan mineral kalsium dan fosfor akan berpengaruh terhadap berbagai proses tubuh yang berdampak pada menurunnya performan ternak (Winarsih et al., 2012).

Pemanfaatan limbah tulang ayam sebagai sumber kalsium dan fosfor dibatasi dengan adanya kandungan kolagen yang tinggi. Kolagen merupakan protein fibrous yang memiliki karakteristik resisten terhadap enzim pencernaan, tidak dapat larut, dapat mengubah protein dan gelatin dengan pemasakan, dan banyak mengandung hidroksiproli. Tulang ayam sebagian besar terdiri atas protein kolagen dengan asam amino penyusun utamanya adalah prolin, glisin, dan alanin. Dalam kondisi alami protein fibriler atau skleroprotein sulit untuk dicerna oleh enzim pepsin dan pankreatin atau tripsin dan kemotripsin menjadi asam-asam amino (Mayasaroh et al., 2012).

Jenis mineral yang terasuk ke dalam mineral makro adalah natrium, klorida, kalium, fosfor, magnesium, dan sulfur. Natrium, klor, kalium berperan dalam menjaga keseimbangan cairan tubuh. Natrium, kalsium, kalium, dan magnesium diperlukan untuk transmisi saraf dan kontraksi otot. Fosfor dan magnesium terlibat dalam metabolisme energi. Kalsium, fosfor, dan magnesium berperan dalam memberi bentuk (struktur) tulang. Mineral yang paling banyak jumlahnya di daam tubuh adalah kalsium, kemudian diikuti oleh fosfor (Parakkasi, 1995).

Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah kalsium, yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 58% fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat. Fosfor juga penting untuk jaringan saraf, mendukung fungsi-fungsi sistem saraf, dan membantu agar sembuh dari kelelahan mental disertai sakit kepala dan kesulitan berkonsentrasi. Defisiensi akan menyebabkan mudah lupa, pusing, dan migrain. Fosfor di dalam tubuh penting untuk reaksi-reaksi kimia karena dapat menangkap, mentransfer, dan menyimpan energi. Oleh karena itu, analisis kandungan fosfor dalam bahan pangan penting untuk dilakukan agar dapat mengetahui jumlah fosfor dan mengetahui kebutuhan fosfor yang diperlukan dalam tubuh dengan konsumsi makanan (Almatsier, 2001).

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat.  Alat yang digunakan pada praktikum penentuan kadar fosfor adalah tabung reaksi, silika disk, pipet pump, penangas air, kertas saring bebas abu, labu ukur 500 ml, dan spektrofotometer.

Bahan.  Bahan yang digunakan pada praktikum penentuan kadar fosfor adalah abu, HCl pekat, HCl 10%, aquades, AgNO3, dan HNO3 – Vanado – Molybdat.

 

Metode

            Preparasi sampel.  Abu hasil penetapan kadar abu ditambah 10 ml HCl pekat, dipanaskan di atas penangas air hingga volume maksimalnya 1/3 bagian. Ditambah lagi 20 ml HCl 10%, dipanaskan lagi hingga volumenya tinggal 1/3 bagian dan ditambah lagi 20 ml aquades dan dipanaskan 10 menit. Disaring melalui kertas saring bebas abu ke dalam labu ukur 500 ml dan dicuci dengan air panas (mendidih) sampai bebas asam. Diuji dengan AgNO3 untuk mengetahui apakah filtrat telah bebas asam. Filtrat disimpan untuk penentuan kadar Ca dan P.

Penentuan kadar fosfor. Tabung reaksi diisi dengan 0,5 ml sampel. Ditambahkan 4,5 ml larutan campuran H2O dengan HNO3 – Vanado – Molybdat (7:2), dihomogenkan dan ditunggu 30 menit. Dibaca absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm, aquades sebagai pembanding (blanko). Data yang terbaca dimasukkan pada persamaan standar berikut :

Y = 14,285X + 0,034

Y : Absorbansi, X : Konsentrasi P (mg/ml)

Kadar P (%) =


Hasil dan Pembahasan

 

Mineral fosfor (P) dan kalsium (Ca) sangat dibutuhkan ternak untuk pertumbuhan tulang dan berbagai metabolisme tubuh. Lebih kurang 75% dari total P dalam tubuh terdapat di dalam tulang dan selebihnya di dalam jaringan lain, maka ternak harus diberikan P dalam jumlah yang memadai agar mampu hidup dan berproduksi dengan normal (Ketaren et al., 2012). Fosfor mempunyai lebih banyak fungsi dibandingkan zat-zat mineral lainnya dalam tubuh. Beberapa fungsi fosfor di dalam tubuh ternak yaitu membantu dalam metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, serta membantu dalam aktivitas enzimatik dan fungsi vitamin, sebagai pengatur asam basa, berperan dalam pemeliharaan fungsi darah, berperan dalam proses pertumbuhan kerangka dan perkembangan gigi (Anggoradi, 1995).

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, ada beberapa perlakuan ketika preparasi sampel dan juga pengujian sampel. Penambahan HCl pekat dan pemanasan pada pembuatan sampel bertujuan untuk menguapkan mineral mikro, sedangkan penambahan HCl 10% dan pemanasan bertujuan untuk memisahkan Ca dan P dengan mineral lain dan penambahan aquades bertujuan untuk mengencerkan larutan. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menambahkan HCL pada abu dipanaskan, hal ini bertujuan untuk memisahkan mineral makro dan mineral mikro pemanasan juga bertujuan agar mineral mikro terbuang atau hilang. Penambahan HCl yang kedua berfungsi agar memisahkan senyawa Ca dan P dengan mineral yang lainnya sehingga mineral lain hilang (Chang, 2005). Penambahan aquades pada preparasi sampel juga bertujuan untuk mengetahui apakah filtrat sudah bebas dari asam atau belum, kemudian penambahan air sampai tanda batas pada labu ukur adalah untuk mengencerkan filtrat. Filtrat yang didapat kemudian dilakukan uju kadar fosfor dengan mengambil 0,5 ml sampel dan kemudian ditambahkan 4,5 ml larutan campuran H2O dengan HNO3 – Vanado – Molybdat hingga berwarna kuning, kemudian diamkan selama 30 menit. Fungsi dari penambahan campuran H2O dengan HNO3 – Vanado – Molybdat adalah sebagai pengikat fosfat yang akan menghasilkan senyawa HNO3 – Fosfo – Molybdat.

Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh kadar fosfor adalah sebesar 2,13%. Angoradi (1995) menyatakan, kandungan fosfor pada tepung daging tulang 5,10% sedangkan dalam tepung tulang 14%. ketersediaan P pada anak ayam dari garam pitat hanya sebesar 10% seperti ketersediaan dari dinatrium fosfat, sedangkan pada ayam petelur masa produksi P pitat dapat terseddia sekitar 50% seperti halnya yang tersedia dari dikalsium fosfat. Kamal (1999) menyatakan, pada ternak non ruminansia, faktor yang terpenting dan mempengaruhi pencernaan dan absorbs P adalah terdapatnya fitin atau asam pitat dalam tanaman, asam pitat adalah suatu ester antara inositol dan enam asam phosfat. Kurang lebih 50% dari P dalam butiran yang merupakan bahan utama dari unggas dan babi dalam bentuk asam pitat. Garam-garam ini merupakan Ca dan Mg  pitat yang tidak larut. Dengan demikian hanya 10 sampai 50% P dalam asam pitat yang dapat digunakan ini juga tergantung kepada jumlah vitamin D yang menyebabkan pengurangan absorbs P, dan telah ditemukan bahwa vitamin D menstimulasi transport aktif dari P. tetapi mekanisme transport ini belum jelas sehingga transport pasif yang terlihat.

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kadar fosfor sebesar 2,13% yang menunjukkan bahwa kadar fosfor tersebut tidak normal. Faktor yang mempengaruhi kadar fosfor adalah terdapatnya fitin atau asam pitat dalam tanaman, asam pitat adalah suatu ester antara inositol dan enam asam phosfat.


Daftar Pustaka

 

Angoradi, H. R . 1995. Nutrisi Ternak Unggas. PT Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta.

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Chang, R. 2005. Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Kamal, M. 1999. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas indonesia press. Jakarta.

Ketaren, P.P., M. Silalahi, T. Panggabean, D. Aritonang. 2012. Estimasi Ketersediaan Fosfor Dalam Defluorinated Rock Phosphate Dan Tepung Tulang Dengan Metode Slope Ratio Assay. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Mayasaroh, Intan., Denny Rusmana, Rachmat Wiradimadja. 2012. Dekolagenasi, Kandungan Kalsium Dan Fosfor Limbah Tulang Ayam Oleh Larutan KOH. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi Dan Makanan Ternak Ruminansia. UII Press. Jakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarsih, W., Denny Rusmana, Rachmat Wiradiamadja. 2012. Pengaruh Perendaman Limbah Tulang Ayam Menggunakan NaOH Terhadap Tingkat Dekolagenasi, Kandungan Kalsium Dan Fosfor. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.


Lampiran

 

Perhitungan :

Y                                 = 14,285 × 0,0304X

0,427                          = 14,285X × 0,0304

0,427 – 0,0304          = 14,285X

0,3966                        = 14,285X

X                                 =
X                                 = 0,027

 

Kadar P (%) =

Kadar P (%) =

Kadar P (%) = 2,13%

Laporan Praktikum Biokimia Ternak Acara Filtrasi Ginjal

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA TERNAK

ACARA IV

FILTRASI GINJAL

 

Disusun oleh :

Kelompok XXVIII

Maya Kurnia Kusuma                     PT/06438

Amelia Rahmawati Santoso          PT/06483

Nurus Sobah                                                PT/06587

Nino Sugiyanto                                PT/06602

Santa Astria Simbolon                    PT/06613

Asisten : Qorina

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


ACARA IV

FILTRASI GINJAL

 

Tujuan Praktikum

            Praktikum filtrasi ginjal bertujuan untuk menetapkan kadar kreatinin urin.

 

Tinjauan Pustaka

            Ginjal merupakan organ ekskresi yang berbentuk mirip kacang. Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Umumnya, terdapat sepasang ginjal yang terletak dibelakang perut, atau abdomen (Sloane, 1995)

Komponen ginjal menyaring darah dinilai dengan perhitungan. Laju Filtrasi Ginjal (LFG) atau juga dikenal sebagai Glomerular Filtration Rate (GFR). Bilai nilai LFG-nya 90, fungsi ginjal masih dikategorikan 90% baik, dianggap masuk dalam kriteria kondisi normal. Kemampuan fungsi ginjal tersebut dihitung dari kadar kreatinin dan kadar nitrogen urea (Blood Urea Nitrogen / BUN) di dalam darah. Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin di dalam darah akan meningkat. Kadar kreatinin normal dalam plasma darah adalah 0,6 sampai 1,2 mg/dL (Alam dan Iwan, 2007).

Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi. Konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Corwin, 2001). Kreatinin merupakan limbah kimia molekul yang dihasilkan dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis di hati dari metionin, glisis, dan arginin, dan terdapat dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dalam bentuk kreatinin fosfat (Pambela, 1998). Kreatinin berkolerasi positif dengan protein tubuh, sehingga jumlah kreatinin yang keluar semakin banyak menunjukkan jumlah protein tubuhnya semakin besar pula. Oleh karena itu, kreatinin yang dikeluarkan lewat urin dapat digunakan untuk menduga kandungan protein tubuh tanpa terlebih dahulu memotong trernak (Rahmawati et.al., 2009).

Hasil buangan kreatinin pada hewan normal adalah kreatinin yang sangat bergantung pada filtrasi glomerulus. Ekskresi kreatinin dalam urin pada individu sehat sedikit bervariasi dari hari ke hari. Besarnya ekskresi kreatinin melalui urin dianggap menggambarkan masa otot aktif total dan pemeriksaan kreatinin urin digunakan sebagai pemeriksaan sangat kasar akan ketepatan pengumpulan contoh urin 24 jam (Yanuar et al., 2010).

Kreatin disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dengan dalam bentuk kreatin fosfat (creatin phosphate, CP), suatu senyawa penyimpan energi. Sintesis ATP (adenosine triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate), kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (creatin kinase, CK). Seiring dengan pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin (Brooker, 2008).

 


Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum filtrasi ginjal adalah tabung reaksi, labu takar, pipet pump, pump, spektrofotometer, mikro pipet, kuvet, dan sentrifuge.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum filtrasi ginjal adalah kreatinin murni, HCl 0,1N, asam prikrat jenuh, dan NaOH 10%.

 

Metode

            Penetapan kadar kreatinin urin. Sampel urin/blanko 0,025 ml ditambahkan dengan 1 ml asam pikrat jenuh dan 0,075 ml NaOH 10%. Diamkan larutan selama 10 menit pada tabung reaksi. Ditambahkan 3,9 ml aquades dan dihomogenkan menggunakan vortex. Dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.

Perhitungan :

Y = 0,0258 + 0,3295X

Keterangan : Y = absorbansi sampel

X = kadar kreatinin urin (mg/ml)

 

Hasil dan Pembahasan

 

            Penetapan kadar kreatinin

Kreatinin merupakan limbah kimia molekul yang dihasilkan dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis di hati dari metionin, glisis, dan arginin, dan terdapat dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dalam bentuk kreatinin fosfat (Pambela, 1998). Kreatin disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dengan dalam bentuk kreatin fosfat (creatin phosphate, CP), suatu senyawa penyimpan energi. Dalam sintesis ATP (adenosine triphosphate) dari ADP (adenosine diphosphate), kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (creatin kinase, CK). Seiring dengan pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin (Brooker, 2008).

Percobaan uji kreatinin ditambahkan asam pikrat jenuh yang berfungsi untuk mengikat kreatinin yang terdapat pada urin, sedangkan NaOH berfungsi untuk membebaskan N pada amonia dengan cara berikatan dengan NaOH yang dapat direaksikan dengan asam. Menurut Lehningher (2000), fungsi NaOH pada uji kreatinin untuk membebaskan amonia dan asam pikrat untuk mengikat kreatinin.

Tabel 1. Kadar kreatinin dalam urin hasil praktikum

Kelompok Absorbansi Kadar Kreatinin (mg/ml)
22 0,076 0,152
23 0,564 1,633
24 0,133 0,325
25 0,505 1,454
26 0,098 0,219
27 0,526 1,518
28 0,094 0,222
29 0,468 1,342

 

Berdasarkan praktikum uji kadar kreatinin urin yang menggunakan urin sapi PFH pada kelompok 28 kadar kreatinin yang diperoleh yaitu sebesar 0,222 mg/ml, sedangkan pada kelompok 23 menggunakan urin sapi PO dan menghasilkan kadar kreatinin 1,633 mg/ml. Menurut Kaneko (1999), kadar kreatinin dalam urin PFH adalah 0,2 sampai 0,7 mg/ml dan plasma 1 mg/ml sedangkan (Dewi et al., 2010), kadar kreatinin sapi PO adalah 5,57 mg/ekor/hari dengan rata-rata pengeluaran urin 3,97 liter/hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa kadar kreatinin pada sapi PFH dan sapi PO dalm kondisi normal. Menurut Wientarsih et al. (2012), faktor yang dapat mempenaruhi kadar kreatinin adalah jenis kelamin, kondisi kelaparan, dan ukuran jaringan otot.

