Laporan Praktikum Ilmu Ternak Unggas

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU TERNAK UNGGAS

logo 

 

DisusunOleh :

Kelompok XXXIV

Nurus Sobah

13/349268/PT/06587

Asisten : Ardian Priyono

 

 

 

LABORATORIUM ILMU TERNAK UNGGAS

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

HALAMAN PENGESAHAN

 

            Laporan praktikum Ilmu Ternak Unggas disusun guna memenuhi salah satu syarat menempuh mata kuliah Ilmu Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

            Laporan praktikum Ilmu Ternak Unggas telah disahkan oleh asisten pendamping pada tanggal      Desember 2014.

 

Yogyakarta,     Desember 2014

Asisten Pendamping

 

 

 

Ardian Priyono

DAFTAR ISI

 

COVER…………………………………………………………………………………….. i

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… iii

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….. v

DAFTAR TABEL……………………………………………………………………… vi

TUJUAN DAN MANFAAT PRAKTIKUM…………………………………. 1

MATERI DAN METODE…………………………………………………………… 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Digesti

Mulut………………………………………………………………………………. 4

Oesophagus…………………………………………………………………… 5

Tembolok……………………………………………………………………….. 6

Proventrikulus………………………………………………………………… 7

Empedal…………………………………………………………………………. 8

Duodenum……………………………………………………………………… 10

Jejunum…………………………………………………………………………. 11

Ileum………………………………………………………………………………. 12

Coecum………………………………………………………………………….. 12

Usus Besar…………………………………………………………………….. 13

Kloaka……………………………………………………………………………. 14

Organ Tambahan

Hati…………………………………………………………………………………. 16

Pankreas………………………………………………………………………… 16

Limfa………………………………………………………………………………. 18

Sistem Reproduksi Betina

Ovarium………………………………………………………………………….. 19

Infundibulum…………………………………………………………………. 20

Magnum…………………………………………………………………………. 21

Isthmus…………………………………………………………………………… 22

Uterus…………………………………………………………………………….. 23

Vagina……………………………………………………………………………. 24

Sistem Reproduksi Jantan

Testis……………………………………………………………………………… 25

Vas Deferens………………………………………………………………….. 26

Papilla……………………………………………………………………………. 26

KESIMPULAN………………………………………………………………………….. 27

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………… 28

LAMPIRAN……………………………………………………………………………….. 29

 

DAFTAR GAMBAR

 

Gambar 1. Organ Pencernaan Ayam……………………………………….. 4

Gambar 2. Paruh Ayam…………………………………………………………….. 5

Gambar 3. Oesophagus Ayam………………………………………………….. 6

Gambar 4 Crop Ayam……………………………………………………………….. 7

Gambar 5. Proventrikulus Ayam……………………………………………….. 8

Gambar 6. Gizzard Ayam………………………………………………………….. 9

Gambar 7. Duodenum Ayam…………………………………………………….. 10

Gambar 8. Jejunum Ayam………………………………………………………… 11

Gambar 9. Ileum Ayam……………………………………………………………… 12

Gambar 10. Coecum Ayam………………………………………………………. 13

Gambar 11. Usus Besar Ayam………………………………………………….. 14

Gambar 12. Kloaka Ayam…………………………………………………………. 15

Gambar 13. Hati Ayam……………………………………………………………… 16

Gambar 14. Pankreas Ayam…………………………………………………….. 17

Gambar 15. Limpa Ayam…………………………………………………………… 18

Gambar 16. Ovarium Ayam………………………………………………………. 19

Gambar 17. Infundibulum Ayam……………………………………………….. 21

Gambar 18. Magnum Ayam………………………………………………………. 22

Gambar 19. Isthmus Ayam………………………………………………………… 23

Gambar 20. Uterus Ayam………………………………………………………….. 24

Gambar 21. Vagina Ayam…………………………………………………………. 25

 

DAFTAR TABEL

 

Tabel 1. Sistem Digesti Ayam…………………………………………………… 3

Tabel 2. Organ Tambahan………………………………………………………… 15

Tabel 3. Organ Reproduksi Ayam Betina…………………………………. 18

TUJUAN DAN MANFAAT PRAKTIKUM

 

Praktikum sistem digesti dan reproduksi bertujuan untuk mengetahui saluran sistem digesti pencernaan ayam dan reproduksi ayam jantan maupun ayam betina. Manfaat yang diperoleh dari praktikum ini adalah menambah ilmu dasar mengenai sistem digesti dan reproduksi pada ayam, sehingga praktikan diharapkan mampu memahami cara manajemen ternak ayam yang baik dan dapat menghasilkan produksi yang diinginkan.

 

MATERI DAN METODE

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum sistem digesti dan reproduksi antara lain pisau scapel merk One Mad, timbangan listrik merk Camry, pita ukur merk butterfly, gunting stainless merk One Mad, plastik berukuran 1×1 m dan trash bag.

            Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum sistem digesti dan reproduksi adalah 2 ekor ayam layer betina afkir berumur lebih dari 72 minggu dengan berat 1428 gram dan 1467 gram. Kondisi ayam yang digunakan telah disembelih tetapi belum dibedah.

 

Metode

            Preparat ayam yang telah disembelih dibedah dengan hati-hati menggunakan pisau scapel dan gunting untuk dikeluarkan seluruh organ pencernaan dan reproduksinya, diusahakan jangan sampai putus. Organ pencernaan dan reproduksi yang telah dikeluarkan kemudian diletakkan dan disusun pada plastik lebar yang telah disiapkan. Organ yang telah tersusun diukur panjang per bagian, kemudian dipotong dan dikeluarkan kotorannya lalu ditimbang. Hasil pengukuran masing-masing organ dicatat pada lembar kerja yang telah disediakan.

 


HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Sistem Digesti

Hasil praktikum sistem digesti ayam betina diperoleh dari data dari 2 ekor ayam layer afkir yang berumur  lebih dari 72 minggu dengan berat masing-masing 1418 gram dan 1467 gram. Berikut ini adalah data hasil pengukuran panjang dan berat organ pencernaan pada ayam betina.

Tabel 1. Sistem Digesti Ayam

Parameter Ayam A Ayam B
Panjang (cm) Berat (gram) Panjang (cm) Berat (gram)
Oesophagus 19 9 25 5
Crop 7 9 6 9
Proventriculus 5 7 3,5 8
Gizzard 5,5 36 6 31
Usus halus
      – duodenum 26 6 35 16
     – jejunum 70 35 71 19
     – ileum 55 15 63 13
Coecum 17 10 15 9
Usus besar 10 3 9 6
Cloaca 3 12 4 9

 

            Ayam A dan B merupakan ayam layer afkir yang berumur lebih dari 72 minggu dengan berat masing-masing 1418 gram dan 1467 gram. Alat pencernaan ayam terdiri dari mulut, kerongkongan (esophagus), tembolok (crop), ampela bagian depan (proventriculus), ampela (ventriculus), usus kecil (small intestine), usus buntu (coecum), usus besar (large intestine), dan kloaka. Setiap bagian alat pencernaan memiliki fungsi yang berbeda (Yaman, 2010).

Panjang alat pencernaan pada ayam sekitar 245 sampai 255 cm, tergantung pada umur dan jenis unggas. Prinsip pencernaan pada ayam ada tiga macam, yaitu pencernaan secara mekanik (fisik) dilakukan oleh kontraksi otot polos, terutama terjadi di empedal (gizzard) yang dibantu oleh bebatuan (grit), pencernaan secara kimia (enzimatik) dilakukan oleh enzim pencernaan yang dihasilkan kelenjar saliva di mulut, enzim yang dihasilkan oleh proventikulus, enzim dari pankreas, enzim empedu dari hati, dan enzim dari usus halus, dan pencernaan secara mikrobiologik (jumlahnya sedikit sekali) dan terjadi di sekum dan kolon. Secara umum pencernaan unggas meliputi aspek tiga aspek, yaitu digesti yang terjadi pada paruh, tembolok, proventikulus, ventrikulus (empedal/ guisar), usus halus, usus besar dan ceca, absorbsi yang terjadi pada usus halus (small intestinum) melalui vili-vili (jonjot usus), metabolisme yang terjadi pada sel tubuh yang kemudian disintesis menjadi protein, glukosa dan hasil lain untuk pertumbuhan badan, produksi telur atau daging, pertumbuhan bulu, penimbunan lemak, dan menjaga atau memelihara tubuh dari proses kehidupannya (Yuwanta, 2004).

Mulut. Mulut pada ayam sebagai alat pengambilan pakan (prehension). Ayam tidak mempunyai gigi sehingga fungsi pemecahan partikel digantikan oleh paruh. Mulut hanya digunakan sebagai lewat sesaat bahan pakan. Di dalam mulut terdapat lidah yang kaku untuk membantu penelanan makanan. Didalam mulut juga disekresikan enzim amylase atau ptyalin yang berfungsi mengubah amilum yang terkandung dalam pakan menjadi gula yang lebih sederhana. Secara umum di mulut terjadi pencernaan secara enzimatis dan mekanik.

Pakan masuk ke dalam mulut ayam masih dalam keadaan utuh, kemudian dengan tekanan lidah masuk ke dalam rongga pharynk dan turun ke oesophagus oleh gaya gravitasi. Mulut menghasilkan saliva yang mengandung amilase dan maltase saliva, tetapi pemecahan bahan pakan di mulut ini kecil sekali karena mulut hanya digunakan untuk lewat sesaat. Saliva mulut, selain mengandung kedua enzim tersebut, juga digunakan untuk membasahi pakan agar mudah ditelan. Produksi saliva 7 sampai 30 ml/hari, tergantung pada jenis pakan. Sekresi saliva dipacu oleh saraf parasimpatik (Yuwanta, 2004). Mulut unggas tidak mempunyai gigi, melainkan lidah kaku. Lidah ayam mempunyai kelenjar dan sedikit syarat pengecap. Fungsi gigi pada unggas gantikan oleh paruh yang keras untuk prehesnion dan memecah makanan yang akan masuk mulut (Kartadisastra, 2002).

Oesophagus. Oesophagus merupakan saluran pencernaan yang menghasilkan mukosa berlendir yang berfungsi membantu melicinkan pakan menuju tembolok. Oesophagus merupakan saluran lunak dan elastis yang mudah mengalami pemekaran apabila ada bolus yang masuk. Oesophagus memanjang dari pharynk hingga proventrikulus melewati tembolok (crop). Organ ini menghasilkan mukosa yang berfungsi membantu melicinkan pakan menuju tembolok (Yuwanta, 2004).

Menurut Yaman (2010), kisaran normal panjang oesophagus adalah 20 sampai 25 cm dengan berat 5 sampai 7,5 gram. Dari hasil praktikum diperoleh panjang oesophagus untuk ayam A adalah 19 cm dengan berat 9 gram dan ayam B adalah 25 cm dengan berat 5 gram. Hasil tersebut menunjukkan bahwa panjang dan berat oesophagus ayam A tidak berada pada kisaran normal yaitu lebih pendek dan lebih berat dari kisaran normal, hal ini dapat terjadi karena perbedaan jenis, umur, bangsa, pemberian pakan dan juga faktor kesehatan (Fadillah, 2007), sedangkan oesophagus untuk ayam B berada pada kisaran normal.

            Tembolok (Crop). Tembolok adalah modifikasi dari oesophagus (Yuwanta, 2004). Setelah melewati oesophagus, pakan akan menuju ke tembolok dengan bantuan gerakan peristaltik yang ada di oesophagus dan dengan bantuan gaya gravitasi. Tembolok berfungsi untuk menyimpan pakan sementara. Menurut Yuwanta (2004), fungsi utama tembolok adalah untuk menyimpan pakan sementara, terutama pada saat ayam makan dalam jumlah banyak. Bolus berada di tembolok selama 2 jam. Jenis makanan atau benda lain yang mempunyai ukuran besar dapat menyumbat saluran tembolok. Jika hal ini terjadi maka makanan yang ada dalam tembolok tidak dapat lewat dan akan terjadi fermentasi. Kapasitas tembolok mampu menampung 250 gram pakan. Pada tembolok terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di Hipotalamus sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan memberikan respon dalam saraf untuk makan atau menghentikan makan.

Menurut Suprijatna et al. (2005), ukuran tubuh ayam mempengaruhi ukuran organ-organ dalam tubuh ayam itu sendiri. Kisaran normal panjang crop adalah 7 sampai 10 cm dan beratnya 8 sampai 12 gram. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil crop ayam A panjangnya 7 cm dan beratnya 9 gram sedangkan ayam B panjangnya 6 cm dan beratnya 9 gram. Berat dan panjang crop ayam A berada pada kisaran normal, sedangkan panjang crop ayam B berada di bawah kisaran normal. Berat dan panjang crop dipengaruhi oleh umur, jenis pakan dan bangsa (Fadillah et al., 2007).

