Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara Thermoregulasi

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TERNAK

ACARA V

THERMOREGULASI

 logo

Disusun oleh:

Kelompok XVI

Winda Oryza P.S                 PT/06481

Amir Latif                               PT/06534

Ray Rezky A                         PT/06548

Rahmat Noor Insan             PT/06563

Nurus Sobah                                    PT/06587

Sarah Silfani                                    PT/06600

Abdul Jafar A                        PT/06611

Asisten: Feby Nilasari

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


ACARA V

THERMOREGULASI

 

Tinjauan Pustaka

            Metabolisme sangat sensitif terhadap perubahan suhu lingkungan internal seekor hewan, seperti laju respirasi seluler meningkat seiring peningkatan suhu sampai titik tertentu dan kemudian menurun ketika suhu itu sudah cukup tinggi sehingga mulai mendenaturasi enzim. Sifat-sifat membran juga berubah seiring dengan perubahan suhu. Meskipun spesies hewan yang berbeda telah diadaptasikan terhadap kisaran suhu yang berbeda-beda, setiap hewan mempunyai kisaran suhu optimum. Banyak hewan dapat mempertahankan suhu internal yang konstan meskipun suhu eksternalnya berfluktuasi. Thermoregulasi adalah pemeliharaan suhu tubuh di dalam suatu kisaran yang membuat sel-sel mampu berfungsi secara efisien (Campbell et al., 2004).

            Thermoregulasi merupakan suatu proses homeostatis untuk menjaga agar suhu tubuh suatu hewan tetap dalam keadaan stabil dengan cara mengatur dan mengontrol keseimbangan antara banyak energi (panas) yang diproduksi dengan energi yang dilepaskan. Thermogenesis yang terdapat pada hewan diperoleh dari hewan sendiri atau dari absorbsi panas lingkungan (Suripto, 1998). Hewan diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara hewan homoiterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan atau tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah (Isnaeni, 2006).

Hewan poikiloterm juga dapat disebut sebagai hewan ekoterm karena suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternalnya. Sementara homoiterm dapat disebut endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi dalam tubuh, tetapi kadang kita dapat menemukan beberapa kekecualian, misalnya pada insekta. Insekta dikelompokkan sebagai hewan ekoterm, tetapi ternyata ada beberapa insekta, misalnya lalat, yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot (Isnaeni, 2006).

            Hewan mengalami pertukaran panas dengan lingkungan sekitarnya, atau dapat dikatakan berinteraksi panas. Interaksi tersebut dapat menguntungkan ataupun merugikan. Hewan ternyata dapat memperoleh manfaat yang besar dari peristiwa pertukaran panas ini. Interaksi panas tersebut ternyata dimanfaatkan oleh hewan sebagai cara untuk mengatur suhu tubuh mereka, yaitu untuk meningkatkan dan menurunkan pelepasan panas dari tubuh, atau sebaliknya untuk memperoleh panas. Interaksi atau pertukaran panas antara hewan dan lingkungannya dapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Bloom dan Fawcet, 2002).

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum thermoregulasi adalah termometer, penjepit katak, arloji (stopwatch), kapas, kendi, dan beaker glass.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum thermoregulasi adalah katak, air panas, air es, dan probandus (manusia).

 

Metode

Pengukuran Suhu Tubuh

            Pengukuran pada mulut. Skala pada termometer diturunkan sampai 0oC, ujung termometer dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam mulut diletakkan di bawah lidah dan mulut ditutup rapat. Setelah 5 menit skala dibaca dan dicatat. Cara tersebut dilakukan juga pada mulut yang terbuka. Probandus berkumur dengan air es selama 1 menit dan dengan cara yang sama pula dilakukan pengukuran seperti di atas.

Pengukuran axillaris. Skala pada termometer diturunkan sampai 0oC, ujung termometer disisipkan pada fasa axillaris dengan pangkal lengan dihimpitkan. Tunggu 5 menit ,skala dibaca dan dicatat.

Proses Pelepasan Panas

            Proses pelepasan panas pada katak. Katak ditelentangkan pada papan dan diikat. Suhu tubuh katak diukur melalui oesophagus selama 5 menit. Katak dimasukkan ke dalam air es selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya melalui oesophagus. Katak dimasukkan ke dalam air panas 40oC selama 5 menit dan diukur suhu tubuhnya.

Proses pelepasan panas pada kendi. Disediakan dua kendi, yang satu dicat dan yang satunya tidak. Masing-masing diisi dengan air panas 70oC dengan jumlah yang sama lalu diukur suhunya dengan termometer setiap 5 menit sebanyak 6 kali.

 

Hasil dan Pembahasan

 

Pengukuran Suhu Tubuh

Tabel 1. Probandus

Nama Umur Jenis Kelamin
Winda Oryza P.S 19 tahun Perempuan
Aswin R.P 19 tahun Laki-laki

 

Tabel 2. Pengukuran suhu pada mulut dan axillaris

Perlakuan Probandus I Probandus II
Mulut Tertutup 37,5oC 38oC
Mulut Terbuka 37,2oC 37,6oC
Berkumur Air Es
Mulut Tertutup 35,7oC 37,4oC
Mulut Terbuka 36,2oC 37,3oC
Axillaris 37,3oC 37,4oC

 

            Pengukuran suhu pada mulut dan axillaris. Pada kedua probandus dapat dilihat bahwa suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang drastis atau relatif konstan yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC. Menurut Muttaqin (2009), suhu tubuh yang normal berkisar dari 36,6oC sampai 37,2oC (98oF sampai 99oF). Suhu pada mulut tertupup tercatat pada kedua probandus lebih tinggi dibandingkan dengan mulut terbuka yaitu mulut tertutup pada probandus I suhunya 37,5oC dan pada mulut terbuka suhunya 37,2oC, sedangkan probandus II ketika mulut tertutup suhunya 38oC dan mulut terbuka suhunya 37,6oC. Penyebabnya suhu mulut tertutup lebih tinggi dari mulut terbuka karena ketika mulut dalam keadaan tertutup, tidak ada sirkulasi udara di dalam mulut sehingga suhu yang terukur merupakan suhu tubuh secara keseluruhan, tetapi ketika mulut terbuka, terdapat sirkulasi udara sehingga suhu dalam tubuh ada yang hilang. Menurut Isnaeni (2006), pada saat mulut terbuka, udara di dalam tubuh suhunya menjadi tinggi karena metabolisme dalam tubuh akan bercampur dengan udara yang bersuhu rendah, sehingga akan mencapai keseimbangan dalam dan luar mulut, mengakibatkan suhu udara dalam mulut menjadi turun.

            Setelah probandus berkumur dengan air es, kedua probandus mengalami sedikit penurunan suhu namun tidak begitu signifikan yaitu kisaran 35,7oC sampai 37,4oC. Setelah dilakukan pengukuran suhu dengan mulut tertutup dan mulut terbuka, suhu pada probandus I ketika pengukuran dengan mulut tertutup lebih rendah daripada mulut terbuka yaitu pada mulut tertutup suhunya 35,7oC dan mulut terbuka suhunya 36,2oC. Tidak sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut tertutup lebih tinggi daripada suhu mulut terbuka. Penyebabnya karena ketika melakukan pengukuran suhu dengan mulut tertutup, probandus I tidak benar-benar menutup mulutnya dan sesekali berbicara dengan praktikan lain, sehingga menyebabkan adanya sirkulasi udara di dalam mulut yang menyebabkan suhunya lebih rendah dari yang seharusnya. Suhu pada probandus II ketika mulut tertutup sebesar 37,4oC dan mulut terbuka sebesar 37,3oC, sudah sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) yang menyatakan bahwa suhu pada mulut tertutup lebih tinggi daripada suhu mulut terbuka.

            Pengukuran suhu pada axillaris hasilnya tidak jauh berbeda dengan ketika melakukan pengukuran dengan mulut tertutup sebelum berkumur dengan air es yaitu pada probandus I sebesar 37,3oC dan probandus II sebesar 37,4oC. Penyebabnya karena manusia merupakan homoiterm yaitu dalam keadaan normal, suhu manusia relatif stabil meskipun keadaan lingkungan berubah-ubah. Menurut Muttaqin (2009), suhu tubuh yang diukur per axillaris dapat lebih rendah 0,5oC daripada suhu tubuh, yang diukur per mulut. Menurut Campbell et al. (2004), hewan homoiterm dapat melakukan aktivitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuhnya. Burung dan mamalia temasuk hewan homoiterm.

            Pelepasan panas dari tubuh hewan endoterm terjadi dengan beberapa cara, antara lain melepaskan panas ke lingkungannya melalui vasodilatasi pembuluh darah perifer, dan meningkatkan penguapan air melalui kulit (misalnya dengan berkeringat) atau melalui saluran pernapasan (dengan terengah-engah, misalnya pada anjing dan burung yang tidak mempunyai kelenjar keringat). Kanguru melakukannya dengan membasahi rambutnya dengan air ludah. Penguapan air ludah tersebut menimbulkan efek pendinginan (Bloom dan Fawcet, 2002). Menurut Anderson (1996), kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi suhu tubuh sehingga menyebabkan terjadinya variasi suhu tubuh antara lain umur, jenis kelamin, musim, aktivitas (latihan), iklim, waktu tidur, makan, minum.

Panas disingkirkan dari tubuh oleh radiasi dan konduksi (70%), evaporasi (27%), dan sejumlah kecil panas juga dibuang dalam urine (2%), dan feses (1%). Radiasi yaitu panas dibebaskan atau dikeluarkan dengan cara pemancaran. Perpindahan panas antara dua benda terjadi tanpa harus ada sentuhan. Contohnya perpindahan panas dari matahari ke tubuh hewan. Tubuh hewan selain dapat memancarkan panas juga dapat menyerap panas. Kulit, rambut, dan bulu merupakan penyerap radiasi yang baik. Kulit dan rambut yang berwarna gelap akan lebih banyak menyerap radiasi daripada kulit dan rambut yang berwarna terang. Konduksi adalah penghantaran panas yang terjadi karena bersentuhan dengan benda yang lebih rendah suhunya. Laju aliran panas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas permukaan benda yang saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara kedua benda, dan konduktivitas panas dari kedua benda tersebut (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah sapi yang terkena sinar matahari secara langsung.

Konduktivitas panas merupakan tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda. Setiap benda memiliki konduktivitas yang berbeda. Hewan memiliki konduktivitas panas yang rendah dengan kata lain merupakan penahan panas (isolator) yang baik. Contohnya lagi adalah juga rambut dan bulu. Karena hal inilah aves dan mamalia yang banyak memiliki bulu dan rambut hanya akan melepas sejumlah kecil panas dari tubuhnya ke benda lain yang bersentuhan dengannya (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah ketika sapi sedang tidur, maka kulitnya akan bersentuhan langsung dengan lantai.

Konveksi ialah gerakan molekul-molekul gas atau cairan dengan suhu tertentu ke tempat lain yang suhunya berbeda, membantu konduksi. Dalam hal ini panas dari tubuh hewan dapat berpindah ke lingkungan sekitar atau sebaliknya, panas dari lingkungan yang masuk ke tubuh hewan (Isnaeni, 2006). Contoh pada ternak adalah pemberian blower atau ventilasai pada kandang ternak agar sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik.

Evaporasi merupakan proses perubahan benda dari fase cair ke fase gas. Dapat melalui penguapan lewat kulit dan saluran pernafasan dan dapat juga sebagian kecil pembebasan panas lewat feses dan urin. Evaporasi merupakan salah satu mekanisme penting pada hewan untuk menurunkan suhu / melepaskan panas dari tubuh. Contohnya saat tubuh panas, hewan akan menanggapi kenaikan suhu tersebut dengan berkeringat. Keringat yang keluar akan membasahi kulit dan menyerap kelebihan panas tersebut dan menjadi uap. Setelah keringat kering suhu tubuh akan turun. Hanya saja tidak semua hewan memiliki kelenjar keringat. Hewan yang tidak dapat berkeringat seperti anjing akan meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan mereka. Pada anjing akan terengah-engah sambil menjulurkan lidahnya untuk mengurangi panas tubuh (Isnaeni, 2006).