 

Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kadar kreatinin sapi PFH 0,222 mg/ml dan sapi PO adalah 1,633 mg/ml. Kada kreatinin pada sapi PFH dan sapi PO masih dalam kondisi normal. Faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin dalam urin adalah jenis kelamin, kondisi kelaparan, dan jaringan otot.

 

Daftar Pustaka

 

Alam, Syamsir dan Iwan H. 2007. Gagal Ginjal. PT Gramedia. Jakarta.

Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patfisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Dewi, Fitri Farita., E. Rianto, A. Purnomoadi. 2010. Pengarh Kandungan Ampas Teh Dalam Konsentrat Terhadap Ekskresi Kreatinin Pada Sapi Peranakan Ongole (PO). Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

Kaneko, J.J. 1999. Clinical Biochemistry Of Domestic Animal. Academic Press Inc. San Diego.

Lehninger, A. L. 2000. Dasar-dasar Biokimia Jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Pambela, E.S. 1998. Creatinine And The Kidney. Kanisius. Yogyakarta.

Rahmawati, K.S., E. Rianto., S. Mawarti., A. Purnomoadi. 2009. Keluaran Kreatinin Lewat Urin Dan Hubungannya Dengan Protein Tubuh Pada Domba Pada Berbagai Imbangan Protein – Energi. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang.

Sloane, Ethel. 1995. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Yanuar, Tegar E. 2010. Kadar Urea Nitrogen Urin Dan Kreatinin Urin Pada Banteng (Bos javanicus) Di Kebun Binatang Surabaya. Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR. Surabaya.

 

Lampiran

 

Perhitungan :

Sapi PFH

Y                                 = 0,0258 + 0,3295X

0,099                          = 0,0258 + 0,3295X

0,099 – 0,0258          = 0,03295X

0,0732                        = 0,03295X

X                                 =

X                                 = 0,222 mg/ml

 

Sapi PO

Y                                 = 0,0258 + 0,3295X

0,564                          = 0,0258 + 0,3295X

0,564 – 0,0258          = 0,3295X

0,5382                        = 0,3295X

X                                 =

X                                 = 1,633 mg/ml

Laporan Praktikum Mikrobiologi Dasar Acara Morfologi Jamur

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI DASAR

ACARA VI

MORFOLOGI JAMUR

Disusun oleh :

Kelompok X

Imam Ikhsani                             PT/06444

Lintang Anggoro                       PT/06501

Nurul Azizah                              PT/06528

Nurus Sobah                             PT/06587

Mahadhika A.P.W.P                 PT/06595

Asisten : Okti Widayati

 

 

 

 

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


 

ACARA VI

MORFOLOGI JAMUR

 

Tujuan Praktikum

            Praktikum morfologi jamur bertujuan untuk mempelajari morfologi jamur benang dan khamir.

 

Tinjauan Pustaka

            Jamur adalah makhluk hidup yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Jamur atau fungi bervariasi dalam ukuran, dari ragi yang uniseluler sampai jamur multiseluler, seperti jamur payung dan jamur kuping yang tumbuh di kayu. Pada umumnya, jamur memiliki 3 karakteristik utama, yaitu (1) eukariotik, (2) menggunakan spora sebagai alat perkembangbiakannya, dan (3) heterotrof. Sebagai tambahan, jamur membutuhkan tempat yang lembab dan hangat agar dapat tumbuh. Oleh karena itu, jamur banyak ditemukan di makanan yang lembab, di dasar kulit batang pohon, di dasar lantai hutan, serta di lantai kamar mandi yang lembab. Oleh karena bersifat heterotrof, secara ekologi jamur sangat penting karena berperan sebagai pengurai dan ikut andil dalam daur nutrisi yang ada di tanah (Subahari, 2008).

Sebagian besar tubuh fungsi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, yang saling berhubungan menjalin semacam jala yang disebut miselium. Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetatif yang berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan dan miselium fertile yang berfungsi dalam reproduksi. Fungsi tingkat tingi maupun tingkat rendah mempunyai ciri khas yaitu berupa benang tunggal atau bercabang-cabang yang disebut hifa. Fungi dibedakan menjadi dua golongan yaitu kapang dan khamir (Syamsuri, 2004).

Semua jamur adalah eukariota, mereka memiliki sel membran yang menutupi inti dan mitokondria dan organel bermembran lainnnya. Meskipun mereka berbeda mencolok dalam ukuran dan bentuk, tetapi jamur memiliki karakter tertentu, termasuk car mereka mendapatkan makanan. Jamur yang paling sederhana adalah ragi, uniseluler, dengan bentuk bulat atau oval. Ragi tersebar luas di tanah, daun, buah, dan juga pada tubuh kita. Ragi berperan penting dalam kedokteran, penelitian biologi, dan industri makanan (Solomon, 2011).

Struktur tubuh jamur yang paling umum adalah filamen multiseluler dan sel tunggal (ragi). Banyak spesies yang dapat tumbuh baik sebagai filamen dan ragi, tetapi kebanyakan tumbuh sebagai filamen, hanya sedikit spesies yang tumbuh sebagai ragi. Ragi biasanya berada di tempat yang lembab, termasuk getah tumbuhan dan jaringan hewan, dimana terdapat nutrisi seperti gula dan asam amino (Campbell et al., 2009).

 

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum morfologi jamur adalah gelas benda, gelas penutup, pembakar spiritus, pipet tetes, ose cincin, jarum preparat, dan mikroskop.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum morfologi jamur adalah biakan murni jamur pada medium PDA dalam tabung reaksi umur 4 sampai 5 hari ( Aspergilus niger, dan Saccharomyces cerevisiae) dan medium PDA.

 

Metode

            Gelas benda dan gelas penutup dibersihkan dengan alkohol sampai bebas lemak dan debu. Aquades diteteskan di bagian tengan gelas benda. Biakan jamur diambil dengan menggunakan ose dan diletakkan di atas gelas benda yang telah diberi aquades. Ose sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol dan dibakar hingga membara agar ose menjadi steril. Miselia dipisahkan dengan dua buah jarum preparat apabila miselia tersebut menggumpal. Gelas benda yang sudah diberi jamur dan aquades ditutup dengan gelas penutup dan diusahakan tidak terdapat gelembung udara di dalam preparat. Preparat diamati dengan perbesaran lemah terlebih dahulu. Jamur yang ukuran kecil dilanjutkan dengan perbesaran sedang dan jika diperlukan amati bagian yang diinginkan dengan perbesaran kuat dengan ditambah minyak immersi, khususnya untuk pengamatan bentuk dan struktur spora atau konidia. Hasil pengamatan digambar dan diberi keterangan lengkap.

 

 

Hasil dan Pembahasan

 

Fungi atau jamur adalah suatu divisi organisme eukariotik yang tumbuh dalam massa iregular, tanpa akar, batang, atau daun, dan tanpa klorofil atau pigmen lain yang mampu untuk berfotosintesis. Setiap organisme (talus) bersifat uniseluler hingga filamentosa, dan memiliki struktur somatik bercabang (hifa) yang dikelilingi oleh dinding sel yang mengandung selulosa atau sitin atau keduanya, dan mengandung nuklei asli. Organisme ini bereproduksi secara seksual atau aseksual (pembentukan spora) dan dapat memperoleh makanan dari organisme hidup lain sebagai parasit atau dari bahan organik sebagai saprofit (Direkx, 2001).

Jenis jamur yang digunakan dalam praktikum morfologi jamur ini adalah Aspergillus niger dan Saccharomycces cerevisiae. Aspergillus niger merupakan salah satu dari tiga spesies Aspergillus. Menurut Sacher et al. (2002), jamur jenis Aspergillus mudah tumbuh pada medium bakteri dan jamur, membentuk koloni yang dapat dilihat dalam 3 hari inkubasi. Bagod dan Laila (2006) juga mengatakan, Aspergillus dapat hidup sebagai saprofit dan parasit pada substrat makanan, pakaian, manusia, dan burung. Aspergillus biasanya tumbuh berkoloni pada makanan, pakaian, dan alat-alat rumah tangga. Koloni Aspergillus biasanya tampak berwarna abu-abu, hitam, cokelat, dan kehijauan. Jamur ini dapat tumbuh di daerah beriklim dingin maupun tropis. Aspergillus melakukan reproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembentukan kuncup atau tunas pada jamur uniseluler serta pemutusan benang hifa (fragmentasi miselium) dan pembentukan spora aseksual (spora vegetatif) pada fungi multiseluler. Reproduksi jamur secara seksual dilakukan oleh spora seksual.

 

 

Bagian tubuh dari Aspergillus niger yang tampak ketika diamati dengan menggunakan mikroskop adalah bagian spora, sporangium dan sporangiofor. Rizoid dari Aspergillus niger tidak tampak disebabkan ketika pengambilan Aspergillus niger dari medium kurang ke bawah, sehingga yang terambil hanyalah bagian sporangiofor dan sporangiumnya saja. Spora pada Aspergillus niger berfungsi sebagai reproduksi seksualnya sedangkan sporangium berfungsi sebagai tempat spora berada. Menurut Miskiyah et al.(2006), Aspergillus niger mempunyai hifa bersepta, koloninya berwarna putih pada PDA 25oC dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk. Kepala konidia dari Aspergillus niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur. Selain itu, Aspergillus niger memiliki warna dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Secara makroskopis, permukaan terlihat berwarna kehitaman, ketika diposisi terbalik (berlawanan) terlihat berwarna putih kekuningan.

Aspergillus niger dalam kehidupan memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah digunakan dalam proses fermentasi. Menurut Miskiyah et al. (2006), proses pembuatan ampas menjadi pakan dilakukan secara fermentasi menggunakan spora Aspergillus niger. Penggunaan cara ini dapat mempengaruhi kandungan nutrisi produk pakan. Kadar lemak yang masih tinggi dapat dikurangi dengan adanya aktivitas enzim lipase dari Aspergillus niger selama fermentasi. Selain itu menurut Bagod dan Laila (2006), Aspergillus niger dapat digunakan untuk menghilangkan oksigen (O2) dara sari buah dan menjernihkan sari buah. Jamur tersebut dapat menghasilkan enzim glukosa oksidase dan pektinase.

Saccharomyces merupakan jamur uniseluler. Jamur ini biasa dikenal orang sebagai ragi, khamir, atau yeast. Ragi dapat bereproduksi secara aseksual dan seksual. Menurut Bagod dan Laila (2006), reproduksi aseksual biasa dilakukan dengan cara membentuk kuncup kecil (budding) pada sel yang berbentuk oval. Kuncup tersebut membesar dan akhirnya terlepas dari sel induknya. Reproduksi seksual terjadi jika suplai makanan terhenti atau lingkungan tidak mendukung untuk melakukan reproduksi secara aseksual. Akibatnya, terbentuk askus dan askospora. Askospora dari dua tipe yang berlainan bertemu dan menyatu menghasilkan sel diploid. Selanjutnya, terjadi pembelahan secara meiosis sehingga beberapa askospora (haploid) dihasilkan lagi. Askospora haploid tersebut berfungsi secara langsung sebagai sel ragi baru.

 

Gambar.3 Saccharomyces cerevisiae

hasil pengamatan

Gambar.4 Saccharomyces cerevisiae

(Ahmad, 2005)

 

 

 

 

Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir sejati yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1 sampai 8 buah (Ahmad, 2005). Menurut Bagod dan Laila (2006), Saccharomyces cerevisiae banyak digunakan dalam pembuatan roti, tapai, minuman semacam anggur, dan bir. Saccharomyces hidup sebagai saprofit pada substrat yang banyak mengandung karbohidrat. Dengan menggunakan enzim amilase, jamur ini mampu menguraikan glukosa menjadi alkohol dan karbon dioksida dalam proses fermentasi. Adapun reaksi kimianya adalah:

C6H12O6 è 2C2H5OH + 2 CO2 + energi.

 

 

Kesimpulan

 

            Aspergillus niger memiliki bagian-bagian tubuh diantaranya adalah spora, sporangium, sporangiofor dan rizoid. Sedangkan pada Saccharomyces cerevisiae  membentuk suatu koloni yang berbentuk bulat yang tidak begitu kelihatan.


 

Daftar Pustaka

 

Ahmad, Riza Z. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae Untuk Ternak. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.

Campbell, N.A., J.B Reece., L.A Urry., M.L Cain., S.A Wasserman., P.V Minorsky., and R.B Jackson. 2009. Biology Ninth Edition. Pearson Education Inc, Benjamin Cummings. San Fransisco.

Direkx, John H. 2001. Kamus Ringkas Kedokteran Stedman Untuk Profesi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Miskiyah., I. Mulyawati., dan W. Haliza. 2006. Pemanfaatan Ampas Kelapa Limbah Pengolahan Minyak Kelapa Murni Menjadi Pakan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kampus Penelitian Pertanian. Bogor.

Nishimura, K. 1999. Aspergillus niger Microscopy. (http://www.pf.chiba-u.jp/gallery/fungi/a/Aspergillus_niger_microscopy.html). Diakses tanggal 18 Mei 2014 pukul 23.32 WIB.

Sacher, R.A., and R.A McPherson. 2002. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Solomon, E.P., L.R Berg., and D.W Martin. 2011. Biology Ninth Edition. Brooks/Cole Cengage Learning. USA.

Subahar, T.S.S. 2008. Biologi. Penerbit Quadra. Surabaya.

Sudjadi, Bagod., dan S. Laila. 2006. Biologi : Sains Dalam Kehidupan. Penerbit Yudhistira. Jakarta.

Syamsuri, Istamar. 2004. Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Laporan Praktikum Bahan Pakan dan Formulasi Ransum

LAPORAN PRAKTIKUM

BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

Nurus Sobah

13/349268/PT/06587

Kelompok VII

Asisten : Meita Puspa Dewi

 

 

 

 

LABORATORIUM TEKNOLOGI MAKANAN TERNAK

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015


BAB I

PENDAHULUAN

 

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak baik yang berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau semuanya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Bahan pakan merupakan salah satu faktor yang paling penting untuk menunjang kehidupan ternak dalam melakukan semua proses metabolisme dalam tubuh, mulai dari sistem digesti, respirasi, sirkulasi, pertumbuhan dan perkembangan,  sistem hormon, sistem limfoid dan syaraf, sistem gerak, sistem kekebalan tubuh (imun), ekskresi maupun reproduksi.

Pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak yang nantinya akan berpengaruh pada produktivitas ternak serta pertumbuhan dan perkembangan ternak.  Pakan yang dibutuhkan harus  memiliki kualitas baik yaitu pakan yang mengandung seluruh nutrien yang dibutuhkan oleh ternak.  Kandungan nutrisi dari suatu bahan pakan dapat diketahui melalui beberapa analisis bahan pakan salah satunya yaitu analisis proksimat.  Bahan pakan perlu dianalisa kandugan nutrienya. Ada beberapa metode analisa yang digunakan menentukan kandungan bahan pakan. Metode yang sering digunakan adalah metode analisis proksimat. Disebut analisis proksimat karena nilai yang diperoleh mendekati nilai komposisi yang sebenarnya.

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Komponen fraksi yang dianalisis masih mengandung komponen-komponen lain dengan jumlah yang sangat kecil, yang seharusnya tidak masuk ke dalam fraksi yang dimaksud, itulah sebabnya mengapa hasil analisis proksimat menunjukkan angka yang mendekati angka fraksi atau nilai sesungguhnya.