            Proventrikulus.  Proventrikulus adalah suatu pelebaran dari kerongkongan sebelum berhubungan dengan gizzard (empedal). Kadang-kadang disebut glandula stomach atau true stomach. Menurut Usman (2010), proventrikulus merupakan perluasan oesophagus yang utama pada sambungan dengan gizzard, dan biasa disebut glandular stomach atau perut sebenarnya. Proventrikulus berfungsi untuk mensekresikan gastric juice (cairan lambung) yaitu pepsin, suatu enzim untuk membantu pencernaan protein, dan hydrochloric acid disekresi oleh glandular cell. Menurut Yuwanta (2004), proventrikulus mensekresikan enzim pepsinogen dan HCl untuk mencerna protein dan lemak. Pada proventrikulus lintasan pakan sangat cepat masuk ke empedal melalui isthmus proventrikulus sehingga secara nyata belum sempat dicerna. Sekresi pepsinogen tergantung pada stimulasi syaraf vagus, pakan yang melintas, dan aksi cairan gastrik. Pada keadaan tidak makan, sekresi glandula perut ini 5 sampai 20 ml/jam dan mampu mencapai 40 ml ketika ada pakan. Pada ayam petelur produksi HCl akan menjadikan suasana empedal menjadi asam (pH 1-2) untuk melumatkan 7-8 gram CaCO3, fosfat, mengionkan elektrolit, dan memecah struktur tersier protein pakan.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data panjang proventrikulus ayam A 5 cm dan berat 7 gram, dan pada ayam B panjangnya 3,5 cm dan berat 8 gram. Menurut Usman (2010), bobot proventrikulus mencapai 0,45% dari bobot hidup. Menurut Yaman (2010), proventrikulus memiliki panjang 6 cm dan berat 7,5 sampai 10 gram. Proventirkulus untuk ayam A  panjang dan beratnya berada di bawah kisaran normal, sedangkan ayam B panjang berada di bawah kisaran normal dan beratnya berada pada kisaran normal. Faktor yang mempengaruhi bobot proventrikulus adalah umur, bangsa, dan genetik ternak (Usman, 2010).

Empedal (Gizzard) . Pakan yang bercampur dengan getah proventrikulus masuk ke dalam empedal atau gizzard. Pakan dalam gizzard mengalami proses pencernaan secara mekanik dengan bantuan grit yang berupa batuan kecil, selain itu pakan juga akan dipecah dan dicampur dengan air sehingga menjadi seperti pasta atau yang biasa disebut dengan chymne (Kartadisastra, 2002). Menurut Yuwanta (2004), empedal (gizzard) disebut juga perut muscular yang merupakan perpanjangan dari provenrikkulus. Fungsi utama empedal adalah memecah atau melumatkan pakan dan mencampurnya dengan air menjadi pasta yang dinamaan chymne. Ukuran dan kekuatan empedal dipengaruhi oleh kebiasaan makan dari ayam tersebut. Pada unggas yang hidup secara berkeliaran (ayam kampung), empedal lebih kuat daripada ayam yang dipelihara secara terkurung dengan pakan yang lebih lunak. Pada empedal disekresikan koilin yang berfungsi melindungi permukaan empedal terhadap kerusakan yang mungkin disebabkan oleh pakan atau zat lain. Menurut Usman (2010), fungsi gizzard adalah sebagai reaksi mekanik mencampur dan menggerus pakan. Gizzard tidak aktif ketika kosong, tetapi ketika makanan masuk, otot berkontraksi. Besarnya partikel makanan mempercepat kontraksi. Grit yang dibutuhkan sedikit jika pakan dalam betuk mash. Berat gizzard sekitar 44 gr atau sebesar 2,3 % dari bobot hidup.

 Berdasarkan praktikum diketahui data ayam A panjangnya 5,5 cm dan beratnya 36 gram, dan ayam B panjang 6 cm dan 31 gram. Menurut Yaman (2010), gizzard memiliki panjang 5 sampai 7,5 cm dan berat 25 sampai 30 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang gizzard untuk kedua ayam berada pada kisaran normal sedangkan berat untuk kedua ayam berada di atas kisaran normal. Menurut Usman (2010), peningkatan bobot gizzard disebabkan karena peningkatan serat dalam pakan. Hal ini mengakibatkan beban gizzard lebih besar untuk memperkecil ukuran partikel ransum secara fisik, akibatnya urat daging gizzard tersebut akan lebih tebal sehingga memperbesar ukuran gizzard.

 

Usus Halus (small intestine).

Chymne dari gizzard akan masuk ke dalam usus halus dan mengalami penyerapan atau absorbsi. Usus halus terbagi atas 3 bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan illeum. Menurut Yuwanta (2004), Usus halus (small intestine) dinamakan juga intestinum tenue, panjangnya mencapai 120 cm dan terbagi dalam tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum dan illeum

Duodenum. Duodenum terdapat pada bagian paling atas dari usus halus dan panjangnya mencapai 24 cm. pada bagian ini terjadi pencernaan yang paling aktif dengan proses hidrolisis dari nutrien kasar berupa pati, lemak, dan protein. Penyerapan hasil akhir dari proses ini sebagian besar terjadi di duodenum. Duodenum merupakan tempat sekresi enzim dari pankreas dan getah empedu dari hati. Getah empedu mengandung garam empedu dan lemak dalam bentuk kholesitokinin-pankreosimin berisi kolesterol dan fosfolipid (Yuwanta, 2004). Menurut Usman (2010), duodenum berbentuk loop melingkari pankreas berakhir di saluran dari hati dan pankreas masuk ke usus halus.

Dari data hasil praktikum diperoleh bahwa panjang duodenum ayam A 26 cm dan berat 6 gram, dan pada ayam B panjangnya 35 cm dan berat 16 gram. Menurut Yuwanta (2004), panjang duodenum adalah 24 cm. Menurut Hamsah (2013) menyatakan bahwa berat duodenum ayam umur 35 hari adalah 4 gram. Berdasarkan literatur, diketahui bahwa panjang dan berat duodenum berada di atas kisaran normal. Perbedaan panjang duodenum disebabkan karena perbedaan umur maupun jenis unggas (Usman, 2010).

Jejunum. Jejunum dan ileum meupakan kelanjutan dari duodenum. Pada bagian ini proses pencernaan dan penyerapan zat makanan yang belum diselesaikan pada duodenum dilanjutkan sampai tinggal bahan yang tidak dapat tercerna (Yuwanta, 2004). Diantara jejenum dan ileum terdapat suatu pembatas yang berbentuk seperti kutil yang disebut dengan micele divertikum. Menurut Yaman (2010), pembatas antara Jejunum dan ileum disebut micele divertikum yang ditandai dengan adanya bintil pada permukaan. Menurut Usman (2010), persimpangan antara jejenum dan ileum nampak kurang jelas, namun dapat dilihat dengan adanya diventrikulum yang nampak di permukaan. Ileum memanjang dari diventrikulum sampai persimpangan ileo-caecal­, dimana dua seka bersatu dengan usus.

Berdasarkan praktikum diperoleh data untuk panjang jejunum ayam A adalah 70 cm dan beratnya 35 gram, sedangkan ayam B panjangnya adalah 71 cm dan beratnya 19 gram. Menurut Hamsah (2013) panjang jejunum ayam berkisar antara 58 sampai 74 cm dan berat 2,9 sampai 3,8 gram tiap 10 cm dari panjang jejunum. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang jejunum ayam A berada di kisaran normal dan beratnya berada di atas kisaran normal, sedangkan jejunum ayam B panjangnya berada pada kisaran normal dan beratnya berada di bawah kisaran normal. Perbedaan ukuran tersebut disebabkan oleh aktivitas, banyaknya pakan yang dikonsumsi, perbedaan umur ayam, dan ukuran tubuh (Fadillah et al., 2007).

Ileum. Ileum merupakan bagian usus halus yang paling banyak melakukan absorbsi. Sepanjang permukaan ileum terdapat banyak vili. Permukaan vili terdapat mikrovili yang berfungsi untuk mengabsorbsi hasil pencernaan (Suprijatna et al., 2005). Menurut Yaman (2010), pembatas antara Jejunum dan ileum disebut micele divertikum yang ditandai dengan adanya bintil pada permukaan.

Berdasarkan data hasil praktikum diketahui panjang dan berat ileum untuk ayam A adalah 55 cm dan 15 gram, sedangkan untuk ayam B adalah 63 cm dan 13 gram. Menurut Usman (2010), ileum memiliki panjang 32 cm dan berat 15 gram. Menurut Zuprizal dan Kamal (2005), berat ileum pada unggas terutama ayam adalah 15 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang ileum untuk kedua ayam berada di atas kisaran normal dan berat ileum ayam A ada di kisaran normal sedangkan ayam B berada di bawah kisaran normal. Hal ini disebabkan karena aktivitas, benyaknya pakan yang dikonsumsi, perbedaan umur ayam dan ukuran tubuh (Usman, 2010).

Sekum (Coecum). Pakan yang telah diserap dalam usus halus masuk ke dalam coecum. Coecum pada unggas ada 2, yaitu pada bagian kiri dan kanan. Di dalam terjadi pencernaan secara mikrobiologik karena dalam coecum terdapat mikrobia-mikrobia yang mampu membantu pencernaan terutama pencernaan serat kasar. Menurut Yuwanta (2004), sekum terdiri atas dua seka atau saluran buntu yang berukuran panjang 20 cm. beberapa nutrien yang tidak tercerna mengalami dekomposisi oleh mikrobia sekum, tetapi jumlah dan penyerapannya kecil sekali. Pada bagian sekum juga terjadi digesti serat kasar yang dilakukan oleh bakteri pencerna serat kasar. Kemampuan mencerna serat kasar pada bangsa itik lebih besar daripada bangsa ayam sehingga sekum itik lebih berkembang daripada ayam.

Berdasarkan data hasil praktikum diketahui bahwa panjang coecum pada ayam A 17 cm dan beratnya 10 gram sedangkan pada ayam B panjangnya 15 cm dan beratnya 9 gram. Menurut Yaman (2010), coecum mempunyai panjang normal 20 sampai 25 cm dan berat normal 6 sampai 8 gram. Bila dibandingkan dengan literatur kondisi coecum tidak dalam kisaran normal, pada ayam A lebih pendek dan lebih berat dari kisaran normal dan pada ayam B lebih pendek dan lebih berat dari kisaran normal. Hal ini disebabkan karena perbedaan ukuran tubuh, umur, dan kemampuan sekum dalam mencerna serat kasar (Usman, 2010).

Usus Besar (Rectum). Usus besar atau disebut juga intestinum crassum merupakan tempat untuk absorbsi air kembali sebelum feses dikeluarkan dari tubuh agar feses menjadi tidak terlalu lembek ataupun tidak terlalu keras sehingga tubuh tidak mengalami dehidrasi. Menurut Frandson (2009), usus besar berfungsi sebagai tempat absorbsi air dari sisa-sisa makanan. Menurut Yuwanta (2004), usus besar (rektum) dinamakan juga intestinum crassum dengan panjang 7 cm. pada bagian ini terjadi perombakan partikel pakan yang tidak tercerna oleh mikroorganisme menjadi feses. Pada bagian ini juga bermuara ureter dari ginjal untuk membuang urine yang bercampur dengan feses sehingga feses unggas dinamakan ekskreta. Feses dan urine sebelum dkeluarkan mengalami penyerapan air sekitar 72% sampai 75%. Rerata waktu yang diperlukan untuk lintas pakan di dalam saluran pencernaan unggas kurang lebih 4 jam. Muara ureter dinamakan urodeum, muara sperma pada ayam jantan dinamakan proktodeum, dan muara feses dinamakan koprodeum.

Dari hasil praktikum diperoleh panjang usus besar pada ayam A 10 cm dengan berat 3 gram dan ayam B 9 cm dengan berat 6 gram. Menurut Usman (2010), usus besar relatif lebih pendek daripada usus halus pada ayam, panjangnya sekitar 10 cm dan berat 4 sampai 6 gram pada ayam dewasa. Menurut Yuwanta (2004), usus besar (rektum) dinamakan juga intestinum crassum dengan panjang 7 cm. Usus besar dari ayam A berada di bawah kisaran normal, sedangkan ayam B berada dalam kisaran normal. Perbedaan ukuran usus besar disebabkan oleh bangsa, pakan, dan kondisi lingkungan (Fadillah et al., 2007).

Kloaka. Saluran pencernaan ayam berakhir pada kloaka yang merupakan muara keluarnya ekskreta. Menurut Yuwanta (2004), feses dan urin sebelum dikeluarkan mengalami penyerapan air sekitar 72% sampai 75%. Rerata waktu yang diperlukan untuk lintas pakan di dalam saluran pencernaan unggas kurang lebih 4 jam. Muara ureter dinamakan urodeum, muara sperma pada ayam jantan disebut proktodeum, dan muara feses dinamakan koprodeum. Kloaka merupakan tempat keluarnya ekskreta karena urodeum dan koprodeum terletak berhimpitan.