Proses Pelepasan Panas

Tabel 2. Pengukuran suhu tubuh katak

Perlakuan Suhu Lingkungan Suhu Katak
Keadaan Biasa 32oC 31oC
Dalam Air Es 17oC 22oC
Dalam Air Panas 40oC 32oC

 

            Proses pelepasan panas pada katak. Hasil pengamatan suhu pada katak menunjukkan perbedaan suhu yang sangat signifikan. Katak dalam keadaan biasa, suhunya adalah 31oC, mendekati suhu lingkungan yaitu 32oC. Suhu tubuh katak menunjukkan angka 22oC ketika dimasukkan pada air yang bersuhu 17oC dan ketika dimasukkan pada air bersuhu 40oC suhu katak menunjukkan angka 32oC, ini membuktikan bahwa katak termasuk hewan poikiloterm dimana suhu lingkungan sedikit banyak mempengaruhi suhu tubuhnya. Menurut Suripto (1998), pada lingkungan yang dingin, katak akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yaitu dengan menurunkan suhu tubuhnya, demikian pula pada keadaan panas maka katak akan meningkatkan suhu tubuhnya. Menurut Sumanto (1996), sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel organisme tersebut. Suhu optimum enzim pada hewan poikiloterm di daerah dingin biasanya lebih rendah daripada enzim pada hewan homoiterm. Contohnya, suhu optimum pada manusia adalah 37oC, sedangkan pada katak 25oC.

            Menurut Sonjaya (2003), pada hewan poikilotermik darat, misalnya katak, keong dan serangga, suhu tubuhnya dapat lebih mendekati suhu udara lingkungan. Input radiasi panas dari matahari atau sumber lain mungkin meningkatkan suhu tubuh di atas suhu lingkungan, dan penguapan air melalui kulit dan organ-organ respiratori menekan suhu tubuh beberapa derajat di bawah suhu lingkungan. Hewan darat dapat memelihara keseimbangann tubuh dengan mengurangi penguapan dan kehilangan panas lewat konduksi dan memaksimalkan penambahan panas melalui radiasi dan panas metabolik.

            Menurut Soewolo (2000), adaptasi terhadap suhu yang panas pada hewan poikiloterm dilakukan dengan meningkatkan laju pendinginan dengan penguapan melalui kulit bagi hewan yang berkulit lembab (cacing dan katak) atau dengan cara berkeringat (untuk hewan yang mempunyai kelenjar keringat), melalui saluran pernafasan, bagi hewan yang kulitnya tebal dan kedap air (reptil dan insekta), mengubah mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada suhu tinggi (kadal dan reptil). Adaptasi terhadap suhu dingin dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi osmotik, titik beku cairan tubuh dapat diturunkan hingga dibawah 0oC. Zat terlarut  gula, seperti fruktosa atau derivatnya, dan gliserol (bermanfaat untuk melindungi membran dan enzim dari denaturasi akibat suhu yang sangat dingin, contoh : lalat dari Alaska, Rhabdophaga strobiloides, yang dapat bertahan hingga suhu -60oC), menghambat pembentukan kristal es di dalam sel untuk mencegah kerusakan membran. Dilakukan dengan cara menambahkan glikoprotein antibeku ke dalam tubuh. Glikoprotein adalah molekul polimer dari sejumlah monomer yang tersusun atas tripeptida yang terikat pada derivat galaktosamin.

Tabel 3. Proses pelepasan panas menggunakan kendi

Kendi Suhu (oC)
Awal I II III IV V VI
Bercat 64 61 58 52 50 50 49
Tidak Bercat 64 58 54 51 49 48 45

 

            Proses pelepasan panas pada kendi. Hasil dari pelepasan panas pada kendi menunjukkan bahwa suhu air dalam kendi yang bercat lebih konstan dibanding dengan kendi yang tanpa cat.  Kendi yang bercat, pori-pori kendinya tertutup oleh cat yang menyebabkan proses pelepasan panas menjadi lambat, sedangkan pada kendi yang tanpa cat proses pelepasan panasnya lebih cepat karena pori-pori kendi tidak tertutup. Menurut Martini (1998), semakin banyak pori-pori dalam luas kontak permukaan dan semakin tinggi perbedaan suhu amtara sistem dengan lingkungan, maka proses konveksi dan evaporasi semakin cepat.

 

Kesimpulan

 

Manusia memiliki suhu tubuh yang cenderung konstan meskipun suhu di lingkungan berubah-ubah, yaitu kisaran antara 35,7oC sampai 38oC, sehingga manusia disebut sebagai homoiterm, sedangkan katak memiliki suhu tubuh yang berubah-ubah sesuai dengan suhu di lingkungan sekitarnya, sehingga katak disebut poikiloterm. Proses pelepasan panas terdapat empat macam, yaitu radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi.

 

Daftar Pustaka

 

Anderson, Paul D. 1996. Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Bloom dan Fawcet. 2002. Bahan Ajar Histologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B Reece., L.G Mitchell. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Martini. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology 4th ed. Prentice Hall International Inc. New Jersey.

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Sonjaya, H. 2013. Bahan Ajar Fisiologi Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Sumanto. 1996. Fisiologi Hewan. UNS Press. Surakarta.

Suripta, Melvin J., and W.A Reece. 1998. Duke’s Physiology of Domestic Animals. Cornell University Press. London.

Download Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara Theroregulasi

Laporan Praktikum Biokimia Dasar Acara Darah

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA DASAR

ACARA VII

DARAH

logo

Disusun oleh:

Kelompok XI

Diliarna Sitaresmi                PT/06439

Lintang Anggoro                  PT/06501

Eka Jumiasih                                    PT/06526

Nurus Sobah                                    PT/06587

Bastian Titus                         PT/06625

Asisten: Okti Widayati

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


 

ACARA VII

DARAH

Tujuan Praktikum

            Praktikum darah bertujuan untuk mengetahui globulin dalam serum darah dan karakteristiknya, mengetahui adanya albumin dalam serum darah dan karakteristiknya, mengetahui adanya senyawa senyawa bukan protein dalam darah, dan mengetahui adanya pigmen darah.

 

Tinjauan Pustaka

            Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan arau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma darah sedangkan 45% sisanya terdiri dari sel darah. Sifat darah diantaranya memiliki tekanan osmotik sebesar 28mmHg, viskositas sebesar 1,7 pada suhu 37oC dan pH sebesar 7,0 sampai 7,8 (Pearce, 2006).

            Fungsi utama darah dalam sirkulasi adalah sebagai media transportasi, pengatur suhu tubuh, pemeliharaan keseimbangan cairan, serta keseimbangan basa eritrosit selama hidupnya tetap berada dalam tubuh. Sel darah merah mampu mengangkut secara efektif tanpa meninggalkan fungsinya di dalam jaringan serta keberadaannya dalam darah hanya melintas saja. Darah juga memiliki kepng darah atau biasa disebut trombosit yang berperan dalam proses penggumpalan darah (Hilman et al., 2005).

            Peristiwa penggumpalan darah oleh Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1901 dijadikan sebagai dasar adanya penggolongan darah dengan sistem ABO. Landsteiner menemukan bahwa eritrosit dari beberapa individu akan menggumpal apabila dicampur dengan serum darah dari individu lainnya namun kejadian ini terjadi pada semua orang. Mekanisme pembekuan darah ialah trombosit akan mengalami penggumpalan (aglutinasi) karena adanya jaringan yang mengalami kerusakan atau cedera. Trombosit yang mengalami penggumpalan disebut tromboplastin. Ion Ca yang terdapat dalm darah menyebabkan prokonvertin menjadi konvertin. Tromboplastin lalu bereaksi dengan konvertin dan ion Ca mengubah protrombin menjadi trombin namun hanya sedikit. Trombin akan berikatan dengan ion Ca lalu dengan adanya trombin maka accelarator globulin plasma dari inaktif menjadi accelarator serum aktif. Protrombin berubah menjadi trombin lalu mengaktifkan fibrinogen. Fibrinogen akan berubah menjadi benang-benang halus yang disebut fibrin (Campbell et al., 2006).

 

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, pipet tetes, pipet pump, pengaduk, corong, gelas ukur, dan kertas saring.

            Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah darah, darah oksalat, darah non fibrin (serum), larutan (NH4)2SO4 jenuh, aquades, larutan amonium sulfat, larutan asam asetat 2%, larutan khlorofenol merah, larutan HNO3 pekat, larutan AgNO3, larutan amonium molibdat, larutan kalium oksalat, larutan gliserol, padatan Na2CO3, larutan CuSO4 2,5%, dan larutan asam asetat glasial.

 

Metode

            Pengendapan globulin. Tabung reaksi diisi dengan 3 mL serum lalu ditambah 3 mL larutan (NH4)2SO4 jenuh. Tabung digojok lalu endapan disaring. Endapan dituangi sedikit air lalu digojok. Perubahan yang terjadi diamati lalu dicatat.

Pengendapan Albumin. Filtrat pada percobaan awal ditambah dengan larutan amonium sulfat lalu digojok. Endapan dipisah dengan kertas saring lalu ditambah dengan aquades selanjutnya digojok.ada atau tidaknya endapan tetap diamati dan dicatat.

Zat-zat Bukan Protein Dalam Serum Darah

            Deproteinasi serum darah. Tabung reaksi diisi dengan 5 mL darah dan 10 mL air lalu dididihkan. Larutan ditambah dengan asam asetat 2% setetes demi setetes sampai terjadi endapan. Endapan yang terbentuk disaring. Larutan diberikan khlorofenol merah lalu diasamkan. Larutan dididihkan bila perli hasilnya disaring.

            Uji khlorida. Filtrat pada percobaan awal ditambahkan dengan setetes HNO3 pekat dan beberapa tetes larutan AgNO3. Endapan akan larut kembali apabila ditambahkan dengan larutan NH4OH. Perubahan diamati.

            Uji kalsium. Filtrat pada percobaan awal ditambahkan  dengan kalium oksalat. Larutan dipanaskan setalah itu akan terbentuk endapan putih.

Uji fosfat. Sisa filtrat pada percobaan awal ditambahkan dengan amonium molibdat dan setetes HNO3 pekat. Larutan dipanaskan maka akan terbentuk endapan berwarna kuning. Perubahan diamati.

Uji glukosa. Sisa filtrat ditambahkan dengan 2 tetes gliserol dan sedikit Na2CO­3 bebas air dan larutan CuSO4 2,5%. Tabung dididihkan lalu perubahan yang terjadi diamati.

Pigmen Darah

            Uji benzidin. Satu tetes darah diencerkan dengan 10 mL air. Larutan sebanyak 1 mL diambil lalu ditambahkan dengan 1,5 mL larutan benzidin dan 0,5 mL larutan H2O2. Perubahan yang terjadi diamati.

 

 

Hasil dan Pembahasan

 

Pengendapan

            Pengendapan globulin. Pada percobaan kali ini dihasilkan warna larutan kuning keruh dan terdapat sedikit endaapan yang melayang. Larutan menjadi berwarna kuning dan mengendap akibat penambahan amonium sulfat. Penambahan garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat) ini bertujuan untuk mengikat air pada protein karena garam bersifat hidroskopis. Amonium sulfat jenuh yang ditambahkan dengan serum menyebabkan larutan campuran tersebut tidak jenuh lagi melainkan menjadi setengah jenuh. Globulin dapat diendapkan pada larutan setengah jenuh maka terbentuk endapan globulin. Menurut Sloane (2004), larutan globulin dapat diendapkan oleh penambahan garam amonium sulfat hingga setengah jenuh. Pada percobaan ini, protein albumin tidak ikut mengendap karena protein albumin mengendap pada larutan yang bersifat jenuh sehingga filtrat yang disaring endapannya masih mengandung protein albumin dan dapat digunakan pada percobaan pengendapan albumin. Endapan globulin yang telah disaring tadi ditambahkan aquades maka endapan protein globulin tersebut tidak larut (ditandai dengan larutan masih keruh) karena protein globulin sedikit atau tidak larut dalam air sehingga dalam larutan tersebut masih mengandung protein globulin.