            Tujuan dari praktikum bahan pakan dan formulasi ransum adalah untuk mengetahui kandungan nutrien dari sampel bahan pakan dengan menggunakan metode analisis proksimat.  Manfaat yang dapat diperoleh dari praktikum bahan pakan dan formulasi ransum adalah dapat mempraktikkan secara langsung prosedur analisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien dari suatu sampel atau bahan pakan.

 


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

Bahan pakan atau dulu disebut bahan makanan ternak (feed) adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, tanpa mengganggu kesehatan pemakannya, dan bermanfaat bagi pemakannya (Utomo et al., 2008). Bahan pakan adalah suatu bahan yang dapat dimakan oleh hewan ternak yang mengandung energi dan zat-zat gizi (atau keduanya) yang dibutuhkan tubuh ternak (Hartadi et al., 1997). Kamal (1994), menyatakan bahwa bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat diabsorbsi, bermanfaat bagi ternak dan tidak menganggu kesehatan ternak tersebut. Kualitas bahan pakan ditentukan oleh kandungan nutrien atau komposisi kimianya.

Bahan pakan dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu air dan bahan kering. Bahan kering dibagi menjadi bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik terdiri dari karbohidrat, lipida, protein dan vitamin. Bahan organik hanya terdiri mineral (Tillman et al., 1998). Komposisi susunan kimia dan kegunaannya suatu bahan pakan dapat diketahui dengan dilakukan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan menggolongkan komponen bahan pakan yang ada pada makanan. Metode analisis proksimat ini, komponen bahan pakan dapat dikelompokkan dalam bahan kering (dry matter), abu (ash), ekstrak ether, serat kasar (crude fibre), protein kasar (crude protein), dan ekstrak tanoa nitrogen (ETN) (Utomo et al., 2008).

Berdasarkan sifat karakteristik fisik dan kimia serta penggunaannya, bahan pakan dibagi menjadi 8 klas : Klas 1 adalah hijauan kering (dry forages) dan jerami (roughages) yaitu semua hijauan , jerami serta produk lain yang serat kasar >18%, dinding sel >35%, contohnya hay (hijauan kering), jerami padi, stover, sekam, daging buah (pod). Klas 2 adalah pasture (tanaman padangan) yaitu semua hijauan (forages) yang diberikan segar dipotong atau tidak, contohnya rumput gajah, rumput raja, daun lamtoro, daun turi, daun nangka, ketela pohon. Klas 3 silage (silase) yaitu semua silage yang berasal dari hijauan (rumput, tanaman jagung dan sebagainya), tidak termasuk seilage umbu, silage bebijian, dan silage ikan. Klas 4 adalah sumber energi yaitu bahan pakan yang mengandung serat kasar <18%, dinding sel <35%, dan protein kasar <20%, contohnya bebijian, umbi. Kekacangan, hasil ikutan industri pertanian (dedak halus, onggok, dan tetes). Klas 5 adalah sumbeer protein yaitu bahan pakan yang mengandung serat kasar <18%, dinding sel <35%, dan protein kasar ≥20%, contohnya biji legume, bungkil, bahan pakan asal hewan dan ikan. Klas 6 adalah sumber mineral yaitu bahan pakan yang digunakan sebagai sumber mineral, contohnya batu kapur, tepung tulang. Klas 7 sumber vitamin, termasuk hasil peragian. Klas 8 adalah additive yaitu bahan tambahan, contohnya hormon, pewarna, obat-obatan, antibiotik (Utomo et al,. 2008).

Nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan tanaman buah yang populer yang banyak ditanam di Thailand dan daerah tropis lainnya. Buah yang matang banyak mengandung daging buah warna kuning dengan rasa manis dan terdapat biji di dalamnya. Benih nangka berukuran 10 sampai 15% dari total buah dan memiliki karbohidrat dan protein tinggi (Tulyathan et al., 2001).  Nangka merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di iklim tropis. Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm per tahun dimana keringnya tidak terlalu keras. Pohon tinggi 20 sampai 30m, permukaan batang kasar, diameter kurang lebih 80cm, bergetah putih, kayunya bagian dalam berwarna kekuningan. Daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling, dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengilap, kaku, dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Di daerah aslinya, nangka tumbuh di hutan-hutan selalu hijau pada ketingiian 400 sampai 1200m. Namun pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik pada daerah beriklim hangat dan lembab pada ketinggian di bawah 1000 mdpl dan dengan curah hujan 1500 mm atau lebih. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dan dengan ditanam pada kedalaman yang cukup, memiliki drainase yang baik, pada tanah berpasir atau tanah liat dengan pH tanah 6,0 sampai 7,5 (Rukmana, 1997). Klarifikasi tumbuhan nangka, sebagai berikut.

Kingdom        : Plantae

Divisio                        : Spermatopyta

Kelas              : Dicotyledone

Ordo               : Morales

Famili             : Moraceae

Genus                        : Artocarpus

Spesies          : Artocarpus heterophyllus

Daun nangka (Artocarpus heterophyllus Lam) mengandung saponin, flavonoid, dan tanin, pada buah nangka yang masih muda dan akarnya mengandung saponin. Senyawa saponin, flavonoid, dan tannin dapat bekerja sebagai antimikrobia dan merangsang pertumbuhan sel baru. Senyawa saponin akan merusak membran sitoplasma dan membunuh sel bakteri. Senyawa flavonoid mekanisme kerjanya mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat diperbaiki lagi (Pelczar , 1998 dalam Hamzah, 2013). Sasongko et al., (2010) menyatakan bahwa daun nangka banyak mengandung tanin. Hal tersebut diperkuat oleh Kurniawati (2008) dalam Sasongko et al., (2010), bahwa setelah dilakukan penentuan kadar tanin pada beberapa hijauan pakan yang belum banyak dikenal dengan menggunakan metode total phenol dan total tanin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total tanin pada daun nangka relatif tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan lainnya.

Keberadaan tanin di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen (Jayanegara dan Sofyan, 2008).

BAB III

MATERI DAN METODE

 

Materi

Pengamatan fisik

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum pengamatan fisik adalah lembar kerja praktikum dan alat tulis.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum pengamatan fisik adalah daun nangka (Artocarpus heterophyllus).

Penetapan kadar air

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar air adalah silica disk, desikator, tang penjepit, oven pengering (105 sampai 110oC), dan timbangan analitik.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar air adalah daun nangka  (Artocarpus heterophyllus).

Penetapan kadar abu

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar abu adalah silica disk, desikator, tang penjepit, oven pengering (105 sampai 110oC), tanur (550 sampai 600oC), dan timbangan analitik.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar abu adalah Artocarpus heterophyllus.

Penetapan kadar serat kasar

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar serat kasar adalah beaker glass 600 ml, pemanas, saringan linen, serat gelas (glass wool), alat penyaring crucible, gelas arloji, tang penjepit, desikator, oven pengering (105 sampai 110oC), tanur (550 sampai 600oC), dan timbangan analitik.

            Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar serat kasar adalah Artocarpus heterophyllus, H2SO4 1,25%, NaOH 1,25%, dan etil alkohol 95%.

 

Penetapan kadar protein kasar

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar protein kasar adalah labu kjeldahl 650 ml, labu Erlenmeyer 650 ml dan 300 ml, gelas ukur 100 ml, buret, corong, pipet volume 25/50 ml, alat destruksi, alat destilasi, dan timbangan analitik.

            Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar protein kasar adalah Artocarpus heterophyllus, H2SO4 pekat, CuSO4 dan K2SO4, kjeltab, NaOH 50%, HCl 0,1 N, H3BO3 0,1 N, indicator mix (Metil Red, Brom Cresol Green, metanol).

Penetapan kadar ekstrak eter

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum penetapan kadar lemak kasar adalah seperangkat alat ekstraksi dan selongsong dari Soxhlet, labu penampung, alat pendingin, oven pengering, desikator, tang penjepit, timbangan analitik, dan kertas saring bebas lemak.

            Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum penetapan kadar lemak kasar adalah Artocarpus heterophyllus.

 

Metode

Pengamatan fisik

            Pengamatan fisik yang dilakukann pada praktikum kali ini dilakukan dengan melakukan pengamatan fisik dengan parameter yang diamati adalah tekstur, warna, bau, dan rasa dari Artocarpus heterophyllus.

Penetapan kadar air

            Silica disk yang sudah bersih bersama tutup yang dilepas dalam oven pengering pada suhu 105 sampai 110oC selama 1 jam. Silica disk  didinginkan bersama tutup yang dilepas di dalam desikator selama 1 jam, dan bila sudah dingin ditimbang. Cuplikan bahan ditimbang seberat sekitar 1 gram, dimasukkan ke dalam silica disk dan dikeringkan bersama tutup yang dilepas di dalam oven pengering selama 8 sampai 24 jam pada suhu 105 sampai 110oC. Silica disk dikeluarkan bersama dengan cuplikan bahan pakan dari dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator dengan tutup dilepas selama 1 jam. Silica disk yang berisi cuplikan ditimbang dalam keadaan dingin dan tertutup sampai diperoleh bobot yang tetap.

Perhitungan :

Kadar Air =

Kadar bahan kering = 100% – kadar air

Keterangan :        x = bobot silica disk

y = bobot cuplikan pakan

z = bobot cuplikan pakan+silica disk setelah dioven 105 – 110°C

Penetapan kadar abu

Silica disk yang sudah bersih dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 sampai 110oC selama 1 jam. Silica disk didinginkan di dalam desikator selama 1 jam, kemudian setelah dingin ditimbang. Cuplikan bahan pakan ditimbang seberat 1 gram, dimasukkan ke dalam silica disk. Silica disk yang berisi cuplikan bahan pakan dimasukkan ke dalam tanur. Tanur dinyalakan pada suhu 550 sampai 600oC selama lebih dari 2 jam hingga cuplikan berwarna putih seluruhnya. Setelah itu suhunya diturunkan sampai 120oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam.Sesudah dingin kemudian bahan pakan ditimbang.

Perhitungan :

Kadar Abu =

Keterangan :        x = bobot silica disk kosong

y = bobot sampel sebelum dibakar dalam ditanur

z = bobot sampel + silica disk setelahditanur

Penetapan kadar serat kasar

Cuplikan bahan pakan ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 600 ml, ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25%, dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit. Bahan pakan disaring dengan saringan linen dengan bantuan pompa hampa. Hasil saringan dimasukkan ke dalam beaker glass, ditambahkan 200 ml NaOH 1,25% lalu dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit. Bahan pakan disaring kembali dengan menggunakan crucible yang dilapisi glass wool dengan bantuan pompa vacuum kemudian dicuci dengan beberapa ml air panas dan dengan 15 ml etil alkohol 95%. Hasil saringan termasuk glass wool dimasukkan ke dalam alat pengering dengan suhu 105 sampai 110oC selama semalam kemudian didinginkan dalam desikator selama 1 jam. Crucible bersama dengan isinya kemudian ditanur dengan suhu 550 sampai 6000C sampai berwarna putih seluruhnya. Dinginkan crucible dengan menggunakan desikator, lalu ditimbang.

Perhitungan :

Kadar serat kasar =

Keterangan :        x = bobot sampel awal

y = bobot sampel setelah dikeringkan oven 105°C

z = bobot sisa pembakaran 550 – 600°C

Penetapan kadar protein kasar

Destruksi. Cuplikan bahan pakan ditimbang seberat 0,5 gr. Setelah bahan pakan ditimbang kemudian disiapkan 2 butir batu didih, 20 ml H2SO4 pekat dan ¼ tablet kjeltab. Cuplikan bahan pakan dimasukkan ke dalam tabung destruksi yang telah bersih dan kering. Kompor destruksi dihidupkan kemudian tabung-tabung destruksi ditempatkan pada lubang yang ada pada kompor, lalu pendingin dihidupkan. Skala pada kompor destruksi di set kecil kurang lebih 1 jam. Destruksi diakhiri bila larutan berwarna jernih kemudian didinginkan dan dilanjutkan proses destilasi.

Destilasi. Hasil destruksi diencerkan dengan air sampel volumenya 300 ml, digojog agar larutan homogen. Erlenmeyer 650 ml yang berisi 50 ml H3BO3 0,1 N, 100 ml air, dan 3 tetes indicator mix disiapkan. Penampung dan labu kjeldahl disiapkan dalam alat destilasi. Air pendingin dihidupkan dan tombol ditekan hingga menyala hijau. Dispensing ditekan ke bawah untuk memasukkan NaOH 50% ke dalam tabung. Penambahan NaOH harus melalui dinding. Handle steam diturunkan sehingga larutan yang ada dalam tabung mendidih. Destilasi berakhir setelah desilat mencapai 200 ml kemudian buat blanko dengan menggunakan cuplikan yang berupa H2O dan di destilasi.

Titrasi. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berubah warna.

Perhitungan :

Kadar protein kasar =

Keterangan :        x = jumlah titrasi sampel (ml)

y = jumlah titrasi blanko (ml)

N = normalitas HCl

z = bobot sampel (gram)

Penetapan kadar ekstrak eter

Cuplikan bahan pakan ditimbang sekitar 0,7 gr dan dibungkus dengan kertas saring bebas lemak, diambil sampel sebanyak 3 bungkus. Masing-masing bungkusan cuplikan dimasukkan ke dalam oven pengering 105 sampai 110oC selama semalam. Bungkusan cuplikan bahan pakan ditimbang dalam keadaan panas kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu penampung diisi dengan petroleum benzene sekitar ½ volume labu penampung, alat ekstraksi Soxhlet juga diisi sekitar ½ volume dengan petroleum benzene. Labu penampung dan tabung Soxhlet dipasang, kemudian penangas dan pendingin dihidupkan. Ekstraksi dilakukan selama sekitar 16 jam atau sampai petroleum benzene dalam alat ekstraksi berwarna jernih. Pemanas dimatikan kemudian sampel diambil dan dipanaskan dalam oven pengering selama semalam. Bahan pakan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.

Perhitungan :

Kadar ekstrak eter =

Keterangan :   x   =  bobot sampel awal

y   =   bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah oven 105°C (sebelum diekstraksi).

z  =   bobot sampel + kertas saring bebas lemak setelah oven 105°C (setelah diekstraksi)

 

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan fisik

Pengamatan fisik pada praktikum ini dilakukan dengan cara menganalisis bahan pakan secara fisik meliputi tekstur, warna, bau, dan rasa. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui data hasil pengamatan tertera pada Tabel 1. sebagai berikut :

Tabel 1. Pengamatan fisik

Parameter Pengamatan
Tekstur

Warna

Bau

Rasa

Kasar

Hijau

Harum

Hambar

Berdasarkan data hasil pengamatan fisik yang telah dilakukan didapatkan bahwa sampel yang digunakan mempunyai tekstur kasar, berwarna hijau, bau harum, dan rasa hambar. Berdasarkan pengamatan fisik tersebut diperkirakan bahwa bahan pakan yang digunakan untuk sampel praktikum adalah daun nangka. Rukmana (1997), menyatakan daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling, dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengilap, kaku, dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Menurut Verheij dan Coronel (1997) nangka memiliki daun tunggal, tersebar, bertangkai 1 sampai 4 cm, helai daun agak tebal seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat telur terbalik sampai jorong (memanjang), dengan pangkal menyempit sedikit demi sedikit, ujung pendek runcing atau agak runcing, dan berwarna hijau muda sampai tua.