Dari hasil praktikum diperoleh panjang kloaka untuk ayam A 3 cm dan berat 12 gram  dan ayam B panjangnya 4 cm dan berat 9 gram. Menurut Yaman (2010), kloaka memiliki panjang normal 1,5 sampai 3 cm dan berat normalnya 6 sampai 8 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa panjang kloaka ayam B lebih panjang daripada literatur dan berat kloaka kedua ayam lebih berat dari kisaran normal. Perbedaan ini disebabkan oleh bangsa, pakan, dan kondisi lingkungan (Fadillah et al., 2007).

Organ Tambahan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapat data hasil pengukuran organ tambahan sebagai berikut :

Tabel 2. Organ Tambahan

Parameter Ayam A Ayam B
Panjang (cm) Berat (gram) Panjang (cm) Berat (gram)
  • Hati
  • Pankreas
  • Limfa
7

13

2

30

3

3

10

12

3

31

3

3

 

            Meskipun dinamakan organ tambahan tetapi fungsinya sangat penting, karena organ ini mensekresikan enzim pencernaan. Organ tambahan ini yang utama antara lain :

            Hati . Pada hati ini terdapat kantong empedu yang berfungsi untuk menyimpan sekresi empedu. Hati juga berperan dalam ekskresi dengan formasi ureanya (Rahayu et al., 2011). Menurut Yuwanta (2004), hati mensekresikan getah empedu yang disalurkan ke dalam duodenum. Fungsi getah empedu adalah menetralkan asam lambung (HCl) dan membentuk sabun terlarut (soluble soaps) dengan asam lemak bebas. Kedua fungsi tersebut akan membantu absorpsi dan translokasi asam lemak. Dalam getah emppedu yang mempunyai peranan penting, yaitu asam tarokholik dan glikokholik. Fungsi asam empedu adalah membantu digesti lemak dengan membentuk emulsi, mengaktifkan lipase pankreas, membantu penyerapan asam lemak, kolesterol, dan vitamin yang larut dalam lemak, stimulasi aliran getah empedu dari hati, dan menangkap kolesterol dalam getah empedu.

            Hati memiliki berat 3% dari bobot badan dan merupakan organ pencernaan tambahan terbesar dalam tubuh (Yuwanta, 2004). Berdasarkan hasil praktikum panjang hati ayam  A 7 cm dan berat 30 gram dengan  berat badan 1418 gram, maka berat hati sebenarnya adalah 42 gram. Ayam B diperoleh panjang 13 cm dan berat 29 gram dengan berat badan 1467, maka berat hati sebenarnya adalah 42 gram. Hal ini menunjukkan bahwa berat hati yang diperoleh kedua ayam tidak sesuai dengan literatur yang ada. Bobot hati meningkat dipengaruhi oleh jumlah penyerapan nutrien dan kandungan serat kasar (Yaman, 2010).

Pankreas. Pankreas mensekresikan getah pankreas yang berfungsi dalam pencernaan pati, lemak, dan protein. Disamping mensekresikan getah pankreas juga mensekresikan insulin. Pankreas mempunyai dua fungsi yang semuanya berhubungan dengan penggunaan energi ransum, yaitu eksokrin dan endokrin. Eksokrin berfungsi mensuplai enzim yang mencerna karbohidrat, protein, dan lemak ke dalam usus halus, sedangkan endokrin berfungsi menggunakan dan mengatur nutrien berupa energi untuk diserap dalam tubuh dalam proses dasar pencernaan (Yuwanta, 2004). Pankreas mensekresikan enzim amilase, tripsin, dan lipase yang dibawa ke duodenum untuk menerima karbohidrat, protein, dan lemak. Pankreas terletak di antara lipatan duodenum (Rahayu et al., 2011).

Berdasarkan hasil praktikum panjang pankreas yang didapat adalah ayam A 13 cm dan berat 3 gram dan ayam B panjangnya 12 cm dan berat 3 gram. Menurut Suprijatna et al. (2005), bobot pankreas berkisar antara 2 sampai 4,5 gram. Berdasarkan literatur diketahui bahwa pankreas kedua ayam dalam kondisi normal. Perbedaan bobot pankreas disebabkan oleh jenis, umur, besar, aktivitas hewan dan juga sekresi enzim pencernaan yang dihasilkan oleh pankreas (Rahayu et al., 2011).

Limfa . Limfa adalah organ kecil berwarna merah coklat berbentuk agak bundar. Organ ini fungsinya belum jelas, tetapi diuga membantu koordinasi pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Menurut Suprijatna et, al. (2005), fungsi limpa selain untuk menyimpan darah, bersama hati dan sumsum tulang belakang berperan dalam pembinasaan eritrosit-eritrosit tua, berperan dalam metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam urat serta membentuk limfosit.

Berdasarkan data hasil praktikum, diketahui bahwa limfa ayam A mempunyai panjang 2 cm dan berat 3 gram dan ayam B panjangnya 3 cm dan berat 3 gram. Menurut Fadillah et al. (2007), berat limfa ayam adalah sekitar 0,07% sampai dengan 0,13%. Berdasarkan literatur didapatkan bahwa berat normal limfa ayam A adalah 0,9 sampai 1,84 gram, dan ayam B adalah 1,02 sampai 1,9 gram. Berat limfa untuk kedua ayam tersebut berada di atas kisaran normal.

Sistem reproduksi

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data sistem reproduksi sebagai berikut :

Tabel 3. Organ reproduksi ayam betina

Parameter Ayam A Ayam B
Panjang (cm) Berat (gram) Panjang (cm) Berat (gram)
Ovarium + ovum 7 29 10 12
Infundibulum 4 2 7 1
Magnum 38 60 38 48
Isthmus 13 7 12 6
Uterus 5 19 6 18
Vagina 6 9 4 1

 

            Anatomi alat reproduksi betina terdiri atas dua bagian utama, yaitu ovarium (bagian primer) dan oviduk (bagian sekunder). Oviduk terdiri dari infundibulum, magnum, uterus, vagina, dan kloaka.

            Ovarium. Ovarium merupakan tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis, dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel). Pada unggas ovarium disebut folikel. Bentuknya seperti buah anggur dan terletak pada rongga perut berdekatan dengan ginjal kiri dan bergantung pada ligamentum meso-ovarium. Menurut Yuwanta (2004), ovarium pada unggas dinamakan juga folikel. Besar ovarium pada saat ayam menetas 0,3 gram kemudian mencapai panjang 1,5 cm pada ayam betina umur 12 minggu dan mempunyai berat 60 gram pada tiga minggu sebelum dewasa kelamin. Ovarium terbagi menjadi dua bagian, yaitu cortex pada bagian luar dan medulla pada bagian dalam. Cortex mengandung folikel dan pada folikel terdapat sel-sel telur. Jumlah sel telur dapat encapai lebih dari 12000 buah. Namun, sel telur yang mampu masak hanya beberapa buah saja (pada ayam dara dapat mencapai jutaan buah). Folikel akan masak pada 9 sampai 10 hari sebelum ovulasi. Karena pengaruh karotenoid pakan ataupun karotenoid yang tersimoan di tubuh ayam yang tidak homogen maka penimbunan materi penyusun folikel menjadikan lapisan konsentris tidak seragam. Proses pembentukan ovum dinamakan vitelogeni (vitelogenesis), yang merupakan sintesis asam lemak di hati yang dikontrol oleh hormon estrogen, kemudian oleh darah diakumulasikan de ovarium sebagai folikel atau ovum yang dinamakan yolk (kuning telur). Folikel dikelilingi oleh pembuluh darah, kecuali pada bagian stigma. Apabila ovum sudah masak, stigma akan robek sehingga terjadi ovulasi. Robeknya stigma dikontrol oleh hormon LH.

Berdasarkan praktikum yang dilakukan diketahui ovarium ayam A panjangnya 7 cm dan berat 29 gram, dan ayam B panjangnya 10 cm dan berat 12 gram. Menurut Yuwanta (2004), besar ovarium ayam pada saat ayam menetas 0,39 cm, kemudian mencapai panjang 1,5 cm pada ayam betina dengan umur 12 minggu dan mempunyai berat 60 gram pada umur 3 minggu sebelum dewasa kelamin. Berdasarkan literatur yang ada panjang dan berat dari ovarium ayam A dan B belum sesuai dengan literatur dan masih berada di bawah kisaran normal. Menurut Suprijatna dan Dulatip (2005), pertumbuhan ovarium terutama terjadi karena adanya pertumbuhan folikel yang menjadi dewasa (yolk). Meningkatnya taraf protein ransum mengakibatkan meningkatnya konsumsi protein sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan ovarium dan folikel. Ayam yang memperoleh taraf protein tinggi, memiliki ovarium dan oviduk lebih nyata lebih berat, serta memiliki jumlah folikel dewasa (yellow yolk) lebih banyak dibandingkan ayam yang memperoleh taraf protein rendah.

Oviduct. Oviduct terdiri atas infundibulum, magnum, isthmus, uterus, vagina, dan kloaka.

            Infundibulum.  Fungsi infundibulum adalah menangkap ovum (yolk) dan tempat terjadinya fertilisasi. Pada infundibulum terdapat fimbriae yang berfungsi untuk menangkap ovum yang telah masak dan kemudian masuk ke lubang ostium abdominale. Menurut Yuwanta (2004), panjang infundibulum adalah 9 cm dan fungsi utama infundibulum adalah menangkap ovum yang masak. Gabian ini sangat tipis dan mensekresikan sumber protein yang mengelilingi membrana vitelina. Kuning telur berada di bagian ini berkisar 15 sampai 30 menit. Perbatasan antara infundibulum dan magnum dinamakan sarang sorematozoa yang merupakan terminal akhir dari lalu lintas spermatozoa sebelum terjadi pembuahan.

Hasil pengamatan didapat panjang infundibulum untuk ayam A 4 cm dan berat 2 gram dan ayam B panjangnya 10 cm dan berat 1 gram. Menurut Yuwanta (2004), panjang infundibulum adalah 9 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat infundibulum adalah 2 sampai 3 gram. Infundibulum yang diperoleh dari pengamatan ayam A berada di bawah kisaran normal dan ayam B panjangnya berada di atas kisaran normal dan beratnya berada di bawah kisaran normal. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan jenis makanan, penyakit, umur, dan jenis unggas (Yuwanta, 2004).

            Magnum. Magnum meruapakan bagian yang terpanjang dari oviduk (33 cm). Magnum tersusun dari glandula tubuler yang sangat sensibel. Sintesis dan sekresi putih telur terjadi di sini. Mukosa dari magnum  tersusun dari el goblet. Sel goblet mensekresikan putih telur kental dan cair. Kuning telur berada di magnumuntuk dibungkus dengan putih telur selama 3,5 jam (Yuwanta, 2004).

Hasil dari praktikum menunjukan data bahwa panjang magnum pada ayam A adalah 38 cm dan berat 60 gram, dan ayam B panjangnya 38 cm dan berat 48 gram. Menurut Yuwanta (2004), magnum merupakan bagian terpanjang dari oviduct yaitu 33 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat magnum adalah 22 sampai 27 gram. Terdapat perbedaan antara kisaran normal dengan data hasil praktikum yaitu panjang magnum untuk kedua ayam lebih panjang daripada literatur dan berat magnum lebih berat dari kisaran normal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan umur, faktor genetik, produksi telur yang telah dihasilkan (Usman, 2010). Faktor genetik sangat berpengaruh pada panjang magnum (Yuwanta, 2004).

Isthmus. Isthmus merupakan tempat pembentukan kerabang tipis dan tempat terjadi plumping, kandungan pada masa ini tidak secara lengkap mengisi membran kerabang dan telur menyerupai sebuah kantung hanya sebagian terisi air (Suprijatna et al., 2005). Isthmus mensekresikan membran shell atau selaput telur. Panjang saluran isthmus adalah 10 cm dan telur berada di sini berkisar 1 jam 15 menit sampai 1,5 jam. Isthmus bagian depan berdekatan dengan magnum berwarna putih, sedangkan 4 cm terakhir di isthmus mengandung banyak pembuluh darah sehingga memberikan warna merah (Yuwanta, 2004).

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh panjang isthmus ayam A 13 cm dan berat 7 gram, dan ayam B panjangnya adalah 12 cm dan berat 6 gram. Menurut Yuwanta (2004), panjang saluran isthmus adalah 10 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat isthmus adalah 4 sampai 7 gram. Berdasarkan literatur maka didapatkan bahwa panjang isthmus untuk kedua ayam berada di atas kisaran normal dan berat isthmus untuk kedua ayam berada pada kisaran normal. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan umur, faktor genetik, dan produksi telur (Rahayu et al., 2011).