            Pengendapan albumin. Pada percobaan ini, filtrat yang digunakan adalah filtrat dari percobaan globulin. Filtrat tersebut ditambahkan dengan (NH4)2SO­4 padat berlebih sehingga terdapat sedikit endapan yang melayang. Penambahan garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat) yang berlebih ini bertujuan untuk mengikat air pada protein karena garam bersifat hidroskopis sehingga protein albumin tersebut dapat mengendap karena protein albumin dapat mengendap pada amonium sulfat jenuh. Menurut Sloane (2004), albumin adalah protein yang dapat larut serta dapat terkoagulasi oleh panas dan dapat diendapkan dengan penambahan amonium sulfat hingga jenuh. Endapan tersebut disaring dan ditambahkan aquades lalu digojok tetapi dalam larutan tersebut masih terdapat sedikit endapan yang berwarna merah yang bukan merupakan endapan dari protein albumin. Endapan dari protein albumin sendiri sudah ikut larut dalam air (ditandai dengan larutan berwarna bening) karena protein albumin dapat larut dalam air.

Zat-zat Bukan Protein Dalam Serum Darah

            Deproteinasi serum darah. Percobaan deproteinasi serum darah bertujuan untuk menghilangkan protein dalam darah karena protein dalam darah merupakan protein terkonjugasi. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan aquades kemudian dididihkan, hal ini menyebabkan fungsi dari protein tersebut hilang karena ikatan hidrogen dalam protein tersebut lepas. Larutan tersebut ditambahkan setetes demi setetes asam asetat, larutan tersebut menjadi berwarna merah kejingga-jinggaan dan terdapat endapan. Endapan disaring. Filtratnya ditetesi indikator khlorofenol merah lalu diasamkan hingga pH 5,4 (warna indikator berubah menjadi kuning), penambahan asam ini mengakibatkan penambahan H+ sehingga antara muatan positif (+) dan negatif (-) pada protein tidak seimbang sehingga terjadi perubahan struktur yang menyebabkan terjadinya endapan protein. Filtrat dididihkan dan kemudian disaring, filtrat yang dihasilkan digunakan untuk percobaan selanjutnya. Meurut Bastiansya (2008), konformasi molekul protein dapat berubah karena pengaruh suhu, pH atau karena terjadinya suatu reaksi dengan senyawa lain atau ion-ion logam dan peristiwa ini sering disebut deproteinasi.

            Uji khlorida. Percobaan khlorida warna larutan berubah dari putih bening menjadi putih keruh dan terdapat endapan putih disebabkan oleh AgNO3 yang ditambahklan mengikat Cl yang terdapat pada serum darah dan bentuk endapan yang berwarna putih. Endapan dari reaksi tersebut adalah endapan AgCl (berwarna putih). Endapan ditambahkan dengan NH4OH, maka endapan tersebut akan kembali larut disebabkan ion Cl lebih memilih berikatan dengan NH4 karena NH4 lebih reaktif (lebih kiri) dibandingkan dengan Ag, sehingga terjadi reaksi sebagai berikut :

NH4OH + AgCl è NH4Cl + AgOH

Plasma darah tersusun atas salah satunya adalah elektrolit. Klorida merupakan elektrolit bermuatan negatif, banyak terdapat pada cairan ekstraseluler (diluar sel), berperan penting dalam keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam-basa dalamtubuh. Klorida di angkut di dalam darah dan limfe akibat kerja jantung dan otot rangka (Gandasoebrata, 2007).

            Uji fosfat. Percobaan uji fosfat kali ini bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa fosfat dalam darah. Filtrat ditambahkan beberapa tetes amonium molibdat dan 1 tetes HNO3 pekat kemudian dipanaskan, larutan berubah menjadi terdapat endapan warna kuning. Adanya endapan warna kuning ini menunjukkan bahwa dalam filtrat tersebut terdapat senyawa fosfat dan endapan tersebut merupakan endapan ammonium fosfomolibdat. Reaksi yang terjadi pada uji kali ini adalah :

Filtrat + HNO3 dan ammonium molibdat è endapan amonium fosfomolibdat (warna kuning)

            Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 85% fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut. Hidroksipatit memberi kekuatan dan kekakuan pada tulang. Fosfor di dalam tulang berada dalam perbandingan 1:2 dengan kalsium. Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel tubuh, separuhnya di dalam otot dan di dalam cairan ekstraseluler (Muchtadi, 2008).

            Uji kalsium. Percobaan kali ini setelah filtrat ditambahkan beberapa tetes larutan kalium oksalat, larutan yang awalnya berwarna kuning berubah menjadi kuning keruh. Perubahan menjadi keruh ini menunjukkan bahwa dalam larutan tersebut terdapat endapan, hal ini terjadi karena filtrat + kalium oksalat è Ca-oksalat + KCl. Reaksi tersebut terjadi karena ion Ca memiliki muatan positif (+2) lebih tinggi dibandingkan ion K (+1). Menurut Bastiansyah (2008), sedikit banyaknya kalsium  dalam darah dapat dilihat dari tingkat kekeruhan larutan setelah ditetesi kalium oksalat. Tingkat kekeruhan tinggi maka menunjukkan kalsium dalam darah banyak, demikian juga sebaliknya. Endapan yang terbentuk tersebut merupakan endapan kalsium oksalat yang merupakan hasil reaksi dari kalium oksalat dengan kalsium yang terdapat dalam darah. Menurut Mustafa et al. (2011), kondisi kadar kalsium darah yang optimum akan menunjang deposisi kalsium ke dalam tulang, sebaliknya, turunnya kadar ion kalsium plasma di bawah batas normal akan memacu kelenjar paratiroid untuk meningkatkan sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid memulihkan konsentrasi kalsium cairan ekstrasel menjadi normal dengan bekerja langsung pada tulang dan ginjal, dan bekerja tidak langsung pada mukosa usus melalui perangsangan sistem kalsitriol.

            Uji glukosa. Percobaan ini, setelah filtrat ditambahkan gliserol, serbuk Na2CO3 bebas air dan larutan CuSO4 2,5% larutan berubah menjadi berwarna merah muda keunguan. Penambahan larutan CuSO4 2,5%  yang nantinya akan direduksi oleh gluksa menjadi Cu2O yang berwarna merah bata. Fungsi dari penambahan gliserol selain sebagai pemecah lemak juga untuk menaikkan titik didih karena gliserol merupakan senyawa non polar sehingga memiliki titik didih tinggi. Larutan tersebut dididihkan selama beberapa menit hingga warna dari larutan tersebut berubah menjadi kecoklatan dan ada endapan putih di dasar. Hal ini membuktikan bahwa dalam filtrat tersebut mengandung glukosa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan glukosa darah adalah kandungan serat dalam makanan, proses pencernaan, cara pemasakannya, ada atau tidaknya zat anti terhadap penyerapan makanan sebagai zat anti nutrien, perbedaan interprandial, waktu makan dengan lambat atau cepat, pengaruhnya intoleransi glukosa dan pekat tidaknya makanan (Witasari et al., 2009).

 

Pigmen Darah

            Uji benzidin. Percobaan kali ini, 1 ml darah diencerkan dengan 4 ml aquades, kemudian dari pengenceran tersebut diambil 1 ml. Setelah itu ditambahkan 1,5 ml benzidin dan 0,5 ml H2O2 3 % maka terjadi perubahan warna dari coklat menjadi biru tua. Warna biru tua terbentuk karena adanya Hb dalam darah yang mendekomposisi H2O2 menjadi 2H2O dan O2. O2 yang bebas akan mengoksidasi benzidin menjadi derivatnya yang berwarna biru (benzidin blue), dalam hal ini bisa dikatakan bahwa O2 bertindak sebagai oksidator dan benzidin bertindak sebagai reduktor. Dikutip oleh Munawaroh (2009) cit. Junquera (1997), hemoglobin (Hb) merupakan salah satu komponen penyusun darah dan merupakan suatu derivat porfirin yang mengandung besi serta berfungsi dalam hal pengikatan dan pengangkutan O2. Hb berfungsi membawa CO2 dari jaringan tubuh, dengan aktifitas ini, maka Hb juga membantu terciptanya keseimbangan asam basa dalam darah.

 

 

Kesimpulan

 

Protein yang terdapat di dalam plasma darah adalah fibrinogen, albumin dan gobulin. Protein fibrinogen berperan dalam proses pembentukan darah, sedangkan protein albumin dan globulin berfungsi sebagai penentu besarnya tekanan osmosis. Zat bukan protein yang terdapat dalam serum darah adalah klorida, fosfat, kalsium dan glukosa. Pigmen yang terdapat dalam darah adalah piqmen merah eritrosit yaitu protein terkonjugasi hemoglobin yang dapat mengikat oksigen dalam darah.

 

 

Daftar Pustaka

 

Bastiansyah, Eko. 2008.  Panduan Lengkap Membaca Hasil Tes Kesehatan. Penebar Plus. Jakarta.

Bloom, and Fawcatt. 2002. Buku Ajar Histologi Edisi 32. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Campbell, N.A., J.B. Reece., M.R. Taylor., and E.J. Simon. 2006. Biology. Concepts and Connection, Fifth Edition. Pearson Education, Inc. Benjamin Cummins, San Fransisco.

Gandasoebrata, R. 2007. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta.

Hilman, R.S., Ault K.A., and Rinder H.M. 2005. Hematology in Clinical Practice 4th ed. The Washington Manual Hematology. New York.

Junquera, L Carlos. 1997. Histologi Dasar. Buku kedokteran EGC. Jakarta.

Muchtadi, Deddy. 2008. Pengantar Ilmu Gizi. Alfabeta. Bandung.

Munawaroh, Siti. 2009. Pengaruh Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa) Terhadap Peningkatan Jumlah Eritrosit Dan Kadar Hemoglobin (Hb) Dalam Darah Tikus Putih (Rattus nurvegicus) Anemia. Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Mustafa, S., Nurhidayat., K. Sigit., B.P. Priosoeryanto., W. Manalu. 2011. Kualitas Tulang Tikus Betina Normal Yang Diberi Ekstrak Sipatah-patah Pada Masa Pertumbuhan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Darussalam Banda Aceh.

Pearce C.E. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedic. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Witasari, Ucik., S. Rahmawaty., S. Zulaekah. 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Asupan Karbohidrat Dan Serat Dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Ilmu Kesehatan Univeritas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Download Laporan Praktikum Biokimia Dasar Acara Darah

Laporan Praktikum Biokimia Dasar Acara Susu

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA DASAR

ACARA VIII

SUSU

logo

 Disusun oleh:

Kelompok XI

Diliarna Sitaresmi                PT/06439

Lintang Anggoro                  PT/06501

Eka Jumiasih                                    PT/06526

Nurus Sobah                                    PT/06587

Asisten: Okti Widayati

LABORATORIUM BIOKIMIA NUTRISI

BAGIAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

 


ACARA VIII

SUSU

 

Tujuan Praktikum

            Praktikum susu bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak pada susu yaitu kasein, mengetahui adanya ikatan peptida pada protein susu, mengetahui adanya asam amino tripthophan, mengetahui adanya asam amino tirosin, mengetahui adanya asam amino aromatik, mengetahui adanya kalsium dan phospor, dan mengetahui adanya lemak pada susu.

Tinjauan Pustaka

            Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar susu atau mamae baik dari binatang maupun dari buah dada seorang ibu. Air susu dari seorang ibu dikenal dengan ASI, sedangkan susu hewan atau susu tiruan sebagai pengganti susu ibu atau PASI. PASI pada umumnya adalah air susu dari berbagai binatang ternak, misalnya sapi, kerbau, kambing dan ada pula yang mempergunakan air susu unta atau kuda (Sadiaoetama, 2006).

            Susu mempunyai sifat lebih mudah rusak dibandingkan dengan hasil ternak lainnya sehingga penanganan susu harus tepat dan cepat. Pengolahan susu secara sederhana merupakan salah satu penanganan lepas panen yang perlu dikembangkan. Penganekaragaman produk olahan susu sebagai usaha untuk menambah nilai produksi susu. Produk susu secara olahan banyak dikembangkan diantaranya susu pasteurisasi dan yoghurt (Saleh, 2004).