Daun nangka. Nangka merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di iklim tropis. Tanaman ini menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm per tahun dimana keringnya tidak terlalu keras. Pohon tinggi 20 sampai 30 m, permukaan batang kasar, diameter kurang lebih 80cm, bergetah putih, kayunya bagian dalam berwarna kekuningan. Daun nangka berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling, dan bertangkai pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengilap, kaku, dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Di daerah aslinya, nangka tumbuh di hutan-hutan selalu hijau pada ketingiian 400 sampai 1200 m. Namun pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik pada daerah beriklim hangat dan lembab pada ketinggian di bawah 1000 mdpl dan dengan curah hujan 1500 mm atau lebih. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah dan dengan ditanam pada kedalaman yang cukup, memiliki drainase yang baik, pada tanah berpasir atau tanah liat dengan pH tanah 6,0 sampai 7,5 (Rukmana, 1997). Kurniawati (2008) dalam Sasongko et al., (2010) menyatakan bahwa setelah dilakukan penentuan kadar tanin pada beberapa hijauan pakan yang belum banyak dikenal dengan menggunakan metode total phenol dan total tanin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total tanin pada daun nangka relatif tinggi dibandingkan dengan hijauan pakan lainnya. Berikut adalah data tabel kandungan nutrien yang ada pada daun nangka tertera pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Kandungan nutrien daun nangka (Artocarpus heterophyllus).

Parameter Nilai
Bahan Kering (%) 16
Protein Kasar (%) 10,5
Lemak Kasar (%) 3,8
Serat Kasar (%) 19,8
Abu (%) 21,8
BETN (%) 32,9

(Hartadi et al., 1997)

Analisis Proksimat

            Analisis proksimat atau analisis Weende dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, yaitu suatu metode analisis dan menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Cara ini dipakai hampir di seluruh dunia dan disebut analisis proksimat. Analisis ini didasarkan atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tillman et al., 1998). McDonald et al. (1995), menyatakan analisa proksimat dibagi menjadi enam fraksi nutrien yaitu kadar air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Sutardi et al. ( 2003), menyatakan pada prinsipnya bahan pakan terdiri atas dua bagian yaitu air dan bahan kering yang dapat diketahui melalui pemanasan pada suhu 105°C. Selanjutnya bahan kering ini dapat dipisahkan antara kadar abu dan kadar bahan organik melalui pembakaran dengan suhu 500°C.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data analisis proksimat tertera pada Tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Data hasil analisis proksimat sampel bahan pakan

Parameter Pengamatan
Kelompok 7 Kelompok 8 Rata-rata
Kadar Air (%) 66,6% 66,31% 66,455%
Bahan Kering (%) 33,4% 33,69% 33,545%
Protein Kasar (%) 14,67% 8,08% 11,375%
Serat Kasar (%) 22,41% 22,64% 22,525%
Lemak kasar (%) 3,38% 5,5% 4,44%
Abu (%) 14,6% 14,19% 14,395%

Penetapan kadar air. Air yang dimaksud dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan selama beberapa waktu, yakni pada suhu 100 sampai 105°C dengan tekanan udara bebas sampai sisanya tidak menguap (Kamal, 1999). Penentuan kadar air bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering dari bahan tersebut, hal ini penting karena bobot bahan kering akan digunakan sebagai standar bobot untuk penentuan kadar fraksi lainnya (Kamal, 1994). Sudarmadji et al., (2007), menyatakan bahwa prinsip penentuan kadar air dengan cara pengeringan adalah dengan menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan pada suhu 105 sampai 1100C selama 8 sampai 24 jam, kemudian bahan tersebut ditimbang sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Kelemahan metode ini meliputi bahan lain  juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain; dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain, contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami oksidasi dan sebagainya; bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.

Langkah yang digunakan dalam menentukan kadar air pada praktikum ini adalah dengan memanaskan silica disk terlebih dahulu dengan menggunakan pemanas oven pada suhu 105 sampai 1100C selama 1 jam, ini dimaksudkan agar kandungan air pada silica disk menghilang sehingga tidak mempengaruhi bahan pakan yang akan diuji. Silica disk yang telah dioven kemudian didinginkan di dalam desikator selama satu jam. Desikator berfungsi untuk menstabilkan suhu penggunaan agar tetap dalam kondisi stabil dan tidak terkontaminasi dengan air. Bahan pakan dan silica disk kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik, lalu catat bobot dari bahan pakan dan silica disk tersebut. Bahan pakan dan silica disk yang telah ditimbang kemudian dipanaskan dengan menggunakan pemanas oven pada suhu 105 sampai 1100C selama 8 sampai 24 jam. Pemanas oven berfungsi agar air yang ada dalam bahan pakan tersebut dapat menguap. Pemanasan dihentikan setelah bobot dari bahan pakan tersebut stabil dan tidak mengalami penurunan berat atau berat kering.

Berdasarkan hasil praktikum penentuan kadar air diperoleh data bahwa rata-rata kadar air adalah 66,445% dengan kadar bahan kering sebesar 33,4%. Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar air pada daun nangka adalah sebesar 67%, sedangkan Sasongko et al., (2010), menyatakan kadar air pada daun nangka adalah 66%. Berdasarkan literatur tersebut dapat dikatakan bahwa data yang diperoleh sudah sesuai dengan literatur. Menurut Hartadi et al., (1997), kadar bahan kering padadaun nangka (Artocarpus heterophyllus) adalah sebesar 16%.  Kamal (1994), menyatakan perbedaan kadar air pada bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ketika panen dan pengolahan pasca panen, sedangkan Sutardi (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kadar air yaitu pengeringan dan kandungan air dari suatu bahan pakan.

Penetapan kadar abu. Abu dalam analisis proksimat adalah suatu bahan yang dibakar sempurna pada suhu 500 sampai 6000C selama beberapa waktu, maka semua nyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O, dan gas lain yang menguap, sedangkan sisanya yang tidak menguap itulah yang disebut abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang terkandung di dalam bahannya (Kamal, 1994). Abu atau mineral diperoleh dengan jalan membakar sempurna bahan pakan pada temperatur 5500C sampai semua bahan organik terbakar (Utomo et al., 2008). Penentuan kadar abu bertujuan untuk menentukan kadar abu dalam suatu bahan pakan. Kombinasi unsur-unsur mineral dalam bahan makanan berasal dari tanaman sangat bervariasi sehingga nilai abu tidak dapat dipakai sebagai indeks untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu atau kombinasi unsur-unsur penting. Kadar abu berguna khususnya sebagai indeks untuk kadar kalsium dan fosfor pada bahan makanan yang berasal dari hewan (Tillman et al., 1998). Prinsip kerja kadar abu adalah semua bahan pakan bila dibakar pada suhu 550 sampai 6000C selama beberapa waktu maka semua zat organiknya akan terbakar sempurna menghasilkan oksida yang menguap yaitu berupa CO2, H­2O, dan gas-gas lain, sedang sisanya yang tertinggal tidak menguap adalah oksida mineral atau yang disebut abu (Kamal, 1994).

Proses penentuan kadar abu dilakukan setelah melakukan uji kadar air. Bahan pakan dan silica disk hasil dari uji kadar air kemudian dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 550 sampai 6000C selama lebih dari 12 jam. Pemanasan dengan tanur pada suhu 550 sampai 6000C adalah untuk mengoksidasi semua zat organik yang ada dalam bahan pakan.  Proses penanuran selesai jika cuplikan bahan pakan tersebut berwarna putih seluruhnya. Matikan tanur dan tunggu selama satu hari agar panas dalam tanur menurun karena jika langsung dibuka akan berbahaya karena udara panas dalam tanur sangat tinggi. Ambil bahan pakan dan silica disk kemudian timbang bobotnya dengan menggunakan timbangan analitik.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data  bahwa rata-rata kadar abu adalah sebesar 14,395%. Hartadi et al. (1997), menyatakan kadar abu dalam bahan pakan daun nangka adalah 21,8%, sedangkan Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar abu dalam bahan paka daun nangka adalah sebesar 14,3%. Berdasarkan literatur tersebut dapat disimpulkan bahwan kadar abu dalam bahan pakan daun nangka berada pada kisaran normal. Barry (2004), menyatakan, asal bahan baku dan lokasi pembudidayaan mempengaruhi kadar abu karena media tanam pada daerah yang berbeda memiliki kandungan mineral yang berbeda, sehingga mempengaruhi kadar mineral pada tanaman. Setiap spesies tanaman memiliki kemampuan yang berbeda untuk menyerap nutrien, khususnya mineral, yang terkandung dalam tanah, sehingga menyebabkan perbedaan kandungan mineral pada tanaman yang juga menyebabkan perbedaan kualitasnya.

Penetapan kadar serat kasar. Serat kasar adalah bahan organik yang tahan terhadap hidrolisis asam dan basa lemah (Utomo et al., 2008). Serat kasar menurut analisis proksimat adalah semua senyawa organik yang tidak larut dalam perebusan dengan larutan H2SO4 1,25% dan perebusan dengan larutan NaOH 1,25% selama 30 menit secara berurutan. Perebusan akan melarutkan senyawa organik kecuali serat kasar dengan berbagai campurannya. Senyawa yang termasuk dalam serat kasar adalah hemiselulosa, pentosan, lignin dan cutine (Hartadi et al., 2008). Analisa penentuan serat kasar menghitung banyaknya zat-zat yang tak larut dalam asam encer maupun basa encer dengan kondisi tertentu (Sudarmadji et al., 2007). Prinsip penetapan kadar serat kasar adalah semua senyawa organik kecuali serat kasar akan larut bila direbus dalam H₂SO₄ 1,25% (0,255 N) dan dalam NaOH 1,25% (0,313 N) yang berurutan masing-masing selama 30 menit. Bahan organik yang tertinggal disaring dengan glass wool dan crucible. Hilangnya bobot setelah dibakar 550 sampai 600°C adalah serat kasar (Kamal, 1999).

Penetapan kadar serat kasar dilakukan dengan menimbang cuplikan bahan pakan sebanyak 1 gram dengan menggunakan timbangan analitik, kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass 600 ml, lalu ditambahkan dengan 200 ml H2SO4 1,25% dan kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit. Pemanasan dengan menggunakan H2SO4 1,25% adalah untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein yang ada dalam bahan pakan selain itu juga disesuaikan dengan pH yang ada dalam lambung. Bahan pakan yang sudah direbus dengan menggunakan H2SO4 1,25% selama 30 menit kemudian disaring dengan menggunakan saringan linen dibantu dengan menggunakan pompa hampa (pompa vacum). Pompa vacum berfungsi untuk membantu agar proses penyaringan dapat berjalan dengan cepat. Hasil saringan kemudian dimasukkan kembali ke dalam beaker glass dan ditambahkan dengan 200 ml NaOH 1,25% lalu dididihkan selama 30 menit. Perebusan dengan menggunakan NaOH bertujuan untuk penyabunan lemak yang ada dalam bahan pakan, selain itu juga disesuaikan dengan pH yang ada dalam usus. Bahan pakan yang telah dididihkan dengan NaOH 1,25% kemudian disaring dengan menggunakan crucible yang telah dilapisi dengan glass wool dengan bantuan pompa vacum, cuci dengan beberapa ml air panas dan kemudian dengan 15 ml ethyl alkohol. Glass wool berfungsi agar meminimalisir bahan pakan yang ikut larut dalam penyaringan, selain itu juga karena glass wool tidak mudah lebur atau meleleh jika dipanaskan pada suhu tinggi dengan menggunakan tanur (550 sampai 6000C). Ethyl alkohol berfungsi untuk menghidrolisis lemak yang kemungkinan masih terkandung dalam bahan pakan. Hasil saringan termasuk glass wool dipanaskan pada oven dengan suhu 105 sampai 1100C selama semalam, kemudian dinginkan dengan desikator lalu timbang bobotnya. Bakar crucible bersama dengan isinya pada tanur dengan suhu 550 sampai 6000C sampai berwarna putih seluruhnya, lalu dinginkan dengan desikator dan timbang bobotnya.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-rata kadar serat kasar adalah 22,525%. Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar serat kasar pada daun nangka adalah 21,45%, sedangkan Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar serat kasar pada daun nangka adalah sebesar 31,369%. Berdasarkan literatur tersebut diketahui kadar serat kasar berada pada kisaran normal. Hartadi et al., (1997), menyatakan perbedaan kadar serat kasar disebabkan oleh adanya perbedaan umur tanaman, jenis lingkungan, dan pemupukkan terhadap induk tanaman yang digunakan sebagai sampel Aak (2008) menyatakan semakin tua umur tanaman maka semakin tinggi serat kasarnya karena semakin banyak serabut yang diselubungi oleh lignin dan membuat tanaman menjadi keras, juga semakin rendah pula kecernaannya. Faktor lain seperti jenis tanaman dan komposisi tanaman mempengaruhi kadar serat kasar dalam bahan pakan.

Penetapan kadar protein kasar. Protein kasar diperoleh dan hasil penetapan N x 6,25 (protein rata-rata mengandung N 16%). Protein merupakan kumpulan asam amino yang saling diikatkan dengan ikatan peptida (Utomo et al.,2008). Protein merupakan salah satu zat makanan yang berperan pada produktivitas ternak. Jumlah protein dalam pakan ditentukan dengan kandungan nitrogen bahan pakan melalui metode kejedahl yang kemudian dikali faktor protein 6,25 (Suparjo, 2010). Protein merupakan kumpulan asam amino yang saling diikatkan dengan dengan ikatan-ikatan peptida. Energi protein sebesar 5,50 Kcal/g, apabila digunakan sebagai sumber energi 1,25 Kcal/g keluar sebagai urea, setiap unit protein tinggal 4,25 Kcal/g. Karena digesti protein yang tidak sempurna, nilai energinya berkurang 0,25 Kcal/g sehingga tinggal 4 Kcal/g (Utomo, 2012).

            Penetapan kadar protein kasar dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Proses destruksi (oksidasi) merupakan perubahan N-protein menjadi ammonium sulfat (NH4)2SO4. Prinsip destruksi yaitu menghancurkan bahan menjadi komponen sederhana, sehingga nitrogen dalam bahan terurai dari ikatan organiknya. Nitrogen yang terpisah diikat oleh H2SO4 menjadi (NH4)2SO4. Raksi destruksi dilakukan dengan cara menimbang bahan pakan seberat 0,5 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung destruksi. H2SO4 pekat 20 ml dan seperempat tablet kjeltab dimasukkan ke dalam tabung destruksi. Tablet kjeltab terdiri dari CuSO4 dan K2SO4 dengan perbandingan 2 : 1 yang berfungsi dari katalisator. Tabung destruksi kemudian ditutup dengan penutup yang sudah terhubung dengan selang yang terhubung ke udara bebas. Tabung destruksi kemudian dimasukkan ke dalam kompor destruksi lalu dipanaskan pada suhu tertentu selama 1 jam. Fungsi dari kompor destruksi adalah sebagai katalisator sama seperti dengan tablet kjeltab. Destruksi diakhiri apabila larutan sudah berwarna jernih kekuningan. Reaksi destruksi :

N organik + H2SO4 → (NH4)2SO4 + H2O + NO3 + NO2 (Suparjo, 2010).