            Uterus.  Uterus atau disebut juga glandula kerabang telur, panjangnya 10 cm. pada bagian ini terjadi dua fenomena, yaitu hidratasi putih telur atau plumping, kemudian terbentuk kerabang telur. Warna kerabang telur yang terdiri atas sel phorphirin akan terbentuk di bagian ini pada akhir mineralisasi kerabang telur. Lama mineralisasi antara 20 sampai 21 jam (Yuwanta, 2004). Antara uterus dan vagina terdapat junction utero vaginal (JUV) atau sperm storage tubule (SST) sebagai tempat transit dari spermatozoa sebelum mencapai leher infundibulum (Yuwanta, 2010).

Berdasarkan praktikum yang dilakukan, diperoleh data bahwa pada ayam A mempunyai panjang 5 cm dan berat 19 gram sedangkan ayam B mempunyai panjang 6 cm dan berat 18 gram. Menurut Yuwanta (2004), kisaran normal panjang uterus adalah 10 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat uterus ayam adalah 15 sampai 19 gram. Berdasarkan literatur, maka didapatkan bahwa panjang uterus untuk kedua ayam berada di bawah kisaran normal dan berat uterus untuk kedua ayam berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan oleh faktor umur, genetik, dan tingkat produksi telur (Rahayu et al., 2011).

Vagina.  Di dalam vagina terjadi pembentukan kutikula. Telur melewati vagina dengan cepat yaitu 3 menit, kemudian telur dikeluarkan (oviposition) dan 30 menit setelah peneluran akan terjadi ovulasi (Yuwanta, 2004). Telur yang berada di dalam vagina dilapisi oleh mucus. Mucus ini menyumbat pori kerabang, dengan demikian pencemaran bakteri dapat dihindari.

Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh bahwa panjang vagina pada ayam A adalah 6 cm berat 9 gram, dan ayam B panjangnya 4 cm dan berat 1 gram. Menurut Yaman (2010), panjang vagina dapat mencapai 10 cm. Menurut Horhoruw (2012), berat vagina ayam adalah 4 sampai 7 gram. Berdasarkan literatur didapatkan bahwa panjang vagina kedua ayam berada di bawah kisaran normal dan berat vagina untuk kedua ayam tidak berada pada kisaran normal, untuk ayam A di atas kisaran normal dan ayam B di bawah kisaran normal. Hal ini disebabkan karena faktor umur, genetik, dan tingkat produksi telur (Rahayu et al., 2011).

Sistem Reproduksi Ayam Jantan

Sistem reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis, sepasang saluran deferens, papilla dan kloaka.

Testis. Testis ayam jantan terletak di rongga badan dekat tulang belakang, melekat pada bagian dorsal dari rongga abdomen dan dibatasi oleh ligamentum mesorchium, berdekatan dengan aorta dan vena cava atau di belakang paru-paru bagian depan dari ginjal. Meskipun ekat dengan rongga udara, temperatur testis selalu 41oC sampai 43oC karena spermatogenesis akan terjadi pada temperatur tersebut. Testis ayam terbungkus oleh dua lapisan tipis transparan, lapisan albuginea yang lunak. Bagian dalam dari testis terdiri atas tubuli seminiferi (85% sampai 95% dari volume testis), yang merupakan tempat terjadinya spermatogenesis dan jaringan interstitialyang terdiri atas sel glanduler (sel Leydig) tempat disekresikannya hormon steroid, androgen, dan testosteron. Besar testis tergantung pada umur, strain, musim, dan pakan (Yuwanta, 2004). Spermatozoa menunjukkan bagian ujung kepala yang panjang diikuti oleh satu ekor yang panjang. pH semen sekitar 7 sampai 7,4. Volume ejakulasi selama satu kali perkawinan mencapai 1 ml pada permulaan hari itu dan berkurang sedikit setelah beberapa kali perkawinan (Supprijatna et al., 2005).

Vas Deferens. Vas Deferens (ductus deferens) merupakan sebuah saluran yang berfungsi mengalirkan sperma keluar dari tubuh. Masing-masing ductus deferens bermuara ke dalam sebuah papilla kecil yang bersama berperan sebagai organ intromittent (Suprijatna et al., 2005). Saluran duktus deferens dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian atas yang merupakan muara sperma testis serta bagian bawah yang merupakan perpanjangan dari saluran epididimis dan dinamakan saluran deferens. Saluran deferens ini akhirnya akan bermuara di kloaka pada daerah proktodeum yang bersebelahan dengan urodeum dan koprodeum. Sperma di dalam saluran deferens mengalami pemasakan dan penyimpanan sebelum diejakulasikan. Pemasakan dan penyimpanan sperma terjadi pada 65% bagian distal saluran deferens (Yuwanta, 2004).

Papilla. Alat kopulasi pada ayam berupa papila (penis ) yang mengalami rudimenter, kecuali pada itik berbentuk spiral yang panjangnya 12 sampai 18 cm. Papila memproduksi cairan transparan yang bercampur dengan sperma saat terjadinya kopulasi (Yuwanta, 2004).

 


KESIMPULAN

 

Sistem digesti ternak unggas terdiri atas mulut, oesophagus, crop, proventrikulus, gizzard, usus halus, coecum, usus besar, dan kloaka. Organ tambahan terdiri atas hati, limpa dan pankreas. Hasil pengukuran dan penimbangan didapatkan bahwa panjang dan berat masing-masing organ pencernaan secara keseluruhan tidak berada pada kisaran normal. Perbedaan ukuran ada saluran pencernaan dapat disebabkan oleh umur, pemberian pakan dan lingkungan.

Sistem reproduksi ayam atau unggas yang berkembang baik adalah sebelah kiri, sedangkan organ sebelah kanan mengalami rudimenter. Alat reproduksi unggas betina terdiri dari ovarium, infundibulum, magnum, isthmus, uterus, dan vagina. Perbedaan ukuran pada saluran reproduksi betina juga disebabakan oleh umur dan produksi telur. Alat reproduksi ayam jantan terdiri dari sepasang testis, vasdeferens, dan papilla. Berdasarkan data hasil pembahasan disimpulkan bahwa panjang dan berat alat reproduksi betina untuk kedua ayam tidak berada pada kisaran normal. Hal ini disebabkan karena faktor umur, genetik, dan tingkat produksi telur.


DAFTAR PUSTAKA

 

Fadillah, R., P. Agustin, A. Syamsirul, P. Eko. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Frandson, R.D. 2009. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hamsah. 2013. Respon Usus dan Karakteristik Karkas pada Ayam Ras Pedaging dengan Berat Badan Awal Berbeda yang Dipuasakan Setelah Menetas. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Horhoruw, W.M. 2012. Ukuran Saluran Reproduksi Ayam Petelur Fase Pullet Yang Diberi Pakan Dengan Campuran Rumput Laut (Gracilaria edulis). Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon.

Kartadisastra, H.K. 2002. Pengolahan Pakan Ayam. Kanisius. Yogyakarta.

Rahayu, I., Sudaryani T., Santosa H. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., Atmomarsono, dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprijatna, E., Dulatip Natawihardia. 2005. Pertumbuhan Organ Reproduksi Ayam Ras Petelur Dan Dampaknya Terhadap Performans Produksi Telur Akibat Pemberian Ransum Dengan Taraf Protein Berbeda Saat Periode Pertumbuhan. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang.

Usman, Ahmad Nur Ramdani. 2010. Pertumbuhan Ayam Broiler (Melalui Sistem Pencernannya) Yang Diberi Pakan Nabati Dan Komersial Dengan Penambahan Dysapro. Institute Pertanian Bogor. Bogor.

Yaman, M. Aman. 2010. Ayam Kampung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yuwanta, Tri. 2000. Beberapa Metode Praktis Penetasan Telur. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Yuwanta, Tri. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. Yogyakarta.

Zuprizal dan M. Kamal. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara Thermoregulasi

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TERNAK

ACARA V

THERMOREGULASI

 logo

Disusun oleh:

Kelompok XVI

Winda Oryza P.S                 PT/06481

Amir Latif                               PT/06534

Ray Rezky A                         PT/06548

Rahmat Noor Insan             PT/06563

Nurus Sobah                                    PT/06587

Sarah Silfani                                    PT/06600

Abdul Jafar A                        PT/06611

Asisten: Feby Nilasari

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


ACARA V

THERMOREGULASI

 

Tinjauan Pustaka

            Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu lingkungan internal seekor hewan, seperti laju respirasi seluler meningkat seiring peningkatan suhu sampai titik tertentu dan kemudian menurun ketika suhu itu sudah cukup tinggi sehingga mulai mendenaturasi enzim. Sifat-sifat membran juga berubah seiring dengan perubahan suhu. Meskipun spesies hewan yang berbeda telah diadaptasikan terhadap kisaran suhu yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai kisaran suhu optimum. Banyak hewan dapat mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya berfluktuasi. Thermoregulasi adalah pemeliharaan suhu tubuh di dalam suatu kisaran yang membuat sel-sel mampu berfungsi secara efisien (Campbell et al., 2004).

            Thermoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk menjaga agar suhu tubuh suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol keseimbangan antara banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang dilepaskan. Thermogenesis yang terdapat pada hewan diperoleh dari hewan sendiri atau dari absorbsi panas lingkungan (Suripto, 1998). Hewan diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara hewan homoiterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah (Isnaeni, 2006).

Hewan poikiloterm juga dapat disebut sebagai hewan ekoterm karena suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternalnya. Sementara homoiterm dapat disebut endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh, tetapi kadang kita dapat menemukan beberapa kekecualian, misalnya pada insekta. Insekta dikelompokkan sebagai hewan ekoterm, tetapi ternyata ada beberapa insekta, misalnya lalat, yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot (Isnaeni, 2006).

            Hewan mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Hewan ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa pertukaran panas ini. Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh hewan sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh mereka, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya untuk memperoleh panas. Interaksi atau pertukaran panas antara hewan dan lingkungannya dapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Bloom dan Fawcet, 2002).

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum thermoregulasi adalah termometer, penjepit katak, arloji (stopwatch), kapas, kendi, dan beaker glass.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum thermoregulasi adalah katak, air panas, air es, dan probandus (manusia).

 

Metode

Pengukuran Suhu Tubuh

            Pengukuran pada mulut. Skala pada termometer diturunkan sampai 0oC, ujung termometer dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam mulut diletakkan di bawah lidah dan mulut ditutup rapat. Setelah 5 menit skala dibaca dan dicatat. Cara tersebut dilakukan juga pada mulut yang terbuka. Probandus berkumur dengan air es selama 1 menit dan dengan cara yang sama pula dilakukan pengukuran seperti di atas.

Pengukuran axillaris. Skala pada termometer diturunkan sampai 0oC, ujung termometer disisipkan pada fasa axillaris dengan pangkal lengan dihimpitkan. Tunggu 5 menit ,skala dibaca dan dicatat.

Proses Pelepasan Panas

            Proses pelepasan panas pada katak. Katak ditelentangkan pada papan dan diikat. Suhu tubuh katak diukur melalui oesophagus selama 5 menit. Katak dimasukkan ke dalam air es selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya melalui oesophagus. Katak dimasukkan ke dalam air panas 40oC selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya.

Proses pelepasan panas pada kendi. Disediakan dua kendi, yang satu dicat dan yang satunya tidak. Masing-masing diisi dengan air panas 70oC dengan jumlah yang sama lalu diukur suhunya dengan termometer setiap 5 menit sebanyak 6 kali.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Pengukuran Suhu Tubuh

Tabel 1. Probandus

Nama Umur Jenis Kelamin
Winda Oryza P.S 19 tahun Perempuan
Aswin R.P 19 tahun Laki-laki

 

Tabel 2. Pengukuran suhu pada mulut dan axillaris

Perlakuan Probandus I Probandus II
Mulut Tertutup 37,5oC 38oC
Mulut Terbuka 37,2oC 37,6oC
Berkumur Air Es
Mulut Tertutup 35,7oC 37,4oC
Mulut Terbuka 36,2oC 37,3oC
Axillaris 37,3oC 37,4oC

 

            Pengukuran suhu pada mulut dan axillaris. Pada kedua probandus dapat dilihat bahwa suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang drastis atau relatif konstan yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC. Menurut Muttaqin (2009), suhu tubuh yang normal berkisar dari 36,6oC sampai 37,2oC (98oF sampai 99oF). Suhu pada mulut tertupup tercatat pada kedua probandus lebih tinggi dibandingkan dengan mulut terbuka yaitu mulut tertutup pada probandus I suhunya 37,5oC dan pada mulut terbuka suhunya 37,2oC, sedangkan probandus II ketika mulut tertutup suhunya 38oC dan mulut terbuka suhunya 37,6oC. Penyebabnya suhu mulut tertutup lebih tinggi dari mulut terbuka karena ketika mulut dalam keadaan tertutup, tidak ada sirkulasi udara di dalam mulut sehingga suhu yang terukur merupakan suhu tubuh secara keseluruhan, tetapi ketika mulut terbuka, terdapat sirkulasi udara sehingga suhu dalam tubuh ada yang hilang. Menurut Isnaeni (2006), pada saat mulut terbuka, udara di dalam tubuh suhunya menjadi tinggi karena metabolisme dalam tubuh akan bercampur dengan udara yang bersuhu rendah, sehingga akan mencapai keseimbangan dalam dan luar mulut, mengakibatkan suhu udara dalam mulut menjadi turun.