Tabel 1. Komposisi zat-zat nutrisi susu sapi segar

Komposisi Nutrisi

Presentase (%)
Air 87,7
Bahan kering 12,3
Bahan Kering Tanpa Lemak 8,6
Lemak 3,4
Protein 3,2
Laktosa 4,6
Mineral 0,8

            Susu memiliki beberapa manfaat penting diantaranya, mencegah osteoporosis dan menjaga tulang tetap kuat. Manfaat bagi anak-anak sebagai pertumbuhan tulang yang membuat anak bertambah tinggi. Menurunkan tekanan darah dan mencegah kerusakan gigi serta menjaga kesehatan mulut. Mempercantik kulit, membuat kulit lebih bersinar dan membantu agar lebih ce[at tidur dikarenakan kandungan susu akan merangsang hormon melatonin yang akan membuat tubuh mengantuk (Winarno, 2004).

Tabel 2. Standar mutu susu segar

Karakteristik

Satuan

Syarat

Berat jenis (pada suhu 27,50C) minimum g/ml 1,0270
Kadar lemak minimum % 3,0
Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8
Kadar protein minimum % 2,8
Warna, bau, rasa dan kekentalan Tidak ada perubahan
Derajat asam oSH 6,0 – 7,5
pH 6,3 – 6,8
Uji alkohol (70%) v/v Negatif
Cemaran mikroba maksimum :
Total Plate Count CFU/ml 1 x 106
Staphylococcus aereus CFU/ml 1 x 102
Enterobacteriaseae CFU/ml 1 x 103
Jumlah sel somatis maksimum sel/ml 4 x 105
Residu antibiotika (Golongan penisilin, Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) Negatif
Uji pemalsuan Negatif
Titik beku oC -0,520 s.d -0,560
Uji peroxidase Positif
Cemaran logam berat, maksimum :
Timbal (Pb) µg/ml 0,02
Merkuri (Hg) µg/ml 0,03
Arsen (As) µg/ml 0,1

(Standar Nasional Indonesia, 2011)


Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain tabung reaksi, pipet tetes, pipet ukur, pengaduk, corong, gelas ukur, kertas saring, kertas pH meter, bunsen, mikroskop, pump, droplet, kaca objek, gelas beker, penangas air, kertas minyak, rak tabung reaksi.

            Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain susu segar, susu basi, larutan asam asetat 2%, larutan NH4OH, larutan kalium oksalat, larutan NaOH 40%, larutan CuSO4 0,1%, larutan H2SO4 pekat, larutan HgSO4 1%, larutan NaNO2, larutan HNO3 pekat, larutan NH4OH, reagen benedict, larutan asam asetat glasial, larutan fenilhidrazin, larutan amonium molibdat, larutan ether, larutan asam asetat encer, Na-asetat.

 

Metode

Melihat Butir-butir Lemak

            Air susu diteteskan diatas gelas objek. Dibawah mikroskop, butir-butir lemak diamati lalu digambar.

Pengukuran pH

            pH air susu segar diukur dengan kertas pH meter. Larutan dibiarkan setelah itu pH ditera.

Penggumpalan Kasein

Larutan asam asetat 2% ditambahkan beberapa tetes ke dalam susu encer hingga terjadi penggumpalan. Gumpalan dipisahkan dengan filtratnya.

Uji Sifat-sifat Kasein

Uji buret. Gumpalan dari percobaan penggumpalan kasein (P.3) ditambahkan 2ml NaOH 40% dan 3 sampai 4 tetes CuSO4 0,1%. Dicampur dan diamati warnanya.

Uji hopskincole.      Gumpalan P.3 ditambahkan 1,5 ml larutan formaldehid encer dan 1,5 ml H2SO4 pekat, digojog dan diamati warnanya.

Uji millon. Gumpalan P.3 ditambahkan 1 ml larutan HgSO4 1% lalu dipanaskan selama 10 menit dan didinginkan. Ditambahkan sedikit NaNO3 kristal lalu dipanaskan 10 menit.

Uji xanthoprotein. Gumpalan P.3 ditambahkan 1 ml HNO3 pekat lalu dipanaskan dan dinginkan. Larutan dibagi menjadi 2 dan ditambahkan beberapa tetes NH3.

Uji Terhadap Sifat-sifat Kasein

Preparasi. Filtrat dari uji penggumpalan kasein (P.3) dipanaskan lalu disaring dan dibagi menjadi 2.

Uji daya mereduksi (uji benedict). Filtrat hasil preparasi diambil 1 ml dan ditambahkan 1 ml reaktan benedict lalu dipanaskan. Terjadinya endapan diamati.

Uji osazon. Filtrat hasil preparasi diambil 5 ml dan ditambahkan 10 tetes asam asetat glasial dan sedikit fenilhidrazin padat dan Na-asetat dengan perbandingan 1:2 (1 sendok fenilhidrazin padat berarti 2 sendok Na-asetat) lalu disaring dan dipanaskan dan disaring kembali. Larutan hasil penyaringan dipanaskan dalam air mendidih selama 20 menit dan diamati dengan mikroskop.

Uji kalsium dan phospor. Filtrat P.3 ditambahkan 3 sampai 4 tetes NH4OH dan dipanaskan lalu disaring. Hasil endapan ditambahkan 2 ml asam asetat encer lalu disaring dan filtratnya (F.5d) dibagi menjadi 2.

            Filtrat F.5d diambil 2 ml ditambahkan 3 tetes kalium oxalat lalu diamati endapan yang ada (endapan berwarna kuning).

            Filtrat F.5d diambil 2 ml ditambahkan 1 tetes HNO3 pekat dan 3 tetes amonium molibdat lalu dipanaskan hingga terdapat endapan berwarna putih.

Uji noda lemak. Gumpalan P.3 ditambahkan 3 sampai 4 tetes eter lalu diteteskan dalam droplet dan diusap dengan kertas minya. Noda pada kertas diamati.

Hasil dan Pembahasan

 

Melihat Butiran Lemak

            Praktikum melihat butiran lemak bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya lemak pada susu. Hasil yang diperoleh dari pengamatan menggunakan mikroskop menunjukkan adanya kandungan lemak dalam susu yang ditandai dengan adanya tumpukan lemak yang berwarna gelap. Menurut Saleh (2004), besar kecilnya butir lemak ditentukan oleh kadar air yang ada didalamnya. Makin banyak air maka makin besar globuler dan keadaan ini dikhawatirkan akan menjadi pecah. Bila globuler pecah maka air susu disebut pecah. Air susu yang pecah tidak dapat dipisahkan lagi krimnya, dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan makanan. Globuler air susu mudah menyerap bau dari sekitarnya, oleh karena itu jangan simpan air susu pada tempat yang berbau. Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan mikroskop diperoleh hasil seperti gambar di bawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar. Noda Lemak Hasil Pengamatan
Gambar. Noda Lemak (Anonim, 2007)

 

 

 

 

Pengukuran Kadar pH

            Praktikum pengukuran kadar pH bertujuan untuk mengetahui pH dari susu segar dan susu basi. Hasil yang diperoleh dari pengukuran pH setelah susu segar dan susu basi diletakkan dalam droplet dan diuji kadar pHnya dengan kertas indikator pH menunjukkan bahwa pH susu segar adalah 7 dan pH susu basi juga 7. Hal ini bisa disebabkan karena kemungkinan susu basi tersebut masih belum benar-benar basi sehingga kadar pH dari susu basi tersebut masih termasuk dalam kategori normal. Menurut Saleh (2004), susu segar mempunyai sifat ampoter, artinya dapat bersifat asam dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka warnanya akan menjadi merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah warnanya akan berubah menjadi biru. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar terletak antara 6.5 sampai 6.7. Jika dititrasi dengan alkali dan kataliasator penolptalin, total asam dalam susu diketahui hanya 0.10 sampai 0.26 % saja. Sebagian besar asam yang ada dalam susu adalah asam laktat. Meskipun demikian keasaman susu dapat disebabkan oleh berbagai senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa pospat komplek, asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu. Bila nilai pH air susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri.

Penggumpalan Kasein

            Uji penggumpalan kasein dilakukan dengan menambahkan setetes demi setetes asam asetat 2% pada 10ml susu sampai menggumpal yang disebut dengan kasien yang mengalami denaturasi. Gumpalan pada larutan tersebut disaring untuk selanjutnya digunakan pada uji biuret, uji hopskincole, uji milon dan uji noda lemak, sedangkan filtratnya digunakan untuk uji kalsium dan phospor dan sebagai preparasi untuk uji benedict dan uji osazon. Menurut Anggraeni et al. (2013), susu mengandung protein berupa kasein yang dapat mengalami penggumpalan. Penggumpalan susu dalam proses pembuatan tahu susu dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan asam, enzim proteolitik, dan alkohol serta dapat dipercepat dengan pemanasan. Faktor yang mempengaruhi suatu mutu tahu susu adalah pemberian penggumpal. Penggumpal yang biasa digunakan adalah penggumpal kimia antara lain kalsium / magnesium-klorida, kalsium sulfat, glukano-D-laktone, dan penggumpal asam (asam laktat, asam asetat).

Sifat-sifat Kasein (Uji Reaksi Protein)

Uji biuret. Praktikum uji biuret bertujuan untuk mengetahui adanya ikatan peptida pada protein susu. Gumpalan hasil percobaan penggumpalan kasein  ketika ditambahkan NaOH dan CuSO4 menunjukkan adanya cincin ungu pada larutan tersebut. Warna ungu tersebut adalah CuN, yang merupakan reaksi antara Cu dari CuSO4 dengan N yang dilepaskan dari ikatan peptida pada protein dengan bantuan basa kuat (NaOH). Menurut Lehninger (1995), ikatan peptida dan asam amino ketika direaksikan akan membentuk kromofor (senyawa berwarna). Ikatan antara asam amino dengan ikatan peptida adalah struktur paling sederhana (struktur primer). Struktur sekunder yaitu ikatan antara ikatan peptida dengan ikatan hidrogen sehingga membentuk α-helix dan β-helix. Sekumpulan dari struktur sekunder membentuk struktur tersier ikatan peptida. Struktur kuartener dibentuk dari ikatan antar polipeptida.

Uji hopskin-cole. Praktikum hopskin-cole bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino triptophan pada susu. Hasil dari gumpalan kasien yang ditambahkan larutan formaldehid encer dan  H2SO4 pekat dan digojog menunjukkan adanya cincin ungu. Hasil positif pada percobaan hopskin-cole dalam larutan terdapat cincin ungu. Terbentuknya cincin ungu ini karena adanya ikatan gugus indol dari asam amino triptophan dan gugus aldehid dari larutan formaldehid. Penambahan H2SO4 pekat bertujuan untuk melepaskan ikatan indol dari kasein. Adanya cincin ungu membuktikan bahwa di dalam protein terdapat asam amino triptophan. Menurut Hart et al. (2003), setelah dicampur dengan pereaksi Hopkins-Cole, asam sulfat dituangkan perlahan-lahan sehingga membentuk lapisan di bawah larutan protein. Beberapa saat kemudian akan terjadi cincin ungu pada batas antara kedua lapisan tersebut.

Uji Milon. Uji milon bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino tirosin pada susu. Gumpalan kasein ketika ditambahkan 1ml larutan HgSO4 1% dan dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan maka akan terbentuk endapan putih yang dihasilkan dari reaksi antara Hg dengan asam amino tirosin pada albumin. Ditambahkan sedikit NaNO3 kristal kemudian dipanaskan kembali selama 10 menit, akan terbentuk endapan merah.Endapan merah yang dihasilkan berasal dari pencampuran HgSO4 dengan NaNO3 menjadi HgNO3. Hal ini sesuai dengan pendapat Jalip (2008), apabila pereaksi ini ditambahkan pada larutan protein, akan menghasilkan endapan putih yang dapat berubah menjadi merah oleh pemanasan. Pada dasarnya reaksi ini positif untuk fenol-fenol, karena terbentuknya senyawa merkuri dengan gugus hidroksifenil yang berwarna. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada larutan terdapat asam amino tirosin.