Hasil dari destruksi kemudian masuk ke tahapan destilasi. Prinsip dari destilasi yaitu memecah (NH4)2SO4 menjadi NH3 yang kemudian ditangkap oleh H3BO3. Hasil destruksi pertama dilarutkan dengan menggunakan air sebanyak 75 ml, setelah itu dimasukkan NaOH 50% sebanyak 100 ml melalui dinding tabung. Berwarna biru apabila larutan NaOH sudah cukup dan berwarna coklat apabila NaOH masih kurang dari 100 ml. NaOH berfungsi untuk merubah (NH4)2SO4 menjadi NH4OH yang apabila dipanaskan akan berubah menjadi gas NH3 dan kemudian dikondensasi berubah menjadi larutan. NH3 kemudian mengalir ke dalam tabung yang sudah berisi larutan H3BO3, indikator mix (methanol, methyl red, dan brom kresol green), air, dan NaOH rendah. NH3 kemudian ditangkap oleh H3BO3 menjadi (NH4)3BO3 yang ditandai dengan berwarna hijau. Proses destilasi diakhiri apabila larutan yang ada dalam tabung erlenmeyer sudah berisi larutan sebanyak 200 ml. Reaksi dari proses destruksi adalah :

(NH4)2SO4 + 2 NaOH → 2NH4OH + Na2SO4

↙    ↘

2NH3   2H2O

NH3 + H3BO → (NH4)3BO3 (Suparjo, 2010).

Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai timbul perubahan warna hijau menjadi warna perak. Prinsip titrasi yaitu mengukur sisa asam yang tidak bereaksi dengan NH3. Reaksi ini bertujuan untuk mengetahui jumlah N yang terdestilasi. Reaksi yang terjadi pada proses titrasi sebagai berikut:

(NH4)3BO3 + 3HCl → 3NH4Cl + H3BO3 (Suparjo, 2010).

Berdasarkan dari praktikum penentuan kadar protein kasar yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa rata-rata kadar protein kasar adalah 11,375%. Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar protein kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 11,22%. Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar protein kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 14,945%, sedangkan Hartadi et al., (1997), menyatakan kadar protein kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 10,5%. Berdasarkan literatur yang ada, rata-rata kadar protein kasar berada pada kisaran normal. Kamal (1999), menyatakan kadar protein kasar dipengaruhi oleh faktor spesies, perbedaan umur tanaman, dan bagian tanaman yang dianalisis. Semakin tua umur tanaman maka kadar protein kasarnya semakin berkurang. Syamsuddin (2013) bahwa semakin tua umur tanaman kadar protein kasarnya semakin berkurang. Rendahnya kadar protein tanaman tua dapat disebabkan karena semakin tua tanaman memiliki batang yang lebih tinggi persentasenya daripada daun.          Penetapan kadar lemak kasar. Lemak kasar adalah semua bahan organik yang larut dalam dalam pelarut lemak termasuk lipida dan zat yang tidak berlemak. Dengan demikian bukan gambaran lemak yang sebenarnya (gliserol dan 3 asam lemak) (Utomo et al., 2008). Lemak kasar adalah campuran beberapa senyawa yang larut dalam pelarut lemak (ether, petroleum ether, petroleum benzene  dan sebagainya), oleh karena itu lemak kasar lebih tepat disebut ekstrak ether. Disebut lemak kasar karena merupakan campuran beberapa senyawa yang larut dalam pelarut lemak. Penentuan lemak kasar dapat dikerjakan  dengan jalan ekstraksi menggunakan zat pelarut lemak menurut soxhlet, apabila sudah larut kemudian  pelarutnya diuapkan maka yang tertinggal adalah lemak kasarnya (Suparjo, 2010). Prinsip kerja lemak kasar adalah lemak kasar dapat diekstraksi dengan menggunakan ether atau zat pelarut lemak lain menurut Soxhlet kemudian ether diuapkan den lemak dapat diketahui bobotnya (Kamal,1994).

Penetapan kadar lemak kasar dilakukan dengan menimbang cuplikan bahan pakan dan kertas saring bebas lemak dengan  menggunakan timbangan analitik. Kertas saring bebas lemak dipilih karena agar tidak mempengaruhi hasil dari bahan pakan yang akan diuji. Bobot bahan pakan yang ditimbang seberat 0,7 gram dan membuat 3 sampel yang sama dengan berat 0,7 gram. Digunakan 3 sampel agar hasil yang didapat lebih akurat. Bahan pakan yang sudah dibungkus kertas saring bebas lemak kemudian di oven dengan suhu 105 sampai 1100C dan setelah dioven lalu ditimbang bobotnya. Bahan pakan yang sudah dioven pada suhu 105 sampai 1100C kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Labu penampung kemudian diisi dengan petrolium benzene sekitar ½ volume labu penampung atau hingga melebihi batas pipa kecil, kemudian ditambahkan lagi petrolium benzene yang kedua hingga semua bahan pakan tenggelam dalam larutan petrolium benzene. Dipilih larutan petrolium benzene karena selain harganya lebih terjangkau juga titik didih dari petrolium benzene lebih rendah dari pada ether. Alat kondensasi kemudian dialiri air lalu pemanas dari Soxhlet dihidupkan. Pemanasan dilakukan selama 16 jam dengan suhu yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga bisa berjalan maksimal. Pemanasan diakhiri dengan ditandai petrolium benzene sudah berwarna bening yang menunjukkan lemak sudah larut bersamaan dengan petrolium benzene. Sampel bahan pakan kemudian dimasukkan lagi ke dalam oven dengan suhu 105 sampai 1100C lalu setelah itu bobotnya ditimbang. Pemanasan yang kedua bertujuan agar larutan petrolium benzene yang masih ada dalam bahan pakan akan menguap yang tersisa hanyalah bahan organik selain lemak dan sehingga kadar lemak dapat diketahui dari selisish bobot sebelum diekstraksi dan bobot setelah diekstraksi.

Berdasarkan praktikum penentuan kadar lemak yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa rata-rata kadar lemak kasar adalah 4,44%. Sasongko et al. (2010), menyatakan kadar lemak kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 2,55%. Gunawan et al. (2003), menyatakan kadar lemak kasar pada bahan pakan daun nangka adalah sebesar 2,2016%, sedangkan Hartadi et al. (1997), menyatakan kadar lemak kasar pada daun nangka adalah sebesar 3,8%. Berdasarkan literatur yang ada, dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar lemak kasar dari bahan pakan daun nangka yang digunakan berada di atas kisaran normal. Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa kadar lemak banyak terdapat pada daun yang berumur muda dibanding pada batang dari suatu tanaman, tetapi biji dalam suatu tumbuhan umumnya mempunyai kandungan lemak yang lebih tinggi. Herman (2005) juga menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi kadar lemak adalah pengembangan atau pemelaran bahan tanaman, difusi, pH, ukuran partikel, temperatur, dan pilihan pelarut ekstraksi.

Penetapan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen. Bahan ekstrak tanpa nitrogen diperoleh dari hasil mengurangi sampel bahan kering dengan semua komponen-komponen sesperti air, serat kasar, protein, dan abu (Tillman et al., 1998). Berdasarkan data hasil praktikum yang diperoleh, dapat dilakukan perhitungan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari bahan pakan tersebut. Rata-rata kadar bahan ekstrak nitrogen pada praktikum kali ini adalah 48,42%. songko et al. (2010), menyatakan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari bahan pakan daun nangka adalah sebesar 50,73%, sedangkan Hartadi et al. (1997), menyatakan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari bahan pakan daun nangka adalah sebesar 32,9%. Berdasarkan dari literatur tersebut dapat disimpulkan bahwa kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen dari kedua kelompok masih dalam kisaran normal. Perbedaan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen ini dipengaruhi oleh faktor spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan untuk sampel, dan kesuburan tanah (Tillman et al., 1998).

KESIMPULAN

 

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa daun nangka (Artocarpus heterophyllus) mengandung rata-rata kadar air 66,455%, bahan kering 33,545%, protein kasar 11,375%, serat kasar 22,525%, lemak kasar 4,44%, abu 14,395%, dan kadar bahan ekstrak tanpa nitrogen 48,42%. Faktor yang mempengaruhi perbedaan kadar nutrien pada bahan pakan adalah spesies tanaman, umur tanaman, perbedaan bagian yang digunakan untuk sampel, dan kesuburan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

 

Aak. 2008. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Kanisius. Yogyakarta

Barry. 2004. Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Gunawan, Didik, E.W., dan Peni, W.P. 2003, Strategi Penyusunan Pakan Murah Sapi Potong Menfukung Agribisnis. Loka Penelitian Sapi Potong. Pasuruan.

Hamzah, Hamdiyah., Fatimali., Paulina V.Y.Y., dan Jeane M. 2013. Formulasi salep ekstrak etanol  daun nangka (Artocarpus heterophylus Lam) dan uji efektivitas terhadap penyembuhan luka terbuka pada kelinci. Fakultas Farmasi UNSRAT Manado. Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol.2 No.03.

Hartadi, H., Kustantinah, R. E. Indarto, N. D. Dono, Zuprisal. 2008. Nutrisi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hartadi, H., Soedomo R., Soekanto L., Allen D. Tillman. 1997. Tabel-tabel Dari Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Herman. 2005.  Ilmu Makanan Ternak Umum. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Jayanegara, A., dan A. Sofyan. 2008. Penentuan aktivitas biologis tanin beberapa hijauan secara in vitro menggunakan “hohenheim gas test” dengan polietilen glikol sebagai determinan. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI. Bandung.  Media Peternakan, April 2008, hlm. 44-52. ISSN 0126-0472. Vol. 31 No. 1.

Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak I. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan. Yogyakarta.

Kamal, M. 1999. Nutrisi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Mc Donald, P., RA. Edwards. JFG Greenhalgh, and CA. Morgan. 1995. Animal Nutrition Prentice Hall.

Rukmana R. 1997 .Budi Daya Nangka. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sasongko, W.T., Lies Mira, Y., Zaenal, B., dan Mugiono, 2010, Optimalisasi peningkatan tanin daun nangka dengan protein bovine serum albumin. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Buletin Peternakan Vol. 34(3):154-158, Oktober 2010.

Sudarmadji, S., Haryono, B dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Edisi Kedua. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.

Suparjo. 2010. Analisis Bahan Pakan secara Kimiawi : Analisis Proksimat dan Analisis Serat. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Negeri Jambi. Jambi.

Sutardi, T. R., dan S. Rahayu. 2003. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Syamsuddin. 2013. Pengaruh pupuk organik dan umur defoliasi terhadap beberapa zat gizi silase rumput gajah (Pennisetum Purpureum). Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol  9(1):9-17. ISSN 1411-4577.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawiro Kusuma, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tulyathan, V., Kanitha T., Prapa S., Nongnuj J. 2001. Some physicochemical properties of jackfruit (Artocarpus heterophyllus Lam) seed flour and starch. Faculty of Science Chulalongkorn University. Thailand. ScienceAsia 28 (2002) : 37-41.

Utomo R., Subur P.S.B., Ali A., Cuk T.N. 2008. Buku Ajar Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Utomo, Ristianto.2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvasif. PT.Intan Sejati. Jakarta.

Verheij, E. W. M., dan R. E. Coronel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang Dapat Dimakan. Penerbit Gramedia. Jakarta.

 


LAMPIRAN

 

Perhitungan Kadar Air

Berat sampel                                       = 1,0510 g

Berat sampel sebelum dioven 105˚C = 22,6070 g

Berat sampel setelah dioven 105˚C   = 22,5449 g

Kadar Air I =

X 100 %

= berat sampel sebelum dioven 55˚C – berat sampel setelah dioven 55˚C

berat sampel – berat koran

=  x 100%

= 64,5%

Kadar Bahan Kering (DW)                  = 100 % – kadar air I

= 100 % – 64,5 %

= 35,5 %

Kadar Air II =

X 100 %

= berat sampel sebelum dioven 105˚C – berat sampel setelah dioven 105˚C

berat sampel – berat koran

=  x 100%

= 5,9086 %

Kadar Bahan Kering (DMDW)            = 100% – kadar air II

= 100% – 5,9086%

= 94,09%

Kadar Air Total                                    = KA I + (KA II x DW)

= 64,5% + (5,9086% x 35,5%)

= 66,60%

Kadar Bahan Kering                           = 33,40%

Perhitungan Kadar Abu

Bobot sampel + silica disk sebelum ditanur               = 22,6070 g

bobot sampel + silica disk setelah ditanur                  = 21,7011 g

Bobot silica disk kosong                                             = 21,5560 g

Bobot sampel                                                              = 1,0510 g

Kadar Abu  dalam BK=

X 100 %

= bobot sampel dan silika disk setelah dibakar – bobot silika disk kosong

sampel sebelum dibakar

=  x 100%

= 14,6 %

 

Perhitungan Kadar Serat Kasar dalam BK

bobot sampel setelah dioven 105˚C               = 21,2785 g

bobot sampel setelah ditanur             = 21,0622 g

bobot sampel awal                                          = 1,0252 g

Kadar Serat Kasar

X 100 %

= bobot sampel setelah dioven 105˚C – bobot sampel setelah dibakar

bobot sampel awal

= x 100%

= 22,41%

 

Perhitungan Kadar Protein Kasar

Jumlah titrasi sampel              = 9 ml

Jumlah titrasi blanko               = 0,3 ml

Bobot sampel                          = 0,5513 g

Kadar Protein Kasar dalam BK =

X 100 %

= jumlah titrasi sampel – jumlah titrasi blanko x 0,1 x 0,014 x 6,25

bobot sampel

 

= x 100%

= 14,67%

 

Perhitungan Kadar Lemak Kasar dalam BK

Bobot kertas saring I                                       = 0,4557 g

Bobot kertas saring II                                      = 0,4768 g

Bobot kertas saring III                                     = 0,4739 g

Bobot sampel I sebelum ekstraksi 105°C      = 1,1030 g

Bobot sampel II sebelum ekstraksi 105°C     = 1,1263 g

Bobot sampel III sebelum ekstraksi 105°C    = 1,1725 g

Bobot sampel I setelah ekstraksi 105°C         = 1,0456 g

Bobot sampel II setelah ekstraksi 105°C        = 1,0975 g

Bobot sampel III setelah ekstraksi 105°C       = 1,1540 g

Bobot sampel I awal                                       = 0,7164 g

Bobot sampel II awal                                      = 0,7222 g

Bobot sampel III awal                                     = 0,7736 g

 

Kadar Lemak Kasar dalam BK I

=x100%

=x 100%

= 8,51%

Kadar Lemak Kasar dalam BK II

X 100 %

= bobot sampel I sblm ekstraksi 105˚C – bobot sampel I stlh ekstraksi 105˚C

bobot sampel I awal

 

= x 100%

= 4,23%

Kadar Lemak Kasar dalam BK III

X 100 %

= bbt sampel III sblm ekstraksi 105˚C – bbt sampel III stlh ekstraksi 105˚C

bobot sampel III awal

= x 100%

= 2,54%

Kadar Lemak Kasar Rata-rata ( II dan III)

= kadar lemak kasar II + kadar lemak kasar III

2

=

= 3,38%

 

Kadar Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen dalam BK

Kadar BETN (BK) = 100 % – (kadar abu + kadar serat kasar + kadar protein kasar + kadar lemak kasar)

=100% – (14,6% + 22,41% + 14,67% + 3,38%)

= 44,94%

 

Laporan Praktikum Ilmu Ternak Unggas

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TERNAK UNGGAS

logo 

 

DisusunOleh :

Kelompok XXXIV

Nurus Sobah

13/349268/PT/06587

Asisten : Ardian Priyono

 

 

 

LABORATORIUM ILMU TERNAK UNGGAS

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

HALAMAN PENGESAHAN

 

            Laporan praktikum Ilmu Ternak Unggas disusun guna memenuhi salah satu syarat menempuh mata kuliah Ilmu Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

            Laporan praktikum Ilmu Ternak Unggas telah disahkan oleh asisten pendamping pada tanggal      Desember 2014.