            Setelah probandus berkumur dengan air es, kedua probandus mengalami sedikit penurunan suhu namun tidak begitu signifikan yaitu kisaran 35,7oC sampai 37,4oC. Setelah dilakukan pengukuran suhu dengan mulut tertutup dan mulut terbuka, suhu pada probandus I ketika pengukuran dengan mulut tertutup lebih rendah daripada mulut terbuka yaitu pada mulut tertutup suhunya 35,7oC dan mulut terbuka suhunya 36,2oC. Tidak sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut tertutup lebih tinggi daripada suhu mulut terbuka. Penyebabnya karena ketika melakukan pengukuran suhu dengan mulut tertutup, probandus I tidak benar-benar menutup mulutnya dan sesekali berbicara dengan praktikan lain, sehingga menyebabkan adanya sirkulasi udara di dalam mulut yang menyebabkan suhunya lebih rendah dari yang seharusnya. Suhu pada probandus II ketika mulut tertutup sebesar 37,4oC dan mulut terbuka sebesar 37,3oC, sudah sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut tertutup lebih tinggi daripada suhu mulut terbuka.

            Pengukuran suhu pada axillaris hasilnya tidak jauh berbeda dengan ketika melakukan pengukuran dengan mulut tertutup sebelum berkumur dengan air es yaitu pada probandus I sebesar 37,3oC dan probandus II sebesar 37,4oC. Penyebabnya karena manusia merupakan homoiterm yaitu dalam keadaan normal, suhu manusia relatif stabil meskipun keadaan lingkungan berubah-ubah. Menurut Muttaqin (2009), suhu tubuh yang diukur per axillaris dapat lebih rendah 0,5oC daripada suhu tubuh, yang diukur per mulut. Menurut Campbell et al. (2004), hewan homoiterm dapat melakukan aktivitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuhnya. Burung dan mamalia temasuk hewan homoiterm.

            Pelepasan panas dari tubuh hewan endoterm terjadi dengan beberapa cara, antara lain melepaskan panas ke lingkungannya melalui vasodilatasi pembuluh darah perifer, dan meningkatkan penguapan air melalui kulit (misalnya dengan berkeringat) atau melalui saluran pernapasan (dengan terengah-engah, misalnya pada anjing dan burung yang tidak mempunyai kelenjar keringat). Kanguru melakukannya dengan membasahi rambutnya dengan air ludah. Penguapan air ludah tersebut menimbulkan efek pendinginan (Bloom dan Fawcet, 2002). Menurut Anderson (1996), kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi suhu tubuh sehingga menyebabkan terjadinya variasi suhu tubuh antara lain umur, jenis kelamin, musim, aktivitas (latihan), iklim, waktu tidur, makan, minum.

Panas disingkirkan dari tubuh oleh radiasi dan konduksi (70%), evaporasi (27%), dan sejumlah kecil panas juga dibuang dalam urine (2%), dan feses (1%). Radiasi yaitu panas dibebaskan atau dikeluarkan dengan cara pemancaran. Perpindahan panas antara dua benda terjadi tanpa harus ada sentuhan. Contohnya perpindahan panas dari matahari ke tubuh hewan. Tubuh hewan selain dapat memancarkan panas juga dapat menyerap panas. Kulit, rambut, dan bulu merupakan penyerap radiasi yang baik. Kulit dan rambut yang berwarna gelap akan lebih banyak menyerap radiasi daripada kulit dan rambut yang berwarna terang. Konduksi adalah penghantaran panas yang terjadi karena bersentuhan dengan benda yang lebih rendah suhunya. Laju aliran panas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas permukaan benda yang saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara kedua benda, dan konduktivitas panas dari kedua benda tersebut (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah sapi yang terkena sinar matahari secara langsung.

Konduktivitas panas merupakan tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda. Setiap benda memiliki konduktivitas yang berbeda. Hewan memiliki konduktivitas panas yang rendah dengan kata lain merupakan penahan panas (isolator) yang baik. Contohnya lagi adalah juga rambut dan bulu. Karena hal inilah aves dan mamalia yang banyak memiliki bulu dan rambut hanya akan melepas sejumlah kecil panas dari tubuhnya ke benda lain yang bersentuhan dengannya (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah ketika sapi sedang tidur, maka kulitnya akan bersentuhan langsung dengan lantai.

Konveksi ialah gerakan molekul-molekul gas atau cairan dengan suhu tertentu ke tempat lain yang suhunya berbeda, membantu konduksi. Dalam hal ini panas dari tubuh hewan dapat berpindah ke lingkungan sekitar atau sebaliknya, panas dari lingkungan yang masuk ke tubuh hewan (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah pemberian blower atau ventilasai pada kandang ternak agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik.

Evaporasi merupakan proses perubahan benda dari fase cair ke fase gas. Dapat melalui penguapan lewat kulit dan saluran pernafasan dan dapat juga sebagian kecil pembebasan panas lewat feses dan urin. Evaporasi merupakan salah satu mekanisme penting pada hewan untuk menurunkan suhu / melepaskan panas dari tubuh. Contohnya saat tubuh panas, hewan akan menanggapi kenaikan suhu tersebut dengan berkeringat. Keringat yang keluar akan membasahi kulit dan menyerap kelebihan panas tersebut dan menjadi uap. Setelah keringat kering suhu tubuh akan turun. Hanya saja tidak semua hewan memiliki kelenjar keringat. Hewan yang tidak dapat berkeringat seperti anjing akan meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan mereka. Pada anjing akan terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya untuk mengurangi panas tubuh (Isnaeni, 2006).

Proses Pelepasan Panas

Tabel 2. Pengukuran suhu tubuh katak

Perlakuan Suhu Lingkungan Suhu Katak
Keadaan Biasa 32oC 31oC
Dalam Air Es 17oC 22oC
Dalam Air Panas 40oC 32oC

 

            Proses pelepasan panas pada katak. Hasil pengamatan suhu pada katak menunjukkan perbedaan suhu yang sangat signifikan. Katak dalam keadaan biasa, suhunya adalah 31oC, mendekati suhu lingkungan yaitu 32oC. Suhu tubuh katak menunjukkan angka 22oC ketika dimasukkan pada air yang bersuhu 17oC dan ketika dimasukkan pada air bersuhu 40oC suhu katak menunjukkan angka 32oC, ini membuktikan bahwa katak termasuk hewan poikiloterm dimana suhu lingkungan sedikit banyak mempengaruhi suhu tubuhnya. Menurut Suripto (1998), pada lingkungan yang dingin, katak akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu dengan menurunkan suhu tubuhnya, demikian pula pada keadaan panas maka katak akan meningkatkan suhu tubuhnya. Menurut Sumanto (1996), sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel organisme tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikiloterm di daerah dingin biasanya lebih rendah daripada enzim pada hewan homoiterm. Contohnya, suhu optimum pada manusia adalah 37oC, sedangkan pada katak 25oC.

            Menurut Sonjaya (2003), pada hewan poikilotermik darat, misalnya katak, keong dan serangga, suhu tubuhnya dapat lebih mendekati suhu udara lingkungan. Input radiasi panas dari matahari atau sumber lain mungkin meningkatkan suhu tubuh di atas suhu lingkungan, dan penguapan air melalui kulit dan organ-organ respiratori menekan suhu tubuh beberapa derajat di bawah suhu lingkungan. Hewan darat dapat memelihara keseimbangann tubuh dengan mengurangi penguapan dan kehilangan panas lewat konduksi dan memaksimalkan penambahan panas melalui radiasi dan panas metabolik.

            Menurut Soewolo (2000), adaptasi terhadap suhu yang panas pada hewan poikiloterm dilakukan dengan meningkatkan laju pendinginan dengan penguapan melalui kulit bagi hewan yang berkulit lembab (cacing dan katak) atau dengan cara berkeringat (untuk hewan yang mempunyai kelenjar keringat), melalui saluran pernafasan, bagi hewan yang kulitnya tebal dan kedap air (reptil dan insekta), mengubah mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada suhu tinggi (kadal dan reptil). Adaptasi terhadap suhu dingin dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi osmotik, titik beku cairan tubuh dapat diturunkan hingga dibawah 0oC. Zat terlarut  gula, seperti fruktosa atau derivatnya, dan gliserol (bermanfaat untuk melindungi membran dan enzim dari denaturasi akibat suhu yang sangat dingin, contoh : lalat dari Alaska, Rhabdophaga strobiloides, yang dapat bertahan hingga suhu -60oC), menghambat pembentukan kristal es di dalam sel untuk mencegah kerusakan membran. Dilakukan dengan cara menambahkan glikoprotein antibeku ke dalam tubuh. Glikoprotein adalah molekul polimer dari sejumlah monomer yang tersusun atas tripeptida yang terikat pada derivat galaktosamin.

Tabel 3. Proses pelepasan panas menggunakan kendi

Kendi Suhu (oC)
Awal I II III IV V VI
Bercat 64 61 58 52 50 50 49
Tidak Bercat 64 58 54 51 49 48 45

 

            Proses pelepasan panas pada kendi. Hasil dari pelepasan panas pada kendi menunjukkan bahwa suhu air dalam kendi yang bercat lebih konstan dibanding dengan kendi yang tanpa cat.  Kendi yang bercat, pori-pori kendinya tertutup oleh cat yang menyebabkan proses pelepasan panas menjadi lambat, sedangkan pada kendi yang tanpa cat proses pelepasan panasnya lebih cepat karena pori-pori kendi tidak tertutup. Menurut Martini (1998), semakin banyak pori-pori dalam luas kontak permukaan dan semakin tinggi perbedaan suhu amtara sistem dengan lingkungan, maka proses konveksi dan evaporasi semakin cepat.

 

Kesimpulan

 

Manusia memiliki suhu tubuh yang cenderung konstan meskipun suhu di lingkungan berubah-ubah, yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC, sehingga manusia disebut sebagai homoiterm, sedangkan katak memiliki suhu tubuh yang berubah-ubah sesuai dengan suhu di lingkungan sekitarnya, sehingga katak disebut poikiloterm. Proses pelepasan panas terdapat empat macam, yaitu radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi.

 

Daftar Pustaka

 

Anderson, Paul D. 1996. Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Bloom dan Fawcet. 2002. Bahan Ajar Histologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B Reece., L.G Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Martini. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology 4th ed. Prentice Hall International Inc. New Jersey.

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Sonjaya, H. 2013. Bahan Ajar Fisiologi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Sumanto. 1996. Fisiologi Hewan. UNS Press. Surakarta.

Suripta, Melvin J., and W.A Reece. 1998. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Cornell University Press. London.

Download Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara Theroregulasi

Laporan Praktikum Biokimia Dasar Acara Darah

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA DASAR

ACARA VII

DARAH

logo

Disusun oleh:

Kelompok XI

Diliarna Sitaresmi                PT/06439

Lintang Anggoro                  PT/06501

Eka Jumiasih                                    PT/06526

Nurus Sobah                                    PT/06587

Bastian Titus                         PT/06625

Asisten: Okti Widayati

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


 

ACARA VII

DARAH

Tujuan Praktikum

            Praktikum darah bertujuan untuk mengetahui globulin dalam serum darah dan karakteristiknya, mengetahui adanya albumin dalam serum darah dan karakteristiknya, mengetahui adanya senyawa senyawa bukan protein dalam darah, dan mengetahui adanya pigmen darah.

 

Tinjauan Pustaka

            Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan arau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma darah sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah. Sifat darah diantaranya memiliki tekanan osmotik sebesar 28mmHg, viskositas sebesar 1,7 pada suhu 37oC dan pH sebesar 7,0 sampai 7,8 (Pearce, 2006).

            Fungsi utama darah dalam sirkulasi adalah sebagai media transportasi, pengatur suhu tubuh, pemeliharaan keseimbangan cairan, serta keseimbangan basa eritrosit selama hidupnya tetap berada dalam tubuh. Sel darah merah mampu mengangkut secara efektif tanpa meninggalkan fungsinya di dalam jaringan serta keberadaannya dalam darah hanya melintas saja. Darah juga memiliki kepng darah atau biasa disebut trombosit yang berperan dalam proses penggumpalan darah (Hilman et al., 2005).