            Uji xanthoprotein. Praktikum uji xanthoprotein bertujuan untuk mengetahui adanya asam amino aromatik (tripthopan, tirosin dan fenilalanin) pada susu. Hasil yang diperoleh dari gumpalan kasein yang ditambahkan dengan HNO3 pekat, dipanaskan dan didinginkan menunjukkan adanya endapan berwarna kuning dan setelah itu penambahan NH4OH menyebabkan endapan pada larutan tersebut semakin keruh dan kuning keoranyenan. Endapan ini mengindikasikan bahwa di dalam susu tersebut terdapat asam amino tirosin, tripthopan dan fenilalanin. Susu mengandung senyawa N yang jika direaksikan dengan HNO3 pekat akan menghasilkan ikatan N yang lebih banyak yang ditandai denagn warna kuning, kemudian setelah ditambhakan dengan NH4OH ikatan yang dihasilkan semakin lebih banyak, sehingga warna dari larutantersebut semakin berwarna kuning keoranyenan. Menurut Sumirdjo (2008), warna kuning terbentuk karena asam amino dari tirosin, triptofan dan fenilalanin memiliki inti benzena yang jika ditambahkan dengan larutan HNO3 pekat akan membentuk warna kuning, tetapi warna kuning ini akan berubah menjadi warna orange jika diberi penambahan larutan basa.

Pengujian terhadap Sifat-sifat Filtrat

            Preparasi. Filtrat dari hasil uji penggumpalan kasein dipanaskan hingga terdapat endapan putih di dasar larutan tersebut. Larutan yang telah dipanaskan tersebut disaring dan filtrat dari larutan tersebut dibagi menjadi dua sama banyak yang akan digunakan untuk uji benedict dan uji osazon. Pemanasan ini bertujuan untuk menggumpalkan protein sehingga pada filtrat sudah tidak ada lagi kandungan proteinnya. Selain itu pemanasan juga akan menghidrolisis senyawa yang terkandung dalam filtrat menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga pengujian selanjutnya lebih mudah untuk dilakukan.

Uji benedict. Praktikum uji benedict ini bertujuan untuk mengetahui adanya gugus pereduksi dalam laktosa. Sebanyak 1 ml filtrat hasil preparasi ditambahkan dengan reagen benedict dan dipanaskan sehingga larutan tersebut dari warna biru berubah menjadi terdapat endapan berwarna merah bata di dasar larutan. Pemanasan dilakukan bertujuan untuk mempercepat reaksi pelepasan gugus reduksi yang ada di dalam glukosa susu atau laktosa. Hasil yang didapat pada percobaan ini adalah adanya endapan merah bata. Gugus reduksi yang sudah terlepas dari laktosa mampu mereduksi larutan Benedict (CuSO4) menjadi senyawa Cu2O yang berwarna merah bata. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Sudarmadji (2003), bahwa Gula reduksi dengan larutan Benedict (campuran garam kuprisulfat, Natrium sitrat, Natrium karbonat) akan terjadi reaksi reduksi-oksidasi dan dihasilkan endapan berwarna merah bata dari senyawa Cu2O.

Uji osazon. Uji osazon bertujuan untuk mengetahui adanya uji fisik karbohidrat yang ada didalam susu atau laktosa. Sisa filtrat hasil preparasi ditambah dengan lima tetes asam asetat glasial dan sedikit fenilhidrazin padat serta Na Asetat dengan perbandingan 1:2 lalu dipanaskan dan kemudian disaring. Pemanasan ini bertujuan untuk melepaskan gugus aldehid atau keton bebas dari senyawa karbohidrat yang ada di dalam filtrat. Penyaringan dilakukan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat yang mengandung gugus aldehid atau keton dengan gumpalan yang berisi senyawa yang tidak diperlukan. Tahapan berikutnya adalah adanya pemanasan kembali selama 30 menit. Pemanasan kedua bertujuan untuk mempercepat reaksi antara gugus aldehid atau keton yang ada di dalam laktosa dengan fenilhidrzin sehingga terbentuk osazon. Senyawa osazon yang terbentuk diamati melalui mikroskop. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat McGilvery (1996), bahwa semua karbohidrat yang mempunyai gugus aldehid atau keton bebas akan membentuk osazon bila dipanaskan bersama fenilhidrazina berlebih. Osazon yang terjadi mempunyai bentuk kristal yang khas dan titik lebur yang berbeda bagi masing-masing karbohidrat.

 

 

 

 

 

 

Gambar. Osazon (Anonim, 2007)
Gambar. Laktosazon hasil pengamatan.

 

 

 

Uji kalsium dan phospor. Uji kalsium dan phospor bertujuan untuk mengetahui adanya kalsium dan phospor di dalam susu. Filtrat pada percobaan tiga ditambahkan dengan 3 sampai 4 tetes NH4OH kemudian dipanaskan selanjutnya disaring. Penambahan NH4OH yang dilakukan bertujuan untuk melepaskan kalsium dan phospor dari dalam campuran filtrat.  Hasil endapan yang berupa camuran kalsium dan phospor ditambahkan dengan 2 mL asam asetat encer lalu disaring dan didapat filtrat. Penambahan asam asetat bertujuan untuk melarutkan endapan sehingga menjadi filtrat. Filtrat dibagi menjadi kedalam dua tabung. Filtrat pada tabung pertama ditambahkan dengan tiga tetes kalium oksalat. Hasil yang didapat adalah terbentuknya endapan kalsium oksalat yang berwarna putih keruh. Endapan terjadi dikarenakan kalsium memilki muatan lebih besar dari kalium sehingga oksalat lebih mudah bereaksi dengan kalsium dan melepaskan ikatannya dengan kalium. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Hasim dan E. Martindah (2008), absorbsi kalsium dihambat oleh lemak, oksalat, fosfat dan filtrat yang membentuk kompleks dengan kalsium di ruang usus.

Ca2+ + Kalium oksalat              Ca-oksalat + K1+

(Hasim dan E. Martindah, 2008).

 Filtrat pada tabung kedua ditambahkan dengan 1 tetes HNO3 pekat dan 3 tetes amonium molibdat kemudian dipanaskan hingga terbentuk endapan. Penambahan HNO3 bertujuan untuk melepaskan phospat yang ada di dalam filtrat. Hasil yang didapat adalah adanya endapan amonium phospomolibdat yang berwarna kuning. Endapan berwarna kuning dikarenakan adanya phospor di dalam filtrat. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Jalip (2008), bahwa phospor akan membentuk endapan dengan penambahan senyawa amonium phospomolibdat.

Amonium molibdat + Phospor                        Amonium phospomolibdat

Uji noda lemak. Uji noda lemak bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan lemak di dalam susu. Gumpalan kasein diletakkan dalam droplet kemudian ditambah dengan 3 sampai 4 tetes eter lalu diusapkan dengan kertas minyak. Penambahan eter bertujuan untuk melarutkan lemak yang ada di dalam gumpalan. Hasil yang didapat kertas minyak yang telah diusapkan pada droplet menjadi lebih transparan dibandingkan dengan sebelumnya dikarenakan adanya lemak yang terkandung di dalam gumpalan kasein. Hasil percobaan sesuai dengan pendapat Jalip (2008), bahwa eter merupakan pelarut lemak. Sifat eter yang melarutkan lemak menyebabkan kertas minyak menjadi lebih transparan.


Kesimpulan

 

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam susu terdapat lemak yang berupa kasein, protein, karbohidrat, kalsium, dan fosfor. Protein yang terdapat dalam susu adalah asam amino aromatik, asam amino triptophan, dan asam amino tirosin. Susu segar memiliki pH yang cenderung normal, sedangkan pada susu yang sudah basi memiliki pH yang cenderung asam karena laktosa difermentasi.


Daftar Pustaka

 

Anonim. 2007. Penuntun Praktikum Biokimia. Universitas Muslim Indonesia. Makasar.

Anggraini, R.P., Agustinus, H.D.R., dan R. Singgih, S.S. 2013. Pengaruh Level Enzim Bromelin Dari Nanas Masak Dalam Pembuatan Susu Terhadap Rendemen dan Kekenyalan Tahu Susu. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto.

Hart, H., Craine, L.E., dan Hart, D.J. 2003. Kimia Organik. Erlangga. Jakarta.

Hasim., E. Martindah. 2008. Perbandingan Susu Sapi Dengan Susu Kedelai : Tinjauan Kandungan dan Biokimia Absorbsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Jalip, I.S. 2008. Penuntun Praktikum Kimia Organik. Laboratorium Kimia, Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

Lehninger, A.H. 1995. Dasar-dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta.

McGilvery, Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3. Airlangga University Press. Surabaya.

Sakinah, N.E., Dwiyanti, G., Darsati, S. 2010. Pengaruh Penambahan Asam Dokosaheksaenoat (DHA) Terhadap Ketahanan Susu Pasteurisasi. Volume 1 no. 2. Pendidikan Kimia FPKIMIA, UPI. Bandung.

Saleh, Eniza. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. USU Digital Library. Medan.

Sediaoetama, D.A. 2006. Ilmu Gizi Jilid I. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 2011. Susu Segar – Bagian 1 : Sapi. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Sudarmadji, S. 2003. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.

Sumirdjo, D. 2008. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Download Laporan Biokimia Dasar Acara Susu

Laporan Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak Acara Histologi Betina

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU REPRODUKSI TERNAK

ACARA I

HISTOLOGI BETINA

 

 

 

 

Disusun oleh :

Nurus Sobah

PT/06587

XVI

 

Asisten : Awin Pinasthika

 

 

 

 

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK

BAGIAN REPRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014

ACARA I

HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI BETINA

 

TINJAUAN PUSTAKA

            Reproduksi pada hewan betina adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan seluruh tubuh hewan itu. Sistem reproduksi itu sendiri terdiri dari dua buah ovari, dua buah tuba uterin (fallopi), uterus, vagina, dan vulva. Ovum (atau telur) dilepaskan dari ovari dan diterima oleh infundibulum lalu dibawa masuk ke tuba uteri, di mana (dalam keadan normal) terjadi proses pembuahan (fertilisasi), dalam perjalanan ovum itu dari ovari menuju ke uterus. Telur yang sudah dibuahi itu berkembang menjadi embrio dan kemudian menjadi fetus, yang pada akhirnya keluar dari uterus menuju vagina dan vulva, sebagai anak yang baru lahir (neonat) (Frandson, 1992).

Hypophysis

            Kelenjar hypophysis terletak dalam fossa hypophysialis (sella tursica), cekungan dalam pada permukaan atas corpus os sphenoidale. Lembaran dura mater menutupi lubang fossa. Infundibulum hypophysis menghubungkan hipotalamus dengan kelenjar, berjalan melalui lubang pada dura mater. Kelenjar hypophysis terdiri dari dua lobus, anterior dan posterior, dengan asal struktur dan fungsi yang berbeda. Lobus anterior terdiri dari kolom sel-sel, yang bercabang tidak teratur dan dipisahkan oleh sinusoid tempat darah bersirkulasi. Tiga jenis sel dapat dibedakan dengan metode pewarnaan yaitu asidofil yang berwarna merah, basofil yang berwarna biru dan kromofob yang tidak berwarna (Gibson, 2003). Sel-sel kelenjar secara tradisional digolongkan sebagai kromofilik adtau kromofobik berdasarkan keasaman, atau tiadanya afinitas terhadap pewarna yang umum dipakai sebagai pulasan rutin bagi sediaan histologik. Sel-sel kromofilik disebut sebagai asidofil atau basofil sesuai pulasannya dengan pewarna asam atau sama sekali tak ada pemulasan sitoplasmanya disebut kromofob (Bloom and Fawcet, 1994).

Ovarium

Ovarium adalah tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis, dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel) (Yuwanta, 2004). Ovarium selain menghasilkan oosit,  juga memiliki fungsi sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon kelamin betina, yakni estrogen dan progesteron. Estrogen terutama dihasilkan oleh sel-sel teka interna menjadi estrogen. Progesteron terutama dihasilkan oleh sel-sel lutein besar selama metestrus, diestrus dam kebuntingan, di samping dihasilkan pula oleh plasenta (Dellman and Brown, 1992).