 

Yogyakarta,     Desember 2014

Asisten Pendamping

 

 

 

Ardian Priyono

DAFTAR ISI

 

COVER…………………………………………………………………………………….. i

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… iii

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….. v

DAFTAR TABEL……………………………………………………………………… vi

TUJUAN DAN MANFAAT PRAKTIKUM…………………………………. 1

MATERI DAN METODE…………………………………………………………… 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Digesti

Mulut………………………………………………………………………………. 4

Oesophagus…………………………………………………………………… 5

Tembolok……………………………………………………………………….. 6

Proventrikulus………………………………………………………………… 7

Empedal…………………………………………………………………………. 8

Duodenum……………………………………………………………………… 10

Jejunum…………………………………………………………………………. 11

Ileum………………………………………………………………………………. 12

Coecum………………………………………………………………………….. 12

Usus Besar…………………………………………………………………….. 13

Kloaka……………………………………………………………………………. 14

Organ Tambahan

Hati…………………………………………………………………………………. 16

Pankreas………………………………………………………………………… 16

Limfa………………………………………………………………………………. 18

Sistem Reproduksi Betina

Ovarium………………………………………………………………………….. 19

Infundibulum…………………………………………………………………. 20

Magnum…………………………………………………………………………. 21

Isthmus…………………………………………………………………………… 22

Uterus…………………………………………………………………………….. 23

Vagina……………………………………………………………………………. 24

Sistem Reproduksi Jantan

Testis……………………………………………………………………………… 25

Vas Deferens………………………………………………………………….. 26

Papilla……………………………………………………………………………. 26

KESIMPULAN………………………………………………………………………….. 27

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 28

LAMPIRAN……………………………………………………………………………….. 29

 

DAFTAR GAMBAR

 

Gambar 1. Organ Pencernaan Ayam……………………………………….. 4

Gambar 2. Paruh Ayam…………………………………………………………….. 5

Gambar 3. Oesophagus Ayam………………………………………………….. 6

Gambar 4 Crop Ayam……………………………………………………………….. 7

Gambar 5. Proventrikulus Ayam……………………………………………….. 8

Gambar 6. Gizzard Ayam………………………………………………………….. 9

Gambar 7. Duodenum Ayam…………………………………………………….. 10

Gambar 8. Jejunum Ayam………………………………………………………… 11

Gambar 9. Ileum Ayam……………………………………………………………… 12

Gambar 10. Coecum Ayam………………………………………………………. 13

Gambar 11. Usus Besar Ayam………………………………………………….. 14

Gambar 12. Kloaka Ayam…………………………………………………………. 15

Gambar 13. Hati Ayam……………………………………………………………… 16

Gambar 14. Pankreas Ayam…………………………………………………….. 17

Gambar 15. Limpa Ayam…………………………………………………………… 18

Gambar 16. Ovarium Ayam………………………………………………………. 19

Gambar 17. Infundibulum Ayam……………………………………………….. 21

Gambar 18. Magnum Ayam………………………………………………………. 22

Gambar 19. Isthmus Ayam………………………………………………………… 23

Gambar 20. Uterus Ayam………………………………………………………….. 24

Gambar 21. Vagina Ayam…………………………………………………………. 25

 

DAFTAR TABEL

 

Tabel 1. Sistem Digesti Ayam…………………………………………………… 3

Tabel 2. Organ Tambahan………………………………………………………… 15

Tabel 3. Organ Reproduksi Ayam Betina…………………………………. 18

TUJUAN DAN MANFAAT PRAKTIKUM

 

Praktikum sistem digesti dan reproduksi bertujuan untuk mengetahui saluran sistem digesti pencernaan ayam dan reproduksi ayam jantan maupun ayam betina. Manfaat yang diperoleh dari praktikum ini adalah menambah ilmu dasar mengenai sistem digesti dan reproduksi pada ayam, sehingga praktikan diharapkan mampu memahami cara manajemen ternak ayam yang baik dan dapat menghasilkan produksi yang diinginkan.

 

MATERI DAN METODE

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum sistem digesti dan reproduksi antara lain pisau scapel merk One Mad, timbangan listrik merk Camry, pita ukur merk butterfly, gunting stainless merk One Mad, plastik berukuran 1×1 m dan trash bag.

            Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum sistem digesti dan reproduksi adalah 2 ekor ayam layer betina afkir berumur lebih dari 72 minggu dengan berat 1428 gram dan 1467 gram. Kondisi ayam yang digunakan telah disembelih tetapi belum dibedah.

 

Metode

            Preparat ayam yang telah disembelih dibedah dengan hati-hati menggunakan pisau scapel dan gunting untuk dikeluarkan seluruh organ pencernaan dan reproduksinya, diusahakan jangan sampai putus. Organ pencernaan dan reproduksi yang telah dikeluarkan kemudian diletakkan dan disusun pada plastik lebar yang telah disiapkan. Organ yang telah tersusun diukur panjang per bagian, kemudian dipotong dan dikeluarkan kotorannya lalu ditimbang. Hasil pengukuran masing-masing organ dicatat pada lembar kerja yang telah disediakan.

 


HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Sistem Digesti

Hasil praktikum sistem digesti ayam betina diperoleh dari data dari 2 ekor ayam layer afkir yang berumur  lebih dari 72 minggu dengan berat masing-masing 1418 gram dan 1467 gram. Berikut ini adalah data hasil pengukuran panjang dan berat organ pencernaan pada ayam betina.

Tabel 1. Sistem Digesti Ayam

Parameter Ayam A Ayam B
Panjang (cm) Berat (gram) Panjang (cm) Berat (gram)
Oesophagus 19 9 25 5
Crop 7 9 6 9
Proventriculus 5 7 3,5 8
Gizzard 5,5 36 6 31
Usus halus
      – duodenum 26 6 35 16
     – jejunum 70 35 71 19
     – ileum 55 15 63 13
Coecum 17 10 15 9
Usus besar 10 3 9 6
Cloaca 3 12 4 9

 

            Ayam A dan B merupakan ayam layer afkir yang berumur lebih dari 72 minggu dengan berat masing-masing 1418 gram dan 1467 gram. Alat pencernaan ayam terdiri dari mulut, kerongkongan (esophagus), tembolok (crop), ampela bagian depan (proventriculus), ampela (ventriculus), usus kecil (small intestine), usus buntu (coecum), usus besar (large intestine), dan kloaka. Setiap bagian alat pencernaan memiliki fungsi yang berbeda (Yaman, 2010).

Panjang alat pencernaan pada ayam sekitar 245 sampai 255 cm, tergantung pada umur dan jenis unggas. Prinsip pencernaan pada ayam ada tiga macam, yaitu pencernaan secara mekanik (fisik) dilakukan oleh kontraksi otot polos, terutama terjadi di empedal (gizzard) yang dibantu oleh bebatuan (grit), pencernaan secara kimia (enzimatik) dilakukan oleh enzim pencernaan yang dihasilkan kelenjar saliva di mulut, enzim yang dihasilkan oleh proventikulus, enzim dari pankreas, enzim empedu dari hati, dan enzim dari usus halus, dan pencernaan secara mikrobiologik (jumlahnya sedikit sekali) dan terjadi di sekum dan kolon. Secara umum pencernaan unggas meliputi aspek tiga aspek, yaitu digesti yang terjadi pada paruh, tembolok, proventikulus, ventrikulus (empedal/ guisar), usus halus, usus besar dan ceca, absorbsi yang terjadi pada usus halus (small intestinum) melalui vili-vili (jonjot usus), metabolisme yang terjadi pada sel tubuh yang kemudian disintesis menjadi protein, glukosa dan hasil lain untuk pertumbuhan badan, produksi telur atau daging, pertumbuhan bulu, penimbunan lemak, dan menjaga atau memelihara tubuh dari proses kehidupannya (Yuwanta, 2004).

Mulut. Mulut pada ayam sebagai alat pengambilan pakan (prehension). Ayam tidak mempunyai gigi sehingga fungsi pemecahan partikel digantikan oleh paruh. Mulut hanya digunakan sebagai lewat sesaat bahan pakan. Di dalam mulut terdapat lidah yang kaku untuk membantu penelanan makanan. Didalam mulut juga disekresikan enzim amylase atau ptyalin yang berfungsi mengubah amilum yang terkandung dalam pakan menjadi gula yang lebih sederhana. Secara umum di mulut terjadi pencernaan secara enzimatis dan mekanik.

Pakan masuk ke dalam mulut ayam masih dalam keadaan utuh, kemudian dengan tekanan lidah masuk ke dalam rongga pharynk dan turun ke oesophagus oleh gaya gravitasi. Mulut menghasilkan saliva yang mengandung amilase dan maltase saliva, tetapi pemecahan bahan pakan di mulut ini kecil sekali karena mulut hanya digunakan untuk lewat sesaat. Saliva mulut, selain mengandung kedua enzim tersebut, juga digunakan untuk membasahi pakan agar mudah ditelan. Produksi saliva 7 sampai 30 ml/hari, tergantung pada jenis pakan. Sekresi saliva dipacu oleh saraf parasimpatik (Yuwanta, 2004). Mulut unggas tidak mempunyai gigi, melainkan lidah kaku. Lidah ayam mempunyai kelenjar dan sedikit syarat pengecap. Fungsi gigi pada unggas gantikan oleh paruh yang keras untuk prehesnion dan memecah makanan yang akan masuk mulut (Kartadisastra, 2002).

Oesophagus. Oesophagus merupakan saluran pencernaan yang menghasilkan mukosa berlendir yang berfungsi membantu melicinkan pakan menuju tembolok. Oesophagus merupakan saluran lunak dan elastis yang mudah mengalami pemekaran apabila ada bolus yang masuk. Oesophagus memanjang dari pharynk hingga proventrikulus melewati tembolok (crop). Organ ini menghasilkan mukosa yang berfungsi membantu melicinkan pakan menuju tembolok (Yuwanta, 2004).

Menurut Yaman (2010), kisaran normal panjang oesophagus adalah 20 sampai 25 cm dengan berat 5 sampai 7,5 gram. Dari hasil praktikum diperoleh panjang oesophagus untuk ayam A adalah 19 cm dengan berat 9 gram dan ayam B adalah 25 cm dengan berat 5 gram. Hasil tersebut menunjukkan bahwa panjang dan berat oesophagus ayam A tidak berada pada kisaran normal yaitu lebih pendek dan lebih berat dari kisaran normal, hal ini dapat terjadi karena perbedaan jenis, umur, bangsa, pemberian pakan dan juga faktor kesehatan (Fadillah, 2007), sedangkan oesophagus untuk ayam B berada pada kisaran normal.

            Tembolok (Crop). Tembolok adalah modifikasi dari oesophagus (Yuwanta, 2004). Setelah melewati oesophagus, pakan akan menuju ke tembolok dengan bantuan gerakan peristaltik yang ada di oesophagus dan dengan bantuan gaya gravitasi. Tembolok berfungsi untuk menyimpan pakan sementara. Menurut Yuwanta (2004), fungsi utama tembolok adalah untuk menyimpan pakan sementara, terutama pada saat ayam makan dalam jumlah banyak. Bolus berada di tembolok selama 2 jam. Jenis makanan atau benda lain yang mempunyai ukuran besar dapat menyumbat saluran tembolok. Jika hal ini terjadi maka makanan yang ada dalam tembolok tidak dapat lewat dan akan terjadi fermentasi. Kapasitas tembolok mampu menampung 250 gram pakan. Pada tembolok terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di Hipotalamus sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan memberikan respon dalam saraf untuk makan atau menghentikan makan.

Menurut Suprijatna et al. (2005), ukuran tubuh ayam mempengaruhi ukuran organ-organ dalam tubuh ayam itu sendiri. Kisaran normal panjang crop adalah 7 sampai 10 cm dan beratnya 8 sampai 12 gram. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil crop ayam A panjangnya 7 cm dan beratnya 9 gram sedangkan ayam B panjangnya 6 cm dan beratnya 9 gram. Berat dan panjang crop ayam A berada pada kisaran normal, sedangkan panjang crop ayam B berada di bawah kisaran normal. Berat dan panjang crop dipengaruhi oleh umur, jenis pakan dan bangsa (Fadillah et al., 2007).

            Proventrikulus.  Proventrikulus adalah suatu pelebaran dari kerongkongan sebelum berhubungan dengan gizzard (empedal). Kadang-kadang disebut glandula stomach atau true stomach. Menurut Usman (2010), proventrikulus merupakan perluasan oesophagus yang utama pada sambungan dengan gizzard, dan biasa disebut glandular stomach atau perut sebenarnya. Proventrikulus berfungsi untuk mensekresikan gastric juice (cairan lambung) yaitu pepsin, suatu enzim untuk membantu pencernaan protein, dan hydrochloric acid disekresi oleh glandular cell. Menurut Yuwanta (2004), proventrikulus mensekresikan enzim pepsinogen dan HCl untuk mencerna protein dan lemak. Pada proventrikulus lintasan pakan sangat cepat masuk ke empedal melalui isthmus proventrikulus sehingga secara nyata belum sempat dicerna. Sekresi pepsinogen tergantung pada stimulasi syaraf vagus, pakan yang melintas, dan aksi cairan gastrik. Pada keadaan tidak makan, sekresi glandula perut ini 5 sampai 20 ml/jam dan mampu mencapai 40 ml ketika ada pakan. Pada ayam petelur produksi HCl akan menjadikan suasana empedal menjadi asam (pH 1-2) untuk melumatkan 7-8 gram CaCO3, fosfat, mengionkan elektrolit, dan memecah struktur tersier protein pakan.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data panjang proventrikulus ayam A 5 cm dan berat 7 gram, dan pada ayam B panjangnya 3,5 cm dan berat 8 gram. Menurut Usman (2010), bobot proventrikulus mencapai 0,45% dari bobot hidup. Menurut Yaman (2010), proventrikulus memiliki panjang 6 cm dan berat 7,5 sampai 10 gram. Proventirkulus untuk ayam A  panjang dan beratnya berada di bawah kisaran normal, sedangkan ayam B panjang berada di bawah kisaran normal dan beratnya berada pada kisaran normal. Faktor yang mempengaruhi bobot proventrikulus adalah umur, bangsa, dan genetik ternak (Usman, 2010).