            Peristiwa penggumpalan darah oleh Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1901 dijadikan sebagai dasar adanya penggolongan darah dengan sistem ABO. Landsteiner menemukan bahwa eritrosit dari beberapa individu akan menggumpal apabila dicampur dengan serum darah dari individu lainnya namun kejadian ini terjadi pada semua orang. Mekanisme pembekuan darah ialah trombosit akan mengalami penggumpalan (aglutinasi) karena adanya jaringan yang mengalami kerusakan atau cedera. Trombosit yang mengalami penggumpalan disebut tromboplastin. Ion Ca yang terdapat dalm darah menyebabkan prokonvertin menjadi konvertin. Tromboplastin lalu bereaksi dengan konvertin dan ion Ca mengubah protrombin menjadi trombin namun hanya sedikit. Trombin akan berikatan dengan ion Ca lalu dengan adanya trombin maka accelarator globulin plasma dari inaktif menjadi accelarator serum aktif. Protrombin berubah menjadi trombin lalu mengaktifkan fibrinogen. Fibrinogen akan berubah menjadi benang-benang halus yang disebut fibrin (Campbell et al., 2006).

 

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, pipet tetes, pipet pump, pengaduk, corong, gelas ukur, dan kertas saring.

            Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah darah, darah oksalat, darah non fibrin (serum), larutan (NH4)2SO4 jenuh, aquades, larutan amonium sulfat, larutan asam asetat 2%, larutan khlorofenol merah, larutan HNO3 pekat, larutan AgNO3, larutan amonium molibdat, larutan kalium oksalat, larutan gliserol, padatan Na2CO3, larutan CuSO4 2,5%, dan larutan asam asetat glasial.

 

Metode

            Pengendapan globulin. Tabung reaksi diisi dengan 3 mL serum lalu ditambah 3 mL larutan (NH4)2SO4 jenuh. Tabung digojok lalu endapan disaring. Endapan dituangi sedikit air lalu digojok. Perubahan yang terjadi diamati lalu dicatat.

Pengendapan Albumin. Filtrat pada percobaan awal ditambah dengan larutan amonium sulfat lalu digojok. Endapan dipisah dengan kertas saring lalu ditambah dengan aquades selanjutnya digojok.ada atau tidaknya endapan tetap diamati dan dicatat.

Zat-zat Bukan Protein Dalam Serum Darah

            Deproteinasi serum darah. Tabung reaksi diisi dengan 5 mL darah dan 10 mL air lalu dididihkan. Larutan ditambah dengan asam asetat 2% setetes demi setetes sampai terjadi endapan. Endapan yang terbentuk disaring. Larutan diberikan khlorofenol merah lalu diasamkan. Larutan dididihkan bila perli hasilnya disaring.

            Uji khlorida. Filtrat pada percobaan awal ditambahkan dengan setetes HNO3 pekat dan beberapa tetes larutan AgNO3. Endapan akan larut kembali apabila ditambahkan dengan larutan NH4OH. Perubahan diamati.

            Uji kalsium. Filtrat pada percobaan awal ditambahkan  dengan kalium oksalat. Larutan dipanaskan setalah itu akan terbentuk endapan putih.

Uji fosfat. Sisa filtrat pada percobaan awal ditambahkan dengan amonium molibdat dan setetes HNO3 pekat. Larutan dipanaskan maka akan terbentuk endapan berwarna kuning. Perubahan diamati.

Uji glukosa. Sisa filtrat ditambahkan dengan 2 tetes gliserol dan sedikit Na2CO­3 bebas air dan larutan CuSO4 2,5%. Tabung dididihkan lalu perubahan yang terjadi diamati.

Pigmen Darah

            Uji benzidin. Satu tetes darah diencerkan dengan 10 mL air. Larutan sebanyak 1 mL diambil lalu ditambahkan dengan 1,5 mL larutan benzidin dan 0,5 mL larutan H2O2. Perubahan yang terjadi diamati.

 

 

Hasil dan Pembahasan

 

Pengendapan

            Pengendapan globulin. Pada percobaan kali ini dihasilkan warna larutan kuning keruh dan terdapat sedikit endaapan yang melayang. Larutan menjadi berwarna kuning dan mengendap akibat penambahan amonium sulfat. Penambahan garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat) ini bertujuan untuk mengikat air pada protein karena garam bersifat hidroskopis. Amonium sulfat jenuh yang ditambahkan dengan serum menyebabkan larutan campuran tersebut tidak jenuh lagi melainkan menjadi setengah jenuh. Globulin dapat diendapkan pada larutan setengah jenuh maka terbentuk endapan globulin. Menurut Sloane (2004), larutan globulin dapat diendapkan oleh penambahan garam amonium sulfat hingga setengah jenuh. Pada percobaan ini, protein albumin tidak ikut mengendap karena protein albumin mengendap pada larutan yang bersifat jenuh sehingga filtrat yang disaring endapannya masih mengandung protein albumin dan dapat digunakan pada percobaan pengendapan albumin. Endapan globulin yang telah disaring tadi ditambahkan aquades maka endapan protein globulin tersebut tidak larut (ditandai dengan larutan masih keruh) karena protein globulin sedikit atau tidak larut dalam air sehingga dalam larutan tersebut masih mengandung protein globulin.

            Pengendapan albumin. Pada percobaan ini, filtrat yang digunakan adalah filtrat dari percobaan globulin. Filtrat tersebut ditambahkan dengan (NH4)2SO­4 padat berlebih sehingga terdapat sedikit endapan yang melayang. Penambahan garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat) yang berlebih ini bertujuan untuk mengikat air pada protein karena garam bersifat hidroskopis sehingga protein albumin tersebut dapat mengendap karena protein albumin dapat mengendap pada amonium sulfat jenuh. Menurut Sloane (2004), albumin adalah protein yang dapat larut serta dapat terkoagulasi oleh panas dan dapat diendapkan dengan penambahan amonium sulfat hingga jenuh. Endapan tersebut disaring dan ditambahkan aquades lalu digojok tetapi dalam larutan tersebut masih terdapat sedikit endapan yang berwarna merah yang bukan merupakan endapan dari protein albumin. Endapan dari protein albumin sendiri sudah ikut larut dalam air (ditandai dengan larutan berwarna bening) karena protein albumin dapat larut dalam air.

Zat-zat Bukan Protein Dalam Serum Darah

            Deproteinasi serum darah. Percobaan deproteinasi serum darah bertujuan untuk menghilangkan protein dalam darah karena protein dalam darah merupakan protein terkonjugasi. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan aquades kemudian dididihkan, hal ini menyebabkan fungsi dari protein tersebut hilang karena ikatan hidrogen dalam protein tersebut lepas. Larutan tersebut ditambahkan setetes demi setetes asam asetat, larutan tersebut menjadi berwarna merah kejingga-jinggaan dan terdapat endapan. Endapan disaring. Filtratnya ditetesi indikator khlorofenol merah lalu diasamkan hingga pH 5,4 (warna indikator berubah menjadi kuning), penambahan asam ini mengakibatkan penambahan H+ sehingga antara muatan positif (+) dan negatif (-) pada protein tidak seimbang sehingga terjadi perubahan struktur yang menyebabkan terjadinya endapan protein. Filtrat dididihkan dan kemudian disaring, filtrat yang dihasilkan digunakan untuk percobaan selanjutnya. Meurut Bastiansya (2008), konformasi molekul protein dapat berubah karena pengaruh suhu, pH atau karena terjadinya suatu reaksi dengan senyawa lain atau ion-ion logam dan peristiwa ini sering disebut deproteinasi.

            Uji khlorida. Percobaan khlorida warna larutan berubah dari putih bening menjadi putih keruh dan terdapat endapan putih disebabkan oleh AgNO3 yang ditambahklan mengikat Cl yang terdapat pada serum darah dan bentuk endapan yang berwarna putih. Endapan dari reaksi tersebut adalah endapan AgCl (berwarna putih). Endapan ditambahkan dengan NH4OH, maka endapan tersebut akan kembali larut disebabkan ion Cl lebih memilih berikatan dengan NH4 karena NH4 lebih reaktif (lebih kiri) dibandingkan dengan Ag, sehingga terjadi reaksi sebagai berikut :

NH4OH + AgCl è NH4Cl + AgOH

Plasma darah tersusun atas salah satunya adalah elektrolit. Klorida merupakan elektrolit bermuatan negatif, banyak terdapat pada cairan ekstraseluler (diluar sel), berperan penting dalam keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam-basa dalamtubuh. Klorida di angkut di dalam darah dan limfe akibat kerja jantung dan otot rangka (Gandasoebrata, 2007).

            Uji fosfat. Percobaan uji fosfat kali ini bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa fosfat dalam darah. Filtrat ditambahkan beberapa tetes amonium molibdat dan 1 tetes HNO3 pekat kemudian dipanaskan, larutan berubah menjadi terdapat endapan warna kuning. Adanya endapan warna kuning ini menunjukkan bahwa dalam filtrat tersebut terdapat senyawa fosfat dan endapan tersebut merupakan endapan ammonium fosfomolibdat. Reaksi yang terjadi pada uji kali ini adalah :

Filtrat + HNO3 dan ammonium molibdat è endapan amonium fosfomolibdat (warna kuning)

            Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 85% fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut. Hidroksipatit memberi kekuatan dan kekakuan pada tulang. Fosfor di dalam tulang berada dalam perbandingan 1:2 dengan kalsium. Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel tubuh, separuhnya di dalam otot dan di dalam cairan ekstraseluler (Muchtadi, 2008).

            Uji kalsium. Percobaan kali ini setelah filtrat ditambahkan beberapa tetes larutan kalium oksalat, larutan yang awalnya berwarna kuning berubah menjadi kuning keruh. Perubahan menjadi keruh ini menunjukkan bahwa dalam larutan tersebut terdapat endapan, hal ini terjadi karena filtrat + kalium oksalat è Ca-oksalat + KCl. Reaksi tersebut terjadi karena ion Ca memiliki muatan positif (+2) lebih tinggi dibandingkan ion K (+1). Menurut Bastiansyah (2008), sedikit banyaknya kalsium  dalam darah dapat dilihat dari tingkat kekeruhan larutan setelah ditetesi kalium oksalat. Tingkat kekeruhan tinggi maka menunjukkan kalsium dalam darah banyak, demikian juga sebaliknya. Endapan yang terbentuk tersebut merupakan endapan kalsium oksalat yang merupakan hasil reaksi dari kalium oksalat dengan kalsium yang terdapat dalam darah. Menurut Mustafa et al. (2011), kondisi kadar kalsium darah yang optimum akan menunjang deposisi kalsium ke dalam tulang, sebaliknya, turunnya kadar ion kalsium plasma di bawah batas normal akan memacu kelenjar paratiroid untuk meningkatkan sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid memulihkan konsentrasi kalsium cairan ekstrasel menjadi normal dengan bekerja langsung pada tulang dan ginjal, dan bekerja tidak langsung pada mukosa usus melalui perangsangan sistem kalsitriol.

            Uji glukosa. Percobaan ini, setelah filtrat ditambahkan gliserol, serbuk Na2CO3 bebas air dan larutan CuSO4 2,5% larutan berubah menjadi berwarna merah muda keunguan. Penambahan larutan CuSO4 2,5%  yang nantinya akan direduksi oleh gluksa menjadi Cu2O yang berwarna merah bata. Fungsi dari penambahan gliserol selain sebagai pemecah lemak juga untuk menaikkan titik didih karena gliserol merupakan senyawa non polar sehingga memiliki titik didih tinggi. Larutan tersebut dididihkan selama beberapa menit hingga warna dari larutan tersebut berubah menjadi kecoklatan dan ada endapan putih di dasar. Hal ini membuktikan bahwa dalam filtrat tersebut mengandung glukosa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan glukosa darah adalah kandungan serat dalam makanan, proses pencernaan, cara pemasakannya, ada atau tidaknya zat anti terhadap penyerapan makanan sebagai zat anti nutrien, perbedaan interprandial, waktu makan dengan lambat atau cepat, pengaruhnya intoleransi glukosa dan pekat tidaknya makanan (Witasari et al., 2009).