Oviduct

Tuba fallopi juga dikenal dengan istilah oviduct (saluran telur) dan kadang-kadang disebut tuba uterina. Saluran ini terdapat pada setiap sisi uterus dan membentang dari kornu uteri ke arah dinding lateral pelvis (Farrer, 1996). Tuba uterina (oviduktus) bersifat bilateral, strukturnya berliku-liku yang menjulur dari daerah ovarium ke kornu uteri dan menyalurkan ovum, spermatozoa dan zigot. Tiga segmen tuba uteri dapat dibedakan, yakni infundibulum (berbentuk corong besar), ampulla (bagian berdinding tipis yang mengarah ke belakan dari infundibulum, dan isthmus (segmen berotot yang berhubungan langsung dengan uterus (Dellman and Brown, 1992).

Uterus

Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pir, terletak di dalam pelvis, antara rektum di belakang dan kandung kencing di depan (Pearce, 1995). Dinding uterus terdiri atas miometrium (lapisan otot pada rahim) yang keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi (melemas). Bagian paling luar uterus (yang merupakan lapisan di luar dari miometrium dan bagian yang langsung bertemu dengan kavum uteri) dilapisi selaput jaringan ikat yang kaya dengan sel-sel epitel kuboid, kelenjar-kelenjar penghasil lendir, dan pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok, yang disebut sebagai lapisan endometrium. Lapisan endometrium uteri yang terdapat pada korpus uteri sangat licin, tetapi di bagian serviks uteri menjadi berkelok-kelok. Bagian uterus yang paling dalam yang langsung berhubungan dengan rongga abomen (perut tubuh) adalah lapisan perimetrium uteri (Hendrik, 2006).

 

 

 

Materi dan Metode

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum histologi organ reproduksi betina adalah mikroskop, poster, papan tulis, spidol.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum histologi organ reproduksi betina adalah preparat histologi ovarium, oviduct, dan uterus.

 

Metode

Metode yang dilakukan pada saat praktikum kali ini adalah preparat histologi diamati menggunakan mikroskop elektrik kemudian dibedakan lalu diketahui fungsinya. Semua hasil pengamatan digambar menggunakan pensil warna pada kertas kerja. Hasil pengamatan dijelaskan kembali dan dipresentasikan ke asisten dan praktikan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Reproduksi merupakan salah satu kemampuan hewan yang sangat penting. Suatu jenis hewan akan segera punah tanpa kemampuan tersebut. Oleh karena itu, perlu dihasilkan sejumlah  individu baru yang akan mempertahankan jenis suatu hewan. Proses pembentukan individu baru inilah yang disebut reproduksi (Isnaeni, 2006). Reproduksi pada hewan betina adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan seluruh tubuh hewan itu. Sistem reproduksi itu sendiri terdiri dari dua buah ovari, dua buah tuba uterii (fallopi), uterus, vagina, dan vulva (Frandson, 1992).

Adenohyphophysis

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, hypophysis dibagi menjadi 2, yaitu adenohypophysis dan neurohypophysis. Menurut Bloom and Fawcett (1994), dua subdivisi utama dari kelenjar adalah neurohypophysis (lobus posterior), yang berkembang sebagai penumbuhan ke bawah dari diensefalon otak, dan adenohypophysis, yang berkembang berupa evaginasi dari atap faring embrional. Menurut Heffer dan Schust (2010), hypophysis memiliki tiga lobus yaitu adenohypophysis yang secara embriologis berasal dari ekstoderm di sepanjang faring dorsal dan membentuk kantung yang dikenal sebagai kantung rathke, neurohypophysis berukuran lebih kecil dan secara embriologis berasal dari neuroektoderm, dan pars intermedia yang merupakan suatu struktur kecil di bagian tengah antara adenohypophysis dan neurohypophysis, sebenarnya merupakan bagian dari adenohypophysis. Menurut Bloom and Fawcett (1994), pars distalis merupakan bagian yang menghasilkan hormon, ada 2 macam dari pars distalis yaitu kromofob dan kromofil. Sel-sel kelenjar secara tradisional digolongkan sebagai kromofil atau kromofob berdasarkan keasaman, atau tiadanya afinitas terhadap pewarna yang umum dipakai sebagai pulasan rutin bagi sediaan histologik. Kromofil dibagi menjadi dua macam berdasarkan respon terhadap zat warna, yaitu asidofil, yang mempunyai respon terhadap zat warna asam (orange dan merah) yang di dalam sitoplasmanya terdapat banyak granule, dan basofil, yang mempunyai respon terhadap zat warna basa (biru dan ungu) yang mempunyai granule yang jumlahnya tidak sebanyak acidophile. Menurut Bloom and Fawcett (1994), dapat dibedakan 2 jenis asidofil secara imunisitokimia dan pada mikograf elektron, somatotrof, asidofil mengandung banyak sekali granule bulat berdiameter 300 sampai 350 nm dan disebut somatotrof atau sel STH, dan mamotrof atau laktotrof, cenderung tersebar satu-satu dalam lobus anterior daripada dalam kelompok atau korda, menghasilkan hormon laktogenil prolaktin. Asidofil menghasilkan 2 hormon, yaitu STH (Somatothrophs Hormone) yang dihasilkan oleh sel somatotrop yang berperan dalam merangsang sintesis protein dan metabolisme lemak, dan prolaktin yang dihasilkan oleh sel lactotrop yang berperan dalam membantu kelahiran dan memelihara sekresi susu oleh kelenjar susu.

Basofil hypophysis anterior tidak mudah diidentifikasi dalam sediaan yang dipulas dengan hematoksilin eosin, namun terpulas dengan biru anilin dari pulasan trikrom. Tirotrof menyekresi hormon perangsang-tiroid (TSH atau Tyroid Stimulating Hormone), juga disebut tirotrofin. Kortikotrof menggetahkan adrenokortikotrofin (ACTH atau Adrenocorticotropic Hormone), juga disebut kortikotrofin. Gonadotrof menggetahkan hormon perangsang-folikel (FSH atau Follicle Stimulating Hormone) dan hrmon pelutein (LH atau Luteinezing Hormone) (Bloom and Fawcett, 1994). Menurut Sonjaya (2009), Adrenocorticotropic hormone memainkan peran penting dalam memulai proses kelahiran pada beberapa spesies. Tyroid stimulating hormone berfungsi merangsang pertumbuhan jumlah dan ukuran sel-sel folikel tiroid dan merangsang pelepasan hormon-hormon tiroid. Follicle stimulating hormone berfungsi untuk merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium. Luteinizing hormone berperan dalam pematangan ovum, ovulasi, dan pembentukan korpus luteum. Prolaktin berfungsi untuk memulai dan memelihara sekresi susu dari kelenjar mammae.

Mekanisme kontrol umpan balik juga terlibat dalam simulasi atau inhibisi sekresi hormon. Peningkatan kadar zat hormon atau nonhormon dalam darah mengakibatkan inhibisi sekresi hormon selanjutnya, maka mekanisme ini disebut sistem umpan balik negative. Kadar zat hormon atau nonhormon dalam darah mengakibatkan peningkatan sekresi pada kelenjar endokrin, mekanisme ini disebut umpan balik positif (Sloane, 2004). GnRH dari hipotalamus menstimulir pelepasan FSH dan LH dari pituitari anterior. FSH menstimulir produksi estradiol dan inhibin pada sel-sel granulose di dalam folikel ovarium. Inhibin secara selektif menghambat pelepasan FSH. Saat progesteron rendah, konsentrasi estradiol yang tinggi menstimulir gelombang GnRH, FSH dan LH sebagai umpan balik positif. LH menstimulir produksi dan pelepasan progesteron dari sel-sel granulose di dalam corpus luteum. Konsentrasi progesteron yang tinggi menghambat pelepasan GnRH, FSH dan LH sebagai umpan balik negatif (Yusuf, 2012).

Ovarium

            Ovarium adalah tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis, dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel) (Yuwanta, 2004). Ovarium merupakan kelenjar ganda, yaitu sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin, misal mampu menghasilkan ovum dan menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Menurut Abidin et.al. (2012), ovarium menghasilkan estrogen yang mempunyai peran penting dalam intensitas berahi. Menurut Hendrik (2006), bentuk dan struktur ovarium terdiri atas dua bagian, yaitu, bagian korteks (lapisan luar atau kulit), yang terdiri atas tunika albuginea, jaringan ikat, folikel-folikel primordial dan folikel de Graaf (yang berisi sel ovum, stratum granulosum, sel-sel teka interna dan eksterna, diskus proligerus, dan liquor atau cairan folikel), dan bagian bagian medula (lapisan tengah atau inti), yang terdiri atas pembuluh-pembuluh darah, serabut saraf, dan beberapa jaringan otot polos.

Istilah estrogen berarti suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai hormon kelamin betina dan merangsang kelenjar-kelenjar kelamin asesoria betina. Estron, estradiol, dan estriol adalah hormon-hormon alamiah yang diproduksi oleh ovari atau palsenta hewan mamalia. Kerja estrogen pada organ kelamin asesoris umumnya dapat dikaitkan cukup erat dengan tingkah laku estrus yang khas dari seekor hewan. Estrogen merangsang aktivitas muskular dari tuba uterus dan menaikkan kepekaan organ-organ tersebut untuk kerja progesteron. Perubahan yang terjadi pada uterus yang dirangsang oleh estrogen adalah penaikan kadar air dalam sel, DNA, RNA, sintesis protein, dan aktivitas enzim. Epitel yang melapisi vagina dan vulva dirangsang oleh estrogen daripada beberapa spesies timbul kornifikasi selama estrus. Level estrogen yang meningkat tidaklah diragukan lagi sebagai faktor penting dalam perkembangan libido, dorongan seksual yang berkaitan dengan penerimaan terhadap pejantan oleh betina yang sedang estrus. Estrogen yang menaikkan kepekaan uterus bunting terhadap kerja oksitosin dari neurohipofisis kelenjar pituitari (Frandson, 1992). Progesteron terutama dihasilkan oleh korpus luteum, tetapi juga didapati di adrenal, korteks, plasenta, dan testes. Progesteron dikenal sebagai hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang dibuahi. Progesteron menghambat motilitas uterin yang berlebihan selama periode implantasi dan dalam periode kebuntingan. Nampaknya, perubahan rasio estrogen dan progesteron dapat menaikkan kepekaan uterus terhadap oksitosin dan mungkin yang menyentakkan kelahiran. Progesteron menahan timbulnya ovulasi selama kebuntingan melalui inhibisi umpan balik FSH dan LH dari adenohypophysis. FSH memegang peran utama dalam pemasakan folikel, sedangkan LH berperan sangat penting dalam ovulasi. Progesteron bekerja pada kelenjar mamari, yang sebelumnya telah dilakukan oleh estrogen. Progesteron merangsang perkembangan yang sempurna dari alveoli kelenjar mamari. Progesteron juga cenderung untuk menaikkan suhu tubuh, dan hal ini pada manusia digunakan untuk petunjuk dalam menentukan saat ovulasi. Penaikan suhu berkaitan dengan ovulasi dan pelepasan progesteron dari korpus luteum (Frandson, 1992).

Folikel ovarium mengalami tiga tahap pertumbuhan. Pada embrio, demikian pula pada betina pascalahir, sebagian besar folikel-folikelnya berupa folikel primer. Folikel-folikel tersebut membentuk lapisan tebal di bawah tunika albuginea dan memiliki ciri khusus, yaitu bahwa ova yang terdapat di dalamnya tidak memiliki membrana vitelina. Ova dikelilingi oleh banyak lapisan sel-sel folikel, yang kemudian akan membentuk lapisan granulosa pada sebuah membrana (zona pelusida) dan bila folikel sudah tumbuh, maka folikel ini disebut folikel sekunder. Tahap ini, folikel berbentuk lebih bulat telur (oval) dan sudah bergerak menjauhi korteks dan mendekati bagian medula ovarium. Akhirnya terbentuklah suatu ruangan yang tersisi cairan (antrum) di sekitar ova dan lapisan sel-sel granulosa mengelilinginya. Cairan itu disebut cairan folikuler atau likuor folikuli. Folikel-folikel yang telah memiliki antra disebut folikel tersier, dan perbedaan utama antara folikel tersier dan folikel de Graaf yang telah masak adalah pada ukurannya. Antrum membesar sampai mencapai seluruh ketebalan korteks ovarium pada saat folikel tumbuh. Folikel yang masak membesar, karena penimbunan cairan folikuler dan melepuh ke atas permukaan bebas dari ovarium (Nalbandov, 1990). Fase proestrus ditunjukkan dengan dimulainya proses pembesaran folikel ovarium terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi cairan estrogenik. Fase estrus ditunjukkan dengan pematangan folikel de Graaf dan mencapai ukuran maksimal, ovum mengalami perkembangan ke arah pematangan dan terjadi ovulasi. Fase metestrus ditandai dengan ditemukan adanya korpus hemoragikum di bekas tempat yang ditempati oleh folikel de Graaf, dan setelah ovulasi terjadi maka dinding folikel menjadi kolaps (Jalaluddin, 2014).