Empedal (Gizzard) . Pakan yang bercampur dengan getah proventrikulus masuk ke dalam empedal atau gizzard. Pakan dalam gizzard mengalami proses pencernaan secara mekanik dengan bantuan grit yang berupa batuan kecil, selain itu pakan juga akan dipecah dan dicampur dengan air sehingga menjadi seperti pasta atau yang biasa disebut dengan chymne (Kartadisastra, 2002). Menurut Yuwanta (2004), empedal (gizzard) disebut juga perut muscular yang merupakan perpanjangan dari provenrikkulus. Fungsi utama empedal adalah memecah atau melumatkan pakan dan mencampurnya dengan air menjadi pasta yang dinamaan chymne. Ukuran dan kekuatan empedal dipengaruhi oleh kebiasaan makan dari ayam tersebut. Pada unggas yang hidup secara berkeliaran (ayam kampung), empedal lebih kuat daripada ayam yang dipelihara secara terkurung dengan pakan yang lebih lunak. Pada empedal disekresikan koilin yang berfungsi melindungi permukaan empedal terhadap kerusakan yang mungkin disebabkan oleh pakan atau zat lain. Menurut Usman (2010), fungsi gizzard adalah sebagai reaksi mekanik mencampur dan menggerus pakan. Gizzard tidak aktif ketika kosong, tetapi ketika makanan masuk, otot berkontraksi. Besarnya partikel makanan mempercepat kontraksi. Grit yang dibutuhkan sedikit jika pakan dalam betuk mash. Berat gizzard sekitar 44 gr atau sebesar 2,3 % dari bobot hidup.

 Berdasarkan praktikum diketahui data ayam A panjangnya 5,5 cm dan beratnya 36 gram, dan ayam B panjang 6 cm dan 31 gram. Menurut Yaman (2010), gizzard memiliki panjang 5 sampai 7,5 cm dan berat 25 sampai 30 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang gizzard untuk kedua ayam berada pada kisaran normal sedangkan berat untuk kedua ayam berada di atas kisaran normal. Menurut Usman (2010), peningkatan bobot gizzard disebabkan karena peningkatan serat dalam pakan. Hal ini mengakibatkan beban gizzard lebih besar untuk memperkecil ukuran partikel ransum secara fisik, akibatnya urat daging gizzard tersebut akan lebih tebal sehingga memperbesar ukuran gizzard.

 

Usus Halus (small intestine).

Chymne dari gizzard akan masuk ke dalam usus halus dan mengalami penyerapan atau absorbsi. Usus halus terbagi atas 3 bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan illeum. Menurut Yuwanta (2004), Usus halus (small intestine) dinamakan juga intestinum tenue, panjangnya mencapai 120 cm dan terbagi dalam tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum dan illeum

Duodenum. Duodenum terdapat pada bagian paling atas dari usus halus dan panjangnya mencapai 24 cm. pada bagian ini terjadi pencernaan yang paling aktif dengan proses hidrolisis dari nutrien kasar berupa pati, lemak, dan protein. Penyerapan hasil akhir dari proses ini sebagian besar terjadi di duodenum. Duodenum merupakan tempat sekresi enzim dari pankreas dan getah empedu dari hati. Getah empedu mengandung garam empedu dan lemak dalam bentuk kholesitokinin-pankreosimin berisi kolesterol dan fosfolipid (Yuwanta, 2004). Menurut Usman (2010), duodenum berbentuk loop melingkari pankreas berakhir di saluran dari hati dan pankreas masuk ke usus halus.

Dari data hasil praktikum diperoleh bahwa panjang duodenum ayam A 26 cm dan berat 6 gram, dan pada ayam B panjangnya 35 cm dan berat 16 gram. Menurut Yuwanta (2004), panjang duodenum adalah 24 cm. Menurut Hamsah (2013) menyatakan bahwa berat duodenum ayam umur 35 hari adalah 4 gram. Berdasarkan literatur, diketahui bahwa panjang dan berat duodenum berada di atas kisaran normal. Perbedaan panjang duodenum disebabkan karena perbedaan umur maupun jenis unggas (Usman, 2010).

Jejunum. Jejunum dan ileum meupakan kelanjutan dari duodenum. Pada bagian ini proses pencernaan dan penyerapan zat makanan yang belum diselesaikan pada duodenum dilanjutkan sampai tinggal bahan yang tidak dapat tercerna (Yuwanta, 2004). Diantara jejenum dan ileum terdapat suatu pembatas yang berbentuk seperti kutil yang disebut dengan micele divertikum. Menurut Yaman (2010), pembatas antara Jejunum dan ileum disebut micele divertikum yang ditandai dengan adanya bintil pada permukaan. Menurut Usman (2010), persimpangan antara jejenum dan ileum nampak kurang jelas, namun dapat dilihat dengan adanya diventrikulum yang nampak di permukaan. Ileum memanjang dari diventrikulum sampai persimpangan ileo-caecal­, dimana dua seka bersatu dengan usus.

Berdasarkan praktikum diperoleh data untuk panjang jejunum ayam A adalah 70 cm dan beratnya 35 gram, sedangkan ayam B panjangnya adalah 71 cm dan beratnya 19 gram. Menurut Hamsah (2013) panjang jejunum ayam berkisar antara 58 sampai 74 cm dan berat 2,9 sampai 3,8 gram tiap 10 cm dari panjang jejunum. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang jejunum ayam A berada di kisaran normal dan beratnya berada di atas kisaran normal, sedangkan jejunum ayam B panjangnya berada pada kisaran normal dan beratnya berada di bawah kisaran normal. Perbedaan ukuran tersebut disebabkan oleh aktivitas, banyaknya pakan yang dikonsumsi, perbedaan umur ayam, dan ukuran tubuh (Fadillah et al., 2007).

Ileum. Ileum merupakan bagian usus halus yang paling banyak melakukan absorbsi. Sepanjang permukaan ileum terdapat banyak vili. Permukaan vili terdapat mikrovili yang berfungsi untuk mengabsorbsi hasil pencernaan (Suprijatna et al., 2005). Menurut Yaman (2010), pembatas antara Jejunum dan ileum disebut micele divertikum yang ditandai dengan adanya bintil pada permukaan.

Berdasarkan data hasil praktikum diketahui panjang dan berat ileum untuk ayam A adalah 55 cm dan 15 gram, sedangkan untuk ayam B adalah 63 cm dan 13 gram. Menurut Usman (2010), ileum memiliki panjang 32 cm dan berat 15 gram. Menurut Zuprizal dan Kamal (2005), berat ileum pada unggas terutama ayam adalah 15 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang ileum untuk kedua ayam berada di atas kisaran normal dan berat ileum ayam A ada di kisaran normal sedangkan ayam B berada di bawah kisaran normal. Hal ini disebabkan karena aktivitas, benyaknya pakan yang dikonsumsi, perbedaan umur ayam dan ukuran tubuh (Usman, 2010).

Sekum (Coecum). Pakan yang telah diserap dalam usus halus masuk ke dalam coecum. Coecum pada unggas ada 2, yaitu pada bagian kiri dan kanan. Di dalam terjadi pencernaan secara mikrobiologik karena dalam coecum terdapat mikrobia-mikrobia yang mampu membantu pencernaan terutama pencernaan serat kasar. Menurut Yuwanta (2004), sekum terdiri atas dua seka atau saluran buntu yang berukuran panjang 20 cm. beberapa nutrien yang tidak tercerna mengalami dekomposisi oleh mikrobia sekum, tetapi jumlah dan penyerapannya kecil sekali. Pada bagian sekum juga terjadi digesti serat kasar yang dilakukan oleh bakteri pencerna serat kasar. Kemampuan mencerna serat kasar pada bangsa itik lebih besar daripada bangsa ayam sehingga sekum itik lebih berkembang daripada ayam.

Berdasarkan data hasil praktikum diketahui bahwa panjang coecum pada ayam A 17 cm dan beratnya 10 gram sedangkan pada ayam B panjangnya 15 cm dan beratnya 9 gram. Menurut Yaman (2010), coecum mempunyai panjang normal 20 sampai 25 cm dan berat normal 6 sampai 8 gram. Bila dibandingkan dengan literatur kondisi coecum tidak dalam kisaran normal, pada ayam A lebih pendek dan lebih berat dari kisaran normal dan pada ayam B lebih pendek dan lebih berat dari kisaran normal. Hal ini disebabkan karena perbedaan ukuran tubuh, umur, dan kemampuan sekum dalam mencerna serat kasar (Usman, 2010).

Usus Besar (Rectum). Usus besar atau disebut juga intestinum crassum merupakan tempat untuk absorbsi air kembali sebelum feses dikeluarkan dari tubuh agar feses menjadi tidak terlalu lembek ataupun tidak terlalu keras sehingga tubuh tidak mengalami dehidrasi. Menurut Frandson (2009), usus besar berfungsi sebagai tempat absorbsi air dari sisa-sisa makanan. Menurut Yuwanta (2004), usus besar (rektum) dinamakan juga intestinum crassum dengan panjang 7 cm. pada bagian ini terjadi perombakan partikel pakan yang tidak tercerna oleh mikroorganisme menjadi feses. Pada bagian ini juga bermuara ureter dari ginjal untuk membuang urine yang bercampur dengan feses sehingga feses unggas dinamakan ekskreta. Feses dan urine sebelum dkeluarkan mengalami penyerapan air sekitar 72% sampai 75%. Rerata waktu yang diperlukan untuk lintas pakan di dalam saluran pencernaan unggas kurang lebih 4 jam. Muara ureter dinamakan urodeum, muara sperma pada ayam jantan dinamakan proktodeum, dan muara feses dinamakan koprodeum.

Dari hasil praktikum diperoleh panjang usus besar pada ayam A 10 cm dengan berat 3 gram dan ayam B 9 cm dengan berat 6 gram. Menurut Usman (2010), usus besar relatif lebih pendek daripada usus halus pada ayam, panjangnya sekitar 10 cm dan berat 4 sampai 6 gram pada ayam dewasa. Menurut Yuwanta (2004), usus besar (rektum) dinamakan juga intestinum crassum dengan panjang 7 cm. Usus besar dari ayam A berada di bawah kisaran normal, sedangkan ayam B berada dalam kisaran normal. Perbedaan ukuran usus besar disebabkan oleh bangsa, pakan, dan kondisi lingkungan (Fadillah et al., 2007).

Kloaka. Saluran pencernaan ayam berakhir pada kloaka yang merupakan muara keluarnya ekskreta. Menurut Yuwanta (2004), feses dan urin sebelum dikeluarkan mengalami penyerapan air sekitar 72% sampai 75%. Rerata waktu yang diperlukan untuk lintas pakan di dalam saluran pencernaan unggas kurang lebih 4 jam. Muara ureter dinamakan urodeum, muara sperma pada ayam jantan disebut proktodeum, dan muara feses dinamakan koprodeum. Kloaka merupakan tempat keluarnya ekskreta karena urodeum dan koprodeum terletak berhimpitan.

Dari hasil praktikum diperoleh panjang kloaka untuk ayam A 3 cm dan berat 12 gram  dan ayam B panjangnya 4 cm dan berat 9 gram. Menurut Yaman (2010), kloaka memiliki panjang normal 1,5 sampai 3 cm dan berat normalnya 6 sampai 8 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang kloaka ayam B lebih panjang daripada literatur dan berat kloaka kedua ayam lebih berat dari kisaran normal. Perbedaan ini disebabkan oleh bangsa, pakan, dan kondisi lingkungan (Fadillah et al., 2007).

Organ Tambahan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapat data hasil pengukuran organ tambahan sebagai berikut :

Tabel 2. Organ Tambahan

Parameter Ayam A Ayam B
Panjang (cm) Berat (gram) Panjang (cm) Berat (gram)
  • Hati
  • Pankreas
  • Limfa
7

13

2

30

3

3

10

12

3

31

3

3

 

            Meskipun dinamakan organ tambahan tetapi fungsinya sangat penting, karena organ ini mensekresikan enzim pencernaan. Organ tambahan ini yang utama antara lain :

            Hati . Pada hati ini terdapat kantong empedu yang berfungsi untuk menyimpan sekresi empedu. Hati juga berperan dalam ekskresi dengan formasi ureanya (Rahayu et al., 2011). Menurut Yuwanta (2004), hati mensekresikan getah empedu yang disalurkan ke dalam duodenum. Fungsi getah empedu adalah menetralkan asam lambung (HCl) dan membentuk sabun terlarut (soluble soaps) dengan asam lemak bebas. Kedua fungsi tersebut akan membantu absorpsi dan translokasi asam lemak. Dalam getah emppedu yang mempunyai peranan penting, yaitu asam tarokholik dan glikokholik. Fungsi asam empedu adalah membantu digesti lemak dengan membentuk emulsi, mengaktifkan lipase pankreas, membantu penyerapan asam lemak, kolesterol, dan vitamin yang larut dalam lemak, stimulasi aliran getah empedu dari hati, dan menangkap kolesterol dalam getah empedu.

            Hati memiliki berat 3% dari bobot badan dan merupakan organ pencernaan tambahan terbesar dalam tubuh (Yuwanta, 2004). Berdasarkan hasil praktikum panjang hati ayam  A 7 cm dan berat 30 gram dengan  berat badan 1418 gram, maka berat hati sebenarnya adalah 42 gram. Ayam B diperoleh panjang 13 cm dan berat 29 gram dengan berat badan 1467, maka berat hati sebenarnya adalah 42 gram. Hal ini menunjukkan bahwa berat hati yang diperoleh kedua ayam tidak sesuai dengan literatur yang ada. Bobot hati meningkat dipengaruhi oleh jumlah penyerapan nutrien dan kandungan serat kasar (Yaman, 2010).

Pankreas. Pankreas mensekresikan getah pankreas yang berfungsi dalam pencernaan pati, lemak, dan protein. Disamping mensekresikan getah pankreas juga mensekresikan insulin. Pankreas mempunyai dua fungsi yang semuanya berhubungan dengan penggunaan energi ransum, yaitu eksokrin dan endokrin. Eksokrin berfungsi mensuplai enzim yang mencerna karbohidrat, protein, dan lemak ke dalam usus halus, sedangkan endokrin berfungsi menggunakan dan mengatur nutrien berupa energi untuk diserap dalam tubuh dalam proses dasar pencernaan (Yuwanta, 2004). Pankreas mensekresikan enzim amilase, tripsin, dan lipase yang dibawa ke duodenum untuk menerima karbohidrat, protein, dan lemak. Pankreas terletak di antara lipatan duodenum (Rahayu et al., 2011).

Berdasarkan hasil praktikum panjang pankreas yang didapat adalah ayam A 13 cm dan berat 3 gram dan ayam B panjangnya 12 cm dan berat 3 gram. Menurut Suprijatna et al. (2005), bobot pankreas berkisar antara 2 sampai 4,5 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa pankreas kedua ayam dalam kondisi normal. Perbedaan bobot pankreas disebabkan oleh jenis, umur, besar, aktivitas hewan dan juga sekresi enzim pencernaan yang dihasilkan oleh pankreas (Rahayu et al., 2011).

Limfa . Limfa adalah organ kecil berwarna merah coklat berbentuk agak bundar. Organ ini fungsinya belum jelas, tetapi diuga membantu koordinasi pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Menurut Suprijatna et, al. (2005), fungsi limpa selain untuk menyimpan darah, bersama hati dan sumsum tulang belakang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua, berperan dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam urat serta membentuk limfosit.