 

Pigmen Darah

            Uji benzidin. Percobaan kali ini, 1 ml darah diencerkan dengan 4 ml aquades, kemudian dari pengenceran tersebut diambil 1 ml. Setelah itu ditambahkan 1,5 ml benzidin dan 0,5 ml H2O2 3 % maka terjadi perubahan warna dari coklat menjadi biru tua. Warna biru tua terbentuk karena adanya Hb dalam darah yang mendekomposisi H2O2 menjadi 2H2O dan O2. O2 yang bebas akan mengoksidasi benzidin menjadi derivatnya yang berwarna biru (benzidin blue), dalam hal ini bisa dikatakan bahwa O2 bertindak sebagai oksidator dan benzidin bertindak sebagai reduktor. Dikutip oleh Munawaroh (2009) cit. Junquera (1997), hemoglobin (Hb) merupakan salah satu komponen penyusun darah dan merupakan suatu derivat porfirin yang mengandung besi serta berfungsi dalam hal pengikatan dan pengangkutan O2. Hb berfungsi membawa CO2 dari jaringan tubuh, dengan aktifitas ini, maka Hb juga membantu terciptanya keseimbangan asam basa dalam darah.

 

 

Kesimpulan

 

Protein yang terdapat di dalam plasma darah adalah fibrinogen, albumin dan gobulin. Protein fibrinogen berperan dalam proses pembentukan darah, sedangkan protein albumin dan globulin berfungsi sebagai penentu besarnya tekanan osmosis. Zat bukan protein yang terdapat dalam serum darah adalah klorida, fosfat, kalsium dan glukosa. Pigmen yang terdapat dalam darah adalah piqmen merah eritrosit yaitu protein terkonjugasi hemoglobin yang dapat mengikat oksigen dalam darah.

 

 

Daftar Pustaka

 

Bastiansyah, Eko. 2008.  Panduan Lengkap Membaca Hasil Tes Kesehatan. Penebar Plus. Jakarta.

Bloom, and Fawcatt. 2002. Buku Ajar Histologi Edisi 32. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B. Reece., M.R. Taylor., and E.J. Simon. 2006. Biology. Concepts and Connection, Fifth Edition. Pearson Education, Inc. Benjamin Cummins, San Fransisco.

Gandasoebrata, R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta.

Hilman, R.S., Ault K.A., and Rinder H.M. 2005. Hematology in Clinical Practice 4th ed. The Washington Manual Hematology. New York.

Junquera, L Carlos. 1997. Histologi Dasar. Buku kedokteran EGC. Jakarta.

Muchtadi, Deddy. 2008. Pengantar Ilmu Gizi. Alfabeta. Bandung.

Munawaroh, Siti. 2009. Pengaruh Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa) Terhadap Peningkatan Jumlah Eritrosit Dan Kadar Hemoglobin (Hb) Dalam Darah Tikus Putih (Rattus nurvegicus) Anemia. Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Mustafa, S., Nurhidayat., K. Sigit., B.P. Priosoeryanto., W. Manalu. 2011. Kualitas Tulang Tikus Betina Normal Yang Diberi Ekstrak Sipatah-patah Pada Masa Pertumbuhan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Darussalam Banda Aceh.

Pearce C.E. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedic. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Witasari, Ucik., S. Rahmawaty., S. Zulaekah. 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Asupan Karbohidrat Dan Serat Dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Ilmu Kesehatan Univeritas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Download Laporan Praktikum Biokimia Dasar Acara Darah

Laporan Praktikum Biokimia Dasar Acara Susu

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA DASAR

ACARA VIII

SUSU

logo

 Disusun oleh:

Kelompok XI

Diliarna Sitaresmi                PT/06439

Lintang Anggoro                  PT/06501

Eka Jumiasih                                    PT/06526

Nurus Sobah                                    PT/06587

Asisten: Okti Widayati

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

 


ACARA VIII

SUSU

 

Tujuan Praktikum

            Praktikum susu bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak pada susu yaitu kasein, mengetahui adanya ikatan peptida pada protein susu, mengetahui adanya asam amino tripthophan, mengetahui adanya asam amino tirosin, mengetahui adanya asam amino aromatik, mengetahui adanya kalsium dan phospor, dan mengetahui adanya lemak pada susu.

Tinjauan Pustaka

            Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar susu atau mamae baik dari binatang maupun dari buah dada seorang ibu. Air susu dari seorang ibu dikenal dengan ASI, sedangkan susu hewan atau susu tiruan sebagai pengganti susu ibu atau PASI. PASI pada umumnya adalah air susu dari berbagai binatang ternak, misalnya sapi, kerbau, kambing dan ada pula yang mempergunakan air susu unta atau kuda (Sadiaoetama, 2006).

            Susu mempunyai sifat lebih mudah rusak dibandingkan dengan hasil ternak lainnya sehingga penanganan susu harus tepat dan cepat. Pengolahan susu secara sederhana merupakan salah satu penanganan lepas panen yang perlu dikembangkan. Penganekaragaman produk olahan susu sebagai usaha untuk menambah nilai produksi susu. Produk susu secara olahan banyak dikembangkan diantaranya susu pasteurisasi dan yoghurt (Saleh, 2004).

Tabel 1. Komposisi zat-zat nutrisi susu sapi segar

Komposisi Nutrisi

Presentase (%)
Air 87,7
Bahan kering 12,3
Bahan Kering Tanpa Lemak 8,6
Lemak 3,4
Protein 3,2
Laktosa 4,6
Mineral 0,8

            Susu memiliki beberapa manfaat penting diantaranya, mencegah osteoporosis dan menjaga tulang tetap kuat. Manfaat bagi anak-anak sebagai pertumbuhan tulang yang membuat anak bertambah tinggi. Menurunkan tekanan darah dan mencegah kerusakan gigi serta menjaga kesehatan mulut. Mempercantik kulit, membuat kulit lebih bersinar dan membantu agar lebih ce[at tidur dikarenakan kandungan susu akan merangsang hormon melatonin yang akan membuat tubuh mengantuk (Winarno, 2004).

Tabel 2. Standar mutu susu segar

Karakteristik

Satuan

Syarat

Berat jenis (pada suhu 27,50C) minimum g/ml 1,0270
Kadar lemak minimum % 3,0
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8
Kadar protein minimum % 2,8
Warna, bau, rasa dan kekentalan Tidak ada perubahan
Derajat asam oSH 6,0 – 7,5
pH 6,3 – 6,8
Uji alkohol (70%) v/v Negatif
Cemaran mikroba maksimum :
Total Plate Count CFU/ml 1 x 106
Staphylococcus aereus CFU/ml 1 x 102
Enterobacteriaseae CFU/ml 1 x 103
Jumlah sel somatis maksimum sel/ml 4 x 105
Residu antibiotika (Golongan penisilin, Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) Negatif
Uji pemalsuan Negatif
Titik beku oC -0,520 s.d -0,560
Uji peroxidase Positif
Cemaran logam berat, maksimum :
Timbal (Pb) µg/ml 0,02
Merkuri (Hg) µg/ml 0,03
Arsen (As) µg/ml 0,1

(Standar Nasional Indonesia, 2011)


Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain tabung reaksi, pipet tetes, pipet ukur, pengaduk, corong, gelas ukur, kertas saring, kertas pH meter, bunsen, mikroskop, pump, droplet, kaca objek, gelas beker, penangas air, kertas minyak, rak tabung reaksi.

            Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain susu segar, susu basi, larutan asam asetat 2%, larutan NH4OH, larutan kalium oksalat, larutan NaOH 40%, larutan CuSO4 0,1%, larutan H2SO4 pekat, larutan HgSO4 1%, larutan NaNO2, larutan HNO3 pekat, larutan NH4OH, reagen benedict, larutan asam asetat glasial, larutan fenilhidrazin, larutan amonium molibdat, larutan ether, larutan asam asetat encer, Na-asetat.

 

Metode

Melihat Butir-butir Lemak

            Air susu diteteskan diatas gelas objek. Dibawah mikroskop, butir-butir lemak diamati lalu digambar.

Pengukuran pH

            pH air susu segar diukur dengan kertas pH meter. Larutan dibiarkan setelah itu pH ditera.

Penggumpalan Kasein

Larutan asam asetat 2% ditambahkan beberapa tetes ke dalam susu encer hingga terjadi penggumpalan. Gumpalan dipisahkan dengan filtratnya.

Uji Sifat-sifat Kasein

Uji buret. Gumpalan dari percobaan penggumpalan kasein (P.3) ditambahkan 2ml NaOH 40% dan 3 sampai 4 tetes CuSO4 0,1%. Dicampur dan diamati warnanya.

Uji hopskincole.      Gumpalan P.3 ditambahkan 1,5 ml larutan formaldehid encer dan 1,5 ml H2SO4 pekat, digojog dan diamati warnanya.

Uji millon. Gumpalan P.3 ditambahkan 1 ml larutan HgSO4 1% lalu dipanaskan selama 10 menit dan didinginkan. Ditambahkan sedikit NaNO3 kristal lalu dipanaskan 10 menit.

Uji xanthoprotein. Gumpalan P.3 ditambahkan 1 ml HNO3 pekat lalu dipanaskan dan dinginkan. Larutan dibagi menjadi 2 dan ditambahkan beberapa tetes NH3.

Uji Terhadap Sifat-sifat Kasein

Preparasi. Filtrat dari uji penggumpalan kasein (P.3) dipanaskan lalu disaring dan dibagi menjadi 2.

Uji daya mereduksi (uji benedict). Filtrat hasil preparasi diambil 1 ml dan ditambahkan 1 ml reaktan benedict lalu dipanaskan. Terjadinya endapan diamati.

Uji osazon. Filtrat hasil preparasi diambil 5 ml dan ditambahkan 10 tetes asam asetat glasial dan sedikit fenilhidrazin padat dan Na-asetat dengan perbandingan 1:2 (1 sendok fenilhidrazin padat berarti 2 sendok Na-asetat) lalu disaring dan dipanaskan dan disaring kembali. Larutan hasil penyaringan dipanaskan dalam air mendidih selama 20 menit dan diamati dengan mikroskop.

Uji kalsium dan phospor. Filtrat P.3 ditambahkan 3 sampai 4 tetes NH4OH dan dipanaskan lalu disaring. Hasil endapan ditambahkan 2 ml asam asetat encer lalu disaring dan filtratnya (F.5d) dibagi menjadi 2.

            Filtrat F.5d diambil 2 ml ditambahkan 3 tetes kalium oxalat lalu diamati endapan yang ada (endapan berwarna kuning).

            Filtrat F.5d diambil 2 ml ditambahkan 1 tetes HNO3 pekat dan 3 tetes amonium molibdat lalu dipanaskan hingga terdapat endapan berwarna putih.

Uji noda lemak. Gumpalan P.3 ditambahkan 3 sampai 4 tetes eter lalu diteteskan dalam droplet dan diusap dengan kertas minya. Noda pada kertas diamati.

Hasil dan Pembahasan

 

Melihat Butiran Lemak

            Praktikum melihat butiran lemak bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya lemak pada susu. Hasil yang diperoleh dari pengamatan menggunakan mikroskop menunjukkan adanya kandungan lemak dalam susu yang ditandai dengan adanya tumpukan lemak yang berwarna gelap. Menurut Saleh (2004), besar kecilnya butir lemak ditentukan oleh kadar air yang ada didalamnya. Makin banyak air maka makin besar globuler dan keadaan ini dikhawatirkan akan menjadi pecah. Bila globuler pecah maka air susu disebut pecah. Air susu yang pecah tidak dapat dipisahkan lagi krimnya, dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan makanan. Globuler air susu mudah menyerap bau dari sekitarnya, oleh karena itu jangan simpan air susu pada tempat yang berbau. Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan mikroskop diperoleh hasil seperti gambar di bawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar. Noda Lemak Hasil Pengamatan
Gambar. Noda Lemak (Anonim, 2007)

 

 

 

 

Pengukuran Kadar pH

            Praktikum pengukuran kadar pH bertujuan untuk mengetahui pH dari susu segar dan susu basi. Hasil yang diperoleh dari pengukuran pH setelah susu segar dan susu basi diletakkan dalam droplet dan diuji kadar pHnya dengan kertas indikator pH menunjukkan bahwa pH susu segar adalah 7 dan pH susu basi juga 7. Hal ini bisa disebabkan karena kemungkinan susu basi tersebut masih belum benar-benar basi sehingga kadar pH dari susu basi tersebut masih termasuk dalam kategori normal. Menurut Saleh (2004), susu segar mempunyai sifat ampoter, artinya dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka warnanya akan menjadi merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah warnanya akan berubah menjadi biru. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar terletak antara 6.5 sampai 6.7. Jika dititrasi dengan alkali dan kataliasator penolptalin, total asam dalam susu diketahui hanya 0.10 sampai 0.26 % saja. Sebagian besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa pospat komplek, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri.