Estrus adalah suatu saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus estrus adalah jarak antara estrus yang satu sampai pada estrus berikutnya. Satu siklus estrus dibagi menjadi 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Proestrus atau fase persiapan (3 sampai 4 hari) adalah fase terjadi perubahan tingkah laku yaitu betina menjadi sedikit gelisah, alat kelamin bagian luar mulai memperlihatkan tanda-tanda bahwa terjadi peningkatan peredaran darah di daerah ini. Perubahan pada alat kelamin bagian dalam yaitu pada ovarium ditandai corpus luteum mulai regresi dan terjadi pertumbuhan folikel tersier menjadi folikel de Graaf. Cervix mulai merelaks dan kelenjar-kelenjar lumen cervix mulai memproduksi lendir. Betina masih menolak pejantan yang datang. Fase estrus (1 hari) ternak betina menunjukkan perubahan tingkah laku yaitu keluarnya lendir jernih, terang tembus cahaya dari cervix yang mengalir melalui vagina dan vulva, gelisah, pangkal ekor terlihat sedikit, sapi betina sering kali memperlihatkan perubahan warna pada vulva, yaitu bengkak (oedem), kemerahan, dan sedikit agak panas, mencoba menunggangi temannya dan diam bila ditunggangi sapi lain, melenguh-lenguh. Perubahan organ kelamin bagian dalam yaitu ovum yang dikandung folikel telah cukup masak, dinding folikel menjadi tipis dan menonjol keluar, jumlah lendir dan jumlah sekresi lendir dari cervix bertambah. Fase metestrus (1 sampai 2 hari) terjadi gejala estrus masih terlihat, tetapi hewan betina menolak pejantan untuk aktivitas kopulasi. Tanda-tanda dalam organ reproduksi yaitu ovum diovulasikan dan telah berada dalam tuba fallopii, cervix telah menutup, sekresi cairan cervix berubah dari cair menjadi kental. Fase diestrus (15 sampai 17 hari), dalam periode permulaan diestrus, endometrium memperlihatkan terjadi pertumbuhan kelenjar endometrium dari panjang menjadi berkelok-kelok, yang berkelok-kelok menjadi spiral. Fase ini ternak terlihat tenang dan pada fase pertengahan kelenjar endometrium berdegradasi tinggal kelenjar permukaan yang pendek (Widayati et. al., 2008).

Ovulasi adalah suatu proses terlepasnya sel telur (ovum) dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak (folikel de Graaf). Sel telur yang telah dilepaskan oleh ovarium akan ditangkap oleh bagian infundibulum dari tuba falopi, dengan bantuan rambut getar (fimbriae) yang pada saat ini selalu bergerak aktif untuk menangkap sel telur. Sel telur yang dilepaskan masih dalam keadaan diseliputi oleh sel granulosa. Kumulus ooporus memegang sel telur pada sisi yang berlawanan dengan tempat dinding folikel yang sobek. Sobeknya dinding terjadi pada bagian apek dari folikel. Sel paling luar dulu yang sobek, sel folikel di bawahnya menyembul pada bagian yang sobek tersebut membentuk stigma atau papila yang licin permukaannya. Tekanan yang lebih besar dari dalam folikel menyebabkan stigma menonjol kemudian robek dan cairan folikel keluar. Interval yang singkat, sel telur bergerak menuju ke bagian yang terbuka (robek). Lebih banyak cairan mengalir keluar dari folikel membawa sel telur yang masih diikat oleh kumulus ooporus, kemudian ditangkap oleh fimbriae dari infundibulum. Waktu yang dibutuhkan oleh seluruh proses ovulasi akan singkat bila sel telur berada di dasar folikel, dan lama bila sel telur berada dekat pada stigma yang menonjol di permukaan ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Setelah ovulasi, ruang folikuler terisi dengan darah dan cairan limpa. Beberapa spesies misalnya pada babi, cairan tersebut sangat meregangkan folikel yang telah mengalami ovulasi, sehingga selama lima sampai tujuh hari setelah pecah, folikel tersebut lebih besar dari saat-saat sebelumnya. Spesies lain biasanya pada domba dan sapi, penimbunan cairan tidak mencolok, dan bahkan folikel lebih keil dari sebelum terjadinya ovulasi. Pada saat luteinasi mengalami kemajuan, maka bekuan darah secara berangsur-angsur diserap, dan akhirnya ruangnya terisi korpus luteum. Secara histologis, korpus luteum hampir seluruhnya terdiri atas sel-sel granulosa, tetapi sel-sel teka pun dapat ikut dalam pembentukan korpus luteum tersebut. Bertambah besarnya ukuran folikel terjadi karena hipertrofi, hiperplasia sel-sel granulosa, dan sel-sel teka. Kecuali pada manusia, kedua tipe sel ini umumnya kehilangan identitasnya sesudah membentuk korpus luteum. Korpus luteum melewati puncak aktivitas fungsionalnya, maka semakin banyak jaringan pengikat, lemak, dan substansi mirip hialin timbul di antara sel-sel luteal. Seluruh korpus luteum juga kehilangan warna merah-coklat yang semula dimilikinya dan berubah menjadi putih atau coklat pucat. Bangunan ini kemudian disebut korpus albikan (Nalbandov, 1990).

Oviduct

Tuba uterina (oviduktus) bersifat bilateral, strukturnya berliku-liku, yang menjulur dari daerah ovarium ke kornua uterina dan menyalurkan ovum, spermatozoa dan zigot. Tiga segmen tuba uterina dapat dibedakan, yakni infundibulum, berbentuk corong besar, ampula, bagian berdinding tipis yang mengarah ke belakang dari infundibulum, dan isthmus, segmen berotot sempit yang berhubungan langsung dengan uterus (Dellman and Brown,1992). Menurut Sloane (2004), setiap tuba uterin dengan panjang 10 cm dan berdiameter 0,7 cm, ditopang oleh ligamen besar uterus. Salah satu ujungnya melekat pada uterus dan ujung lainnya membuka ke dalam rongga pelvis. Infundibulum adalah ujung terbuka menyerupai corong (ostium) pada tuba uterin. Bagian inti memiliki prosesus motil menyerupai jaring (fimbriae) yang merentang di atas permukaan ovarium untuk membantu menyapu oosit terovulasi ke dala tuba. Ampula adalah bagian tengah segmen tuba, dan Isthmus adalah segmen terdekat dari uterus.

Epitel tuba uterina berbentuk silinder sebaris atau silinder banyak baris dengan silia aktif (kinosilia) pada epitel bagian terbesar. Sel tipe bersilia maupun sel tanpa silia dilengkapi dengan mikrovili. Sel-sel tinggi dan yang bersilia sering tampak di daerah kranial ujung dari tuba uterina dan pada sapi betina, banyak yang tampak justru pada saat berahi (estrus). Tunika mukosa-submukosa pada ampula membuat lipatan tinggi, terutama pada babi dan kuda betina. Tunika muskularis terutama terdiri dari berkas otot polos melingkar, memanjang dan miring. Tunika serosa ada dan terdiri dari jaringan ikat mengandung pembuluh darah dan saraf (Dellman and Brown, 1992). Tunika mukosa membentuk tonjolan bercabang. Tonjolan itu membentuk beberapa alur longitudinal, yang dikira untuk melancarkan penyaluran spermatozoa atau oosit yang sudah dibuahi. Tunika mukosa berfungsi sebagai penghasil mukus untuk melicinkan lumen. Tunika muskularis terletak di bawah tunika mukosa. Tunika muskularis berfungsi sebagai kontraksi dari oviduct.  Kedua tunika dibatasi oleh lapisan tipis jaringan ikat. Tunika ini dibina atas serat otot polos, yang terdiri dari dua lapis, sirkuler sebelah dalam dan longitudinal sebelah luar. Lapisan otot ini berperan untuk kontraksi tuba, yang perlu untuk melancarkan transport spermatozoa atau oosit. Tunika serosa adalah penerusan selaput peritoneum, dibina atas serat jaringan ikat dan dilapis sebelah luar sekali oleh sel mesotel yang gepeng. (Yatim, 1990). Tunika serosa berfungsi melindungi oviduct agar tidak bergesekan dengan organ lain.

Uterus

Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pir, terletak di dalam pelvis, antara rektum di belakang dan kandungan kencing di depan (Pearce, 1995). Dinding uterus memiliki tiga lapisan, yaitu perimetrium, miometrium dan endometrium. Menurut Gruendeman dan Fernsebner (1996), dinding uterus memiliki tiga lapisan, lapisan luar dibentuk oleh peritoneum, lapisan tengah adalah lapisan otot yang disebut miometrium, dan lapisan dalam adalah endometrium yang melapisi rongga rahim. Menurut Farrer (1996), fungsi uterus adalah untuk  menyediakan tempat yang sesuai bagi ovum yang sudah dibuahi agar ovum tersebut dapat menanamkan diri, memberikan perlindungan dan nutrisi kepada embrio atau janin sampai tercapai maturitas, mendorong keluar janin dan plasenta pada persalinan, dan mengendalikan perdarahan dari tempat pelekatan plasenta melalui kontraksi otot-otot yang saling berjalin tersebut.

Membran mukosa yang menyelimuti uterus adalah suatu struktur kelenjar yang disebut tunika mukosa (endometrium). tunika mukosa (endometrium) berfungsi sebagai penghasil mukus yang berguna untuk melicinkan lumen. Ketebalannya bervariasi seperti halnya vaskularitasnya berdasar pada perubahan-perubahan hormonal ovari ketika dalam masa kebuntingan. Epitel yang menutupi membran mukosa, pada kuda dan anjing merupakan jenis kolumnar sederhana, tetapi pada babi dan ruminansia adala epitel kolumnar berstrata. Tunika muskularis (miometrium) adalah suatu bagian muskular dari dinding uterus dan berfungsi untuk kontraksi dari uterus. Tunika ini terdiri atas lapis melingkar bagian dalam yang tebal dari otot polos serta otot polos luar, longitudinal yang lebih tipis. Keduanya dipisahkan oleh lapis vaskular (pembuluh darah di dalam jaringan pengikat). Selama kebuntingan, jumlah otot di dinding uterus sangat meningkat, baik karena menunjuknya uluran (hipertrofi) maupun jumlah (hiperplosia). Tunika serosa (perimetrium) (serosa yang menutupi uterus) bersambungan dengan peritoneum yang dikenal sebagai ligamen lebar, yang mendukung genitelia internal. Tunika serosa (perimetrium) berfungsi sebagai pelindung dari uterus agar tidak bergesekan dengan organ lain. Ligamen ini terdiri dari mesovarium, yang mendukung ovari adalah mesosalpink, yang mendukung oviduk; dan mesometrium, yang mendukung uterus. Pada kebanyakan ruminansia, ligamen lebar itu bersambung dengan peritoneum parietal di daerah lumbal, demikian rupa sehingga tanduk uterin, oviduct, dan ovari ditahan pada dua garis pararel menuju ke bidang median, dengan tiap ovari terletak persis di belakang ginjal yang bersangkutan. Namun demikian, pada hewan ruminansia, perlekatan ligamen lebar adalah dorsalateral, di daerah ilium, menyebabkan uterus tersusun seperti tanduk seekor domba jantan dengan konveksitas dorsal, kemudian kranial, dan ventral, degan ovari terletak dekat dengan ‘pinggiran’ pelvis (Frandson, 1992).