Berdasarkan data hasil praktikum, diketahui bahwa limfa ayam A mempunyai panjang 2 cm dan berat 3 gram dan ayam B panjangnya 3 cm dan berat 3 gram. Menurut Fadillah et al. (2007), berat limfa ayam adalah sekitar 0,07% sampai dengan 0,13%. Berdasarkan literatur didapatkan bahwa berat normal limfa ayam A adalah 0,9 sampai 1,84 gram, dan ayam B adalah 1,02 sampai 1,9 gram. Berat limfa untuk kedua ayam tersebut berada di atas kisaran normal.

Sistem reproduksi

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data sistem reproduksi sebagai berikut :

Tabel 3. Organ reproduksi ayam betina

Parameter Ayam A Ayam B
Panjang (cm) Berat (gram) Panjang (cm) Berat (gram)
Ovarium + ovum 7 29 10 12
Infundibulum 4 2 7 1
Magnum 38 60 38 48
Isthmus 13 7 12 6
Uterus 5 19 6 18
Vagina 6 9 4 1

 

            Anatomi alat reproduksi betina terdiri atas dua bagian utama, yaitu ovarium (bagian primer) dan oviduk (bagian sekunder). Oviduk terdiri dari infundibulum, magnum, uterus, vagina, dan kloaka.

            Ovarium. Ovarium merupakan tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis, dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel). Pada unggas ovarium disebut folikel. Bentuknya seperti buah anggur dan terletak pada rongga perut berdekatan dengan ginjal kiri dan bergantung pada ligamentum meso-ovarium. Menurut Yuwanta (2004), ovarium pada unggas dinamakan juga folikel. Besar ovarium pada saat ayam menetas 0,3 gram kemudian mencapai panjang 1,5 cm pada ayam betina umur 12 minggu dan mempunyai berat 60 gram pada tiga minggu sebelum dewasa kelamin. Ovarium terbagi menjadi dua bagian, yaitu cortex pada bagian luar dan medulla pada bagian dalam. Cortex mengandung folikel dan pada folikel terdapat sel-sel telur. Jumlah sel telur dapat encapai lebih dari 12000 buah. Namun, sel telur yang mampu masak hanya beberapa buah saja (pada ayam dara dapat mencapai jutaan buah). Folikel akan masak pada 9 sampai 10 hari sebelum ovulasi. Karena pengaruh karotenoid pakan ataupun karotenoid yang tersimoan di tubuh ayam yang tidak homogen maka penimbunan materi penyusun folikel menjadikan lapisan konsentris tidak seragam. Proses pembentukan ovum dinamakan vitelogeni (vitelogenesis), yang merupakan sintesis asam lemak di hati yang dikontrol oleh hormon estrogen, kemudian oleh darah diakumulasikan de ovarium sebagai folikel atau ovum yang dinamakan yolk (kuning telur). Folikel dikelilingi oleh pembuluh darah, kecuali pada bagian stigma. Apabila ovum sudah masak, stigma akan robek sehingga terjadi ovulasi. Robeknya stigma dikontrol oleh hormon LH.

Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui ovarium ayam A panjangnya 7 cm dan berat 29 gram, dan ayam B panjangnya 10 cm dan berat 12 gram. Menurut Yuwanta (2004), besar ovarium ayam pada saat ayam menetas 0,39 cm, kemudian mencapai panjang 1,5 cm pada ayam betina dengan umur 12 minggu dan mempunyai berat 60 gram pada umur 3 minggu sebelum dewasa kelamin. Berdasarkan literatur yang ada panjang dan berat dari ovarium ayam A dan B belum sesuai dengan literatur dan masih berada di bawah kisaran normal. Menurut Suprijatna dan Dulatip (2005), pertumbuhan ovarium terutama terjadi karena adanya pertumbuhan folikel yang menjadi dewasa (yolk). Meningkatnya taraf protein ransum mengakibatkan meningkatnya konsumsi protein sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan ovarium dan folikel. Ayam yang memperoleh taraf protein tinggi, memiliki ovarium dan oviduk lebih nyata lebih berat, serta memiliki jumlah folikel dewasa (yellow yolk) lebih banyak dibandingkan ayam yang memperoleh taraf protein rendah.

Oviduct. Oviduct terdiri atas infundibulum, magnum, isthmus, uterus, vagina, dan kloaka.

            Infundibulum.  Fungsi infundibulum adalah menangkap ovum (yolk) dan tempat terjadinya fertilisasi. Pada infundibulum terdapat fimbriae yang berfungsi untuk menangkap ovum yang telah masak dan kemudian masuk ke lubang ostium abdominale. Menurut Yuwanta (2004), panjang infundibulum adalah 9 cm dan fungsi utama infundibulum adalah menangkap ovum yang masak. Gabian ini sangat tipis dan mensekresikan sumber protein yang mengelilingi membrana vitelina. Kuning telur berada di bagian ini berkisar 15 sampai 30 menit. Perbatasan antara infundibulum dan magnum dinamakan sarang sorematozoa yang merupakan terminal akhir dari lalu lintas spermatozoa sebelum terjadi pembuahan.

Hasil pengamatan didapat panjang infundibulum untuk ayam A 4 cm dan berat 2 gram dan ayam B panjangnya 10 cm dan berat 1 gram. Menurut Yuwanta (2004), panjang infundibulum adalah 9 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat infundibulum adalah 2 sampai 3 gram. Infundibulum yang diperoleh dari pengamatan ayam A berada di bawah kisaran normal dan ayam B panjangnya berada di atas kisaran normal dan beratnya berada di bawah kisaran normal. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan jenis makanan, penyakit, umur, dan jenis unggas (Yuwanta, 2004).

            Magnum. Magnum meruapakan bagian yang terpanjang dari oviduk (33 cm). Magnum tersusun dari glandula tubuler yang sangat sensibel. Sintesis dan sekresi putih telur terjadi di sini. Mukosa dari magnum  tersusun dari el goblet. Sel goblet mensekresikan putih telur kental dan cair. Kuning telur berada di magnumuntuk dibungkus dengan putih telur selama 3,5 jam (Yuwanta, 2004).

Hasil dari praktikum menunjukan data bahwa panjang magnum pada ayam A adalah 38 cm dan berat 60 gram, dan ayam B panjangnya 38 cm dan berat 48 gram. Menurut Yuwanta (2004), magnum merupakan bagian terpanjang dari oviduct yaitu 33 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat magnum adalah 22 sampai 27 gram. Terdapat perbedaan antara kisaran normal dengan data hasil praktikum yaitu panjang magnum untuk kedua ayam lebih panjang daripada literatur dan berat magnum lebih berat dari kisaran normal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan umur, faktor genetik, produksi telur yang telah dihasilkan (Usman, 2010). Faktor genetik sangat berpengaruh pada panjang magnum (Yuwanta, 2004).

Isthmus. Isthmus merupakan tempat pembentukan kerabang tipis dan tempat terjadi plumping, kandungan pada masa ini tidak secara lengkap mengisi membran kerabang dan telur menyerupai sebuah kantung hanya sebagian terisi air (Suprijatna et al., 2005). Isthmus mensekresikan membran shell atau selaput telur. Panjang saluran isthmus adalah 10 cm dan telur berada di sini berkisar 1 jam 15 menit sampai 1,5 jam. Isthmus bagian depan berdekatan dengan magnum berwarna putih, sedangkan 4 cm terakhir di isthmus mengandung banyak pembuluh darah sehingga memberikan warna merah (Yuwanta, 2004).

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh panjang isthmus ayam A 13 cm dan berat 7 gram, dan ayam B panjangnya adalah 12 cm dan berat 6 gram. Menurut Yuwanta (2004), panjang saluran isthmus adalah 10 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat isthmus adalah 4 sampai 7 gram. Berdasarkan literatur maka didapatkan bahwa panjang isthmus untuk kedua ayam berada di atas kisaran normal dan berat isthmus untuk kedua ayam berada pada kisaran normal. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan umur, faktor genetik, dan produksi telur (Rahayu et al., 2011).

            Uterus.  Uterus atau disebut juga glandula kerabang telur, panjangnya 10 cm. pada bagian ini terjadi dua fenomena, yaitu hidratasi putih telur atau plumping, kemudian terbentuk kerabang telur. Warna kerabang telur yang terdiri atas sel phorphirin akan terbentuk di bagian ini pada akhir mineralisasi kerabang telur. Lama mineralisasi antara 20 sampai 21 jam (Yuwanta, 2004). Antara uterus dan vagina terdapat junction utero vaginal (JUV) atau sperm storage tubule (SST) sebagai tempat transit dari spermatozoa sebelum mencapai leher infundibulum (Yuwanta, 2010).

Berdasarkan praktikum yang dilakukan, diperoleh data bahwa pada ayam A mempunyai panjang 5 cm dan berat 19 gram sedangkan ayam B mempunyai panjang 6 cm dan berat 18 gram. Menurut Yuwanta (2004), kisaran normal panjang uterus adalah 10 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat uterus ayam adalah 15 sampai 19 gram. Berdasarkan literatur, maka didapatkan bahwa panjang uterus untuk kedua ayam berada di bawah kisaran normal dan berat uterus untuk kedua ayam berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan oleh faktor umur, genetik, dan tingkat produksi telur (Rahayu et al., 2011).

Vagina.  Di dalam vagina terjadi pembentukan kutikula. Telur melewati vagina dengan cepat yaitu 3 menit, kemudian telur dikeluarkan (oviposition) dan 30 menit setelah peneluran akan terjadi ovulasi (Yuwanta, 2004). Telur yang berada di dalam vagina dilapisi oleh mucus. Mucus ini menyumbat pori kerabang, dengan demikian pencemaran bakteri dapat dihindari.

Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh bahwa panjang vagina pada ayam A adalah 6 cm berat 9 gram, dan ayam B panjangnya 4 cm dan berat 1 gram. Menurut Yaman (2010), panjang vagina dapat mencapai 10 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat vagina ayam adalah 4 sampai 7 gram. Berdasarkan literatur didapatkan bahwa panjang vagina kedua ayam berada di bawah kisaran normal dan berat vagina untuk kedua ayam tidak berada pada kisaran normal, untuk ayam A di atas kisaran normal dan ayam B di bawah kisaran normal. Hal ini disebabkan karena faktor umur, genetik, dan tingkat produksi telur (Rahayu et al., 2011).

Sistem Reproduksi Ayam Jantan

Sistem reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis, sepasang saluran deferens, papilla dan kloaka.

Testis. Testis ayam jantan terletak di rongga badan dekat tulang belakang, melekat pada bagian dorsal dari rongga abdomen dan dibatasi oleh ligamentum mesorchium, berdekatan dengan aorta dan vena cava atau di belakang paru-paru bagian depan dari ginjal. Meskipun ekat dengan rongga udara, temperatur testis selalu 41oC sampai 43oC karena spermatogenesis akan terjadi pada temperatur tersebut. Testis ayam terbungkus oleh dua lapisan tipis transparan, lapisan albuginea yang lunak. Bagian dalam dari testis terdiri atas tubuli seminiferi (85% sampai 95% dari volume testis), yang merupakan tempat terjadinya spermatogenesis dan jaringan interstitialyang terdiri atas sel glanduler (sel Leydig) tempat disekresikannya hormon steroid, androgen, dan testosteron. Besar testis tergantung pada umur, strain, musim, dan pakan (Yuwanta, 2004). Spermatozoa menunjukkan bagian ujung kepala yang panjang diikuti oleh satu ekor yang panjang. pH semen sekitar 7 sampai 7,4. Volume ejakulasi selama satu kali perkawinan mencapai 1 ml pada permulaan hari itu dan berkurang sedikit setelah beberapa kali perkawinan (Supprijatna et al., 2005).

Vas Deferens. Vas Deferens (ductus deferens) merupakan sebuah saluran yang berfungsi mengalirkan sperma keluar dari tubuh. Masing-masing ductus deferens bermuara ke dalam sebuah papilla kecil yang bersama berperan sebagai organ intromittent (Suprijatna et al., 2005). Saluran duktus deferens dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian atas yang merupakan muara sperma testis serta bagian bawah yang merupakan perpanjangan dari saluran epididimis dan dinamakan saluran deferens. Saluran deferens ini akhirnya akan bermuara di kloaka pada daerah proktodeum yang bersebelahan dengan urodeum dan koprodeum. Sperma di dalam saluran deferens mengalami pemasakan dan penyimpanan sebelum diejakulasikan. Pemasakan dan penyimpanan sperma terjadi pada 65% bagian distal saluran deferens (Yuwanta, 2004).

Papilla. Alat kopulasi pada ayam berupa papila (penis ) yang mengalami rudimenter, kecuali pada itik berbentuk spiral yang panjangnya 12 sampai 18 cm. Papila memproduksi cairan transparan yang bercampur dengan sperma saat terjadinya kopulasi (Yuwanta, 2004).

 


KESIMPULAN

 

Sistem digesti ternak unggas terdiri atas mulut, oesophagus, crop, proventrikulus, gizzard, usus halus, coecum, usus besar, dan kloaka. Organ tambahan terdiri atas hati, limpa dan pankreas. Hasil pengukuran dan penimbangan didapatkan bahwa panjang dan berat masing-masing organ pencernaan secara keseluruhan tidak berada pada kisaran normal. Perbedaan ukuran ada saluran pencernaan dapat disebabkan oleh umur, pemberian pakan dan lingkungan.

Sistem reproduksi ayam atau unggas yang berkembang baik adalah sebelah kiri, sedangkan organ sebelah kanan mengalami rudimenter. Alat reproduksi unggas betina terdiri dari ovarium, infundibulum, magnum, isthmus, uterus, dan vagina. Perbedaan ukuran pada saluran reproduksi betina juga disebabakan oleh umur dan produksi telur. Alat reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis, vasdeferens, dan papilla. Berdasarkan data hasil pembahasan disimpulkan bahwa panjang dan berat alat reproduksi betina untuk kedua ayam tidak berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan karena faktor umur, genetik, dan tingkat produksi telur.


DAFTAR PUSTAKA

 

Fadillah, R., P. Agustin, A. Syamsirul, P. Eko. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Frandson, R.D. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hamsah. 2013. Respon Usus dan Karakteristik Karkas pada Ayam Ras Pedaging dengan Berat Badan Awal Berbeda yang Dipuasakan Setelah Menetas. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Horhoruw, W.M. 2012. Ukuran Saluran Reproduksi Ayam Petelur Fase Pullet Yang Diberi Pakan Dengan Campuran Rumput Laut (Gracilaria edulis). Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon.

Kartadisastra, H.K. 2002. Pengolahan Pakan Ayam. Kanisius. Yogyakarta.

Rahayu, I., Sudaryani T., Santosa H. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., Atmomarsono, dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., Dulatip Natawihardia. 2005. Pertumbuhan Organ Reproduksi Ayam Ras Petelur Dan Dampaknya Terhadap Performans Produksi Telur Akibat Pemberian Ransum Dengan Taraf Protein Berbeda Saat Periode Pertumbuhan. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang.

Usman, Ahmad Nur Ramdani. 2010. Pertumbuhan Ayam Broiler (Melalui Sistem Pencernannya) Yang Diberi Pakan Nabati Dan Komersial Dengan Penambahan Dysapro. Institute Pertanian Bogor. Bogor.

Yaman, M. Aman. 2010. Ayam Kampung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yuwanta, Tri. 2000. Beberapa Metode Praktis Penetasan Telur. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Yuwanta, Tri. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. Yogyakarta.

Zuprizal dan M. Kamal. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.