Penggumpalan Kasein

            Uji penggumpalan kasein dilakukan dengan menambahkan setetes demi setetes asam asetat 2% pada 10ml susu sampai menggumpal yang disebut dengan kasien yang mengalami denaturasi. Gumpalan pada larutan tersebut disaring untuk selanjutnya digunakan pada uji biuret, uji hopskincole, uji milon dan uji noda lemak, sedangkan filtratnya digunakan untuk uji kalsium dan phospor dan sebagai preparasi untuk uji benedict dan uji osazon. Menurut Anggraeni et al. (2013), susu mengandung protein berupa kasein yang dapat mengalami penggumpalan. Penggumpalan susu dalam proses pembuatan tahu susu dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan asam, enzim proteolitik, dan alkohol serta dapat dipercepat dengan pemanasan. Faktor yang mempengaruhi suatu mutu tahu susu adalah pemberian penggumpal. Penggumpal yang biasa digunakan adalah penggumpal kimia antara lain kalsium / magnesium-klorida, kalsium sulfat, glukano-D-laktone, dan penggumpal asam (asam laktat, asam asetat).

Sifat-sifat Kasein (Uji Reaksi Protein)

Uji biuret. Praktikum uji biuret bertujuan untuk mengetahui adanya ikatan peptida pada protein susu. Gumpalan hasil percobaan penggumpalan kasein  ketika ditambahkan NaOH dan CuSO4 menunjukkan adanya cincin ungu pada larutan tersebut. Warna ungu tersebut adalah CuN, yang merupakan reaksi antara Cu dari CuSO4 dengan N yang dilepaskan dari ikatan peptida pada protein dengan bantuan basa kuat (NaOH). Menurut Lehninger (1995), ikatan peptida dan asam amino ketika direaksikan akan membentuk kromofor (senyawa berwarna). Ikatan antara asam amino dengan ikatan peptida adalah struktur paling sederhana (struktur primer). Struktur sekunder yaitu ikatan antara ikatan peptida dengan ikatan hidrogen sehingga membentuk α-helix dan β-helix. Sekumpulan dari struktur sekunder membentuk struktur tersier ikatan peptida. Struktur kuartener dibentuk dari ikatan antar polipeptida.

Uji hopskin-cole. Praktikum hopskin-cole bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino triptophan pada susu. Hasil dari gumpalan kasien yang ditambahkan larutan formaldehid encer dan  H2SO4 pekat dan digojog menunjukkan adanya cincin ungu. Hasil positif pada percobaan hopskin-cole dalam larutan terdapat cincin ungu. Terbentuknya cincin ungu ini karena adanya ikatan gugus indol dari asam amino triptophan dan gugus aldehid dari larutan formaldehid. Penambahan H2SO4 pekat bertujuan untuk melepaskan ikatan indol dari kasein. Adanya cincin ungu membuktikan bahwa di dalam protein terdapat asam amino triptophan. Menurut Hart et al. (2003), setelah dicampur dengan pereaksi Hopkins-Cole, asam sulfat dituangkan perlahan-lahan sehingga membentuk lapisan di bawah larutan protein. Beberapa saat kemudian akan terjadi cincin ungu pada batas antara kedua lapisan tersebut.

Uji Milon. Uji milon bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino tirosin pada susu. Gumpalan kasein ketika ditambahkan 1ml larutan HgSO4 1% dan dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan maka akan terbentuk endapan putih yang dihasilkan dari reaksi antara Hg dengan asam amino tirosin pada albumin. Ditambahkan sedikit NaNO3 kristal kemudian dipanaskan kembali selama 10 menit, akan terbentuk endapan merah.Endapan merah yang dihasilkan berasal dari pencampuran HgSO4 dengan NaNO3 menjadi HgNO3. Hal ini sesuai dengan pendapat Jalip (2008), apabila pereaksi ini ditambahkan pada larutan protein, akan menghasilkan endapan putih yang dapat berubah menjadi merah oleh pemanasan. Pada dasarnya reaksi ini positif untuk fenol-fenol, karena terbentuknya senyawa merkuri dengan gugus hidroksifenil yang berwarna. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada larutan terdapat asam amino tirosin.

            Uji xanthoprotein. Praktikum uji xanthoprotein bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino aromatik (tripthopan, tirosin dan fenilalanin) pada susu. Hasil yang diperoleh dari gumpalan kasein yang ditambahkan dengan HNO3 pekat, dipanaskan dan didinginkan menunjukkan adanya endapan berwarna kuning dan setelah itu penambahan NH4OH menyebabkan endapan pada larutan tersebut semakin keruh dan kuning keoranyenan. Endapan ini mengindikasikan bahwa di dalam susu tersebut terdapat asam amino tirosin, tripthopan dan fenilalanin. Susu mengandung senyawa N yang jika direaksikan dengan HNO3 pekat akan menghasilkan ikatan N yang lebih banyak yang ditandai denagn warna kuning, kemudian setelah ditambhakan dengan NH4OH ikatan yang dihasilkan semakin lebih banyak, sehingga warna dari larutantersebut semakin berwarna kuning keoranyenan. Menurut Sumirdjo (2008), warna kuning terbentuk karena asam amino dari tirosin, triptofan dan fenilalanin memiliki inti benzena yang jika ditambahkan dengan larutan HNO3 pekat akan membentuk warna kuning, tetapi warna kuning ini akan berubah menjadi warna orange jika diberi penambahan larutan basa.

Pengujian terhadap Sifat-sifat Filtrat

            Preparasi. Filtrat dari hasil uji penggumpalan kasein dipanaskan hingga terdapat endapan putih di dasar larutan tersebut. Larutan yang telah dipanaskan tersebut disaring dan filtrat dari larutan tersebut dibagi menjadi dua sama banyak yang akan digunakan untuk uji benedict dan uji osazon. Pemanasan ini bertujuan untuk menggumpalkan protein sehingga pada filtrat sudah tidak ada lagi kandungan proteinnya. Selain itu pemanasan juga akan menghidrolisis senyawa yang terkandung dalam filtrat menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga pengujian selanjutnya lebih mudah untuk dilakukan.

Uji benedict. Praktikum uji benedict ini bertujuan untuk mengetahui adanya gugus pereduksi dalam laktosa. Sebanyak 1 ml filtrat hasil preparasi ditambahkan dengan reagen benedict dan dipanaskan sehingga larutan tersebut dari warna biru berubah menjadi terdapat endapan berwarna merah bata di dasar larutan. Pemanasan dilakukan bertujuan untuk mempercepat reaksi pelepasan gugus reduksi yang ada di dalam glukosa susu atau laktosa. Hasil yang didapat pada percobaan ini adalah adanya endapan merah bata. Gugus reduksi yang sudah terlepas dari laktosa mampu mereduksi larutan Benedict (CuSO4) menjadi senyawa Cu2O yang berwarna merah bata. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Sudarmadji (2003), bahwa Gula reduksi dengan larutan Benedict (campuran garam kuprisulfat, Natrium sitrat, Natrium karbonat) akan terjadi reaksi reduksi-oksidasi dan dihasilkan endapan berwarna merah bata dari senyawa Cu2O.

Uji osazon. Uji osazon bertujuan untuk mengetahui adanya uji fisik karbohidrat yang ada didalam susu atau laktosa. Sisa filtrat hasil preparasi ditambah dengan lima tetes asam asetat glasial dan sedikit fenilhidrazin padat serta Na Asetat dengan perbandingan 1:2 lalu dipanaskan dan kemudian disaring. Pemanasan ini bertujuan untuk melepaskan gugus aldehid atau keton bebas dari senyawa karbohidrat yang ada di dalam filtrat. Penyaringan dilakukan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat yang mengandung gugus aldehid atau keton dengan gumpalan yang berisi senyawa yang tidak diperlukan. Tahapan berikutnya adalah adanya pemanasan kembali selama 30 menit. Pemanasan kedua bertujuan untuk mempercepat reaksi antara gugus aldehid atau keton yang ada di dalam laktosa dengan fenilhidrzin sehingga terbentuk osazon. Senyawa osazon yang terbentuk diamati melalui mikroskop. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat McGilvery (1996), bahwa semua karbohidrat yang mempunyai gugus aldehid atau keton bebas akan membentuk osazon bila dipanaskan bersama fenilhidrazina berlebih. Osazon yang terjadi mempunyai bentuk kristal yang khas dan titik lebur yang berbeda bagi masing-masing karbohidrat.

 

 

 

 

 

 

Gambar. Osazon (Anonim, 2007)
Gambar. Laktosazon hasil pengamatan.

 

 

 

Uji kalsium dan phospor. Uji kalsium dan phospor bertujuan untuk mengetahui adanya kalsium dan phospor di dalam susu. Filtrat pada percobaan tiga ditambahkan dengan 3 sampai 4 tetes NH4OH kemudian dipanaskan selanjutnya disaring. Penambahan NH4OH yang dilakukan bertujuan untuk melepaskan kalsium dan phospor dari dalam campuran filtrat.  Hasil endapan yang berupa camuran kalsium dan phospor ditambahkan dengan 2 mL asam asetat encer lalu disaring dan didapat filtrat. Penambahan asam asetat bertujuan untuk melarutkan endapan sehingga menjadi filtrat. Filtrat dibagi menjadi kedalam dua tabung. Filtrat pada tabung pertama ditambahkan dengan tiga tetes kalium oksalat. Hasil yang didapat adalah terbentuknya endapan kalsium oksalat yang berwarna putih keruh. Endapan terjadi dikarenakan kalsium memilki muatan lebih besar dari kalium sehingga oksalat lebih mudah bereaksi dengan kalsium dan melepaskan ikatannya dengan kalium. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Hasim dan E. Martindah (2008), absorbsi kalsium dihambat oleh lemak, oksalat, fosfat dan filtrat yang membentuk kompleks dengan kalsium di ruang usus.

Ca2+ + Kalium oksalat              Ca-oksalat + K1+

(Hasim dan E. Martindah, 2008).

 Filtrat pada tabung kedua ditambahkan dengan 1 tetes HNO3 pekat dan 3 tetes amonium molibdat kemudian dipanaskan hingga terbentuk endapan. Penambahan HNO3 bertujuan untuk melepaskan phospat yang ada di dalam filtrat. Hasil yang didapat adalah adanya endapan amonium phospomolibdat yang berwarna kuning. Endapan berwarna kuning dikarenakan adanya phospor di dalam filtrat. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Jalip (2008), bahwa phospor akan membentuk endapan dengan penambahan senyawa amonium phospomolibdat.

Amonium molibdat + Phospor                        Amonium phospomolibdat

Uji noda lemak. Uji noda lemak bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan lemak di dalam susu. Gumpalan kasein diletakkan dalam droplet kemudian ditambah dengan 3 sampai 4 tetes eter lalu diusapkan dengan kertas minyak. Penambahan eter bertujuan untuk melarutkan lemak yang ada di dalam gumpalan. Hasil yang didapat kertas minyak yang telah diusapkan pada droplet menjadi lebih transparan dibandingkan dengan sebelumnya dikarenakan adanya lemak yang terkandung di dalam gumpalan kasein. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Jalip (2008), bahwa eter merupakan pelarut lemak. Sifat eter yang melarutkan lemak menyebabkan kertas minyak menjadi lebih transparan.


Kesimpulan

 

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam susu terdapat lemak yang berupa kasein, protein, karbohidrat, kalsium, dan fosfor. Protein yang terdapat dalam susu adalah asam amino aromatik, asam amino triptophan, dan asam amino tirosin. Susu segar memiliki pH yang cenderung normal, sedangkan pada susu yang sudah basi memiliki pH yang cenderung asam karena laktosa difermentasi.


Daftar Pustaka

 

Anonim. 2007. Penuntun Praktikum Biokimia. Universitas Muslim Indonesia. Makasar.

Anggraini, R.P., Agustinus, H.D.R., dan R. Singgih, S.S. 2013. Pengaruh Level Enzim Bromelin Dari Nanas Masak Dalam Pembuatan Susu Terhadap Rendemen dan Kekenyalan Tahu Susu. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto.

Hart, H., Craine, L.E., dan Hart, D.J. 2003. Kimia Organik. Erlangga. Jakarta.

Hasim., E. Martindah. 2008. Perbandingan Susu Sapi Dengan Susu Kedelai : Tinjauan Kandungan dan Biokimia Absorbsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jalip, I.S. 2008. Penuntun Praktikum Kimia Organik. Laboratorium Kimia, Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

Lehninger, A.H. 1995. Dasar-dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta.

McGilvery, Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3. Airlangga University Press. Surabaya.

Sakinah, N.E., Dwiyanti, G., Darsati, S. 2010. Pengaruh Penambahan Asam Dokosaheksaenoat (DHA) Terhadap Ketahanan Susu Pasteurisasi. Volume 1 no. 2. Pendidikan Kimia FPKIMIA, UPI. Bandung.

Saleh, Eniza. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. USU Digital Library. Medan.

Sediaoetama, D.A. 2006. Ilmu Gizi Jilid I. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2011. Susu Segar – Bagian 1 : Sapi. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Sudarmadji, S. 2003. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.

Sumirdjo, D. 2008. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Download Laporan Biokimia Dasar Acara Susu