 

Kesimpulan

 

Sistem organ reproduksi betina terdiri dari adenohypophysis, ovarium, oviduct, uterus. Adenohypophysis terdiri dari pars distalis dan pars tuberalis. Pars distalis  merupakan bagian yang mensekresikan STH, ACTH, TSH, FSH, LH, dan LTH yang berperan dalam reproduksi ternak. Ovarium sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang menyekresikan hormon-hormon kelamin betina (estrogen dan progesteron). Oviduct terdiri atas lapisan bagian luar yang merupakan jaringan pengikat dasar (tunica serosa) berfungsi melindungi oviduct agar tidak bergesekan dengan organ lain, lapisan bagian tengah yang tersusun dari serabut-serabut otot polos sirkuler dan longitudinal (tunica muskularis) yang berfungsi untuk kontraksi dari oviduct, lapisan bagian dalam yang terdiri atas sel-sel epithelium bersilia dan epithelium sekretoris (tunica mukosa) yang berfungsi sebagai penghasil mukus. Uterus terdiri dari endometrium (tunika mukosa) yang berfungsi menghasilkan mukus untuk melicinkan lumen, miometrium (tunika muskularis) yang berfungsi untuk kontraksi dari uterus, dan perimetrium (tunika serosa) yang berfungsi melindungi uterus agar tidak bergesekan dengan organ lain.

 

Daftar Pustaka

 

Abidin, Z., Ondho, Y.S., dan Sutiyono, B. 2012. Penampilan Berahi Sapi Jawa Berdasarkan Poel 1, Poel 2, dan Poel 3. Fakultas Peternakan dan Pertanian UNDIP. Semarang.

Anonim. 2002. Female Reproductive System Anatomy And Histology. (http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/APIINotes2%20female%20reproductive%20anatomy.htm). Accesion date at October 8th, 2014 time 20.22 WIB.

———–. 2006. Histologi Adenohypophysis. (http://library.med.utah.edu/WebPath/ENDOHTML/ENDO093.html). Accesion at October 8th, 2014 time 20.26 WIB.

Arimbawa, I Wayan P., I Gusti N.B.T., dan Tjok Gde O.P. 2012. Gambaran Hormon Progesteron Sapi Bali Selama Satu Siklus Estrus. Fakultas Kedokteran Hewan UDAYANA. Bali.

Bloom and Fawcett. 1994. Buku Ajar Histologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Dellman, H.D., dan Brown, E.M. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. UI-Press. Jakarta.

Farrer, Helen. 1996. Perawatan Maternitas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Frandson, R.D. 1992. Anatomi Dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gibson, John. 2003. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Gruendeman, B.J., Fernsebner, B. 1996. Buku Ajar Keperawatan Perioratif. Penerbit Buku Kesehatan EGC. Jakarta.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.

Hendrik. 2006. Problema Haid Tinjauan Syariat Islam Dan Medis. Penerbit Tiga Serangkai. Solo.

Hunter, R.F.H. . Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB. Bandung.

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Jalaluddin, M. 2014. Morfometri Dan Karakteristik Histologi Ovarium Sapi Aceh (Bos indicus) Selama Siklus Estrus. Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala. Banda Aceh.

Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia Dan Unggas. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Pearce, E.C. 1995. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerbit Buku Kesehatan EGC. Jakarta.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Sonjaya, Herry. 2009. Dasar Fisiologi Ternak. IPB Press. Bogor.

Yatim, Wildan. 1990. Biologi Modern Histologi. Penerbit Tarsito. Bandung.

Yusuf, M. 2012. Ilmu Reproduksi Ternak. Universitas Hasanudin. Makasar.

Yuwanta, Tri. 2004. Dasar-dasar Ternak Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

 

Download file Laporan Histologi Betina

Laporan Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak Acara Histologi Jantan

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU REPRODUKSI TERNAK

ACARA II

HISTOLOGI JANTAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

Nurus Sobah

PT/06587

XVI

Asisten : Awin Pinasthika

 

 

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


ACARA II

HISTOLOGI ORGAN REPRODUKSI JANTAN

TINJAUAN PUSTAKA

            Reproduksi merupakan salah satu kemampuan hewan yang sangat penting. Tanpa kemampuan tersebut, suatu jenis hewan akan segera punah. Oleh karena itu, perlu dihasilkan sejumlah besar individu baru yang akan mempertahankan jenis suatu hewan. Proses pembentukan individu baru inilah yang disebut reproduksi (Isnaeni, 2006). Organ kelamin jantan umumnya mempunyai bentuk yang hampir bersamaan, terdiri dari testis yang terletak di dalam skrotum, saluran-saluran organ kelamin, penis, dan kelenjar asesoris. Organ kelamin jantan dibagi menjadi organ kelamin primer berupa testis, dan organ kelamin sekunder berbentuk saluran-saluran yang menghubungkan testis dengan dunia luar yaitu ductus eferens, epididimis, ductus deferens, dan penis yang di dalamnya terdapat uretra, dipakai untuk menyalurkan air mani dan cairan asesoris keluar pada waktu ejakulasi (Hardjopranjoto, 1995).

Testis

            Organ primer jantan disebut testis. Struktur kecil yang berbentuk oval ini tersokong dalam suatu pounch yang menyerupai kantong yang disebut skrotum. Testis terdapat sejumlah lobus-lobus yang berdesakan, masing-masing mengandung tubulus seminiferus yang berbelit-belit. Sel-sel sertoli ditemukan sepanjang tubulus, tempat di mana sperma tumbuh. Tubulus ini juga menyekresikan sebagian besar cairan seminalis, atau semen, yang merupakan organ transportasi sperma. Sel-sel interstisial testis merupakan sumber dari hormon testosteron (Hamilton, 1995). Testes (testikel) agak bervariasi dari spesies ke spesies dalam hal bentuk, ukuran dan lokasi, tetapi struktur dasarnya adalam sama. Masing-masing testis terdiri dari banyak sekali tubulus seminiferus yang dikelilingi oleh kapsul berserabut atau trabekula melintas masuk dari tunika albuginea untuk membentuk kerangka atau stroma, untuk mendukung tubulus seminiferus. Trabekula bergabung membentuk korda fibrosa, yaitu mediastinum testis (Frandson, 1992).

Epididimis

Epididimis ialah suatu struktur seperti selang yang berbelit-belit dan membentuk tanda koma serta memiliki panjang  sekitar 6 meter. Kepala epididimis menutupi aspek superior testis sementara bagian badan dan ekor epididimis terletak di aspek posterolateralis testis. Fungsi epididimis ialah untuk menyimpan dan mentranspor sperma. Sperma yang belum matang dari testis memasuki epididimis, menjadi motil dan fertil selama perjalanan 20 hari. Selama ejakulasi, otot polos di dinding epididimis berkontraksi dan sperma akan dikeluarkan ke dalam ductus deferens (Henderson and Kathleen, 1997).

Ductus deferens

Setiap gerakan epididimis mengalir ke atas melalui duktus seminalis. Ductus ini disebut ductus deferens, yang mempunyai panjang sekitar 18 inci dan membawa semen ke uretra. Pembuluh dan duktus testikuler, saraf, dan limfatik terbungkus di dalam selaput fibrosa, medula spermatik (Hamilton, 1995). Ductus deferens meninggalkan ekor epididimis bergerak melalui kanal inguinal yang merupakan bagian dari korda spermatik dan pada cincin inguinal internal memutar ke belakang, memisah dari pembuluh darah dan saraf dari kordda. Dua ductus deferens mendekati uretra, bersatu dan kemudian ke dorso kaudal kandung kencing, serta dalam lipatan peritonium yang disebut lipatan urogenital (genital fold) yang dapat disamakan dengan ligamentum lebar pada betina. Ada yang homolog dengan uterus pada beberapa hewan, yaitu uterus maskulinus yang merupakan lipatan genital di antara dua ductus deferens. Struktur homolog tersebut mempunyai asal usul embriologi yang sama (Frandson, 1992).

Penis

Penis adalah organ yang berbentuk silindris tempat lewatnya uretra. Penis terdiri dari jaringan erektil spongiosa yang kaya akan pembuluh darah. Penis tergantung dan lemas ketika dalam keadaan relaksasi. Sistem saraf otonom, ruangan darah menjadi membengkak, menyebabkan kekakuan, perbesaran, dan ereksi ketika terdapat rangsangan mental dan fisik. Glans penis merupakan struktur pada bagian ujung distal ditutupi dengan kulit yang melipat dua kali untuk membentuk selubung yang disebut foreksin atau prefisium (Hamilton, 1995)

 

MATERI DAN METODE

 

Materi

            Alat. Alat yang digunakan pada praktikum histologi organ reproduksi jantan adalah mikroskop, poster, papan tulis, dan kertas kerja.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum histologi organ reproduksi jantan adalah preparat histologi (testis, epididimis, ductus deferens, dan penis).

 

Metode

            Metode yang digunakan pada praktikum histologi organ reproduksi jantan adalah mengamati, membedakan, mengetahui fungsi, dan menggambar bagian-bagian dari organ reproduksi yang diberikan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan poster. Semua hasil pengamatan digambar menggunakan pensil warna pada kertas kerja.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

            Sistem reproduksi jantan pada mamalia terdiri dari dua testes (testikel) yang terbungkus di dalam skrotum, organ-organ tambahan meliputi duktus-duktus, kelenjar-kelenjar dan penis. Testis menghasilkan spermatozoa (sel-sel kelamin jantan, juga disebut sperma) dan testosteron atau hormon kelamin jantan. Skrotum memberikan lingkungan yang lebih cocok, berupa temperatur yang lebih rendah untuk menghasilkan spermatozoa untuk mencapai ovum pada hewan betina sebagai tujuan akhir, dalam kondisi yang menguntungkan untuk pembuahan ovum. Struktur-struktur ini meliputi epididimis dan duktus deferens pada masing-masing testis, kelenjar-kelenjar kelamin aksesoris (ampula, kelenjar-kelenjar vesikular atau vesikula seminalis, prostat dan kelenjar-kelenjar bulbouretral), dan uretra dan penis (Frandson, 1992).

Testis

Sebagian besar hewan mamalia, testis ada sepasang, bentuknya bulat telur atau lonjong, dan berada di dalam rongga skrotum. Golongan rodensia, testis dapat dengan mudah berpindah-pindah dari dalam rongga skrotum ke dalam rongga perut. Keadaan ini terjadi pada musim kawin yang testisnya berada di dalam skrotum sedang di luar musim kawin testis berada di dalam rongga perut. Fungsi skrotum adalah membantu memelihara suhu yang rendah dari testis yaitu 70F di bawah suhu tubuh, dengan jalan mengadakan pengkerutan dan pengendoran dari dinding skrotum tersebut. Proses spermatogenesis dapat berjalan secara sempurna (Hardjopranjoto, 1995). Testis terdiri dari 3 jaringan, yaitu tubulus seminiferus, epitel tubulus seminiferus terdiri dari dua macam sel yang berbeda, yang pertama sel sertoli adalah yang mempunyai bentuk panjang dan kadang-kadang seperti piramid. Sel ini terletak dekat atau di antara sel-sel germinatif. Sel ini bersifat fagosit karena mereka memakan sel-sel mani yang telah mati atau yang telah mengalami degenerasi, selain ia sendiri memberi makan kepada sel-sel mani yang masih muda, dan sel germinatif adalah yang akan mengalami perubahan-perubahan selama proses spermatogenesis, sebelum mereka siap untuk mengadakan fertilisasi. Tingkat perkembangan adalah sebagai berikut, spermatogonia (sel paling muda) akan mengalami pembagian mitosis beberapa kali menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer membagi diri menjadi spermatosit sekunder. Tiap sel spermatosit sekunder akan membagi lagi dirinya menjadi spermatid, pada saat ini jumlah kromosom akan menjadi setengahnya (haploid). Tiap-tiap sel spermatid akan mendewasakan diri menjadi sel-sel spermatozoa atau sel mani. Sel stroma atau tenunan pengikat di luar tubulus seminiferus. Pada jaringan ini terapat pembuluh darah, limfe, sel saraf, dan sel makrofag. Sel interstisial dan sel-sel leydig. Sel leydig dapat menghasilkan hormon testosteron. Namun hormon testosteron juga dapat dihasilkan oleh ovarium dan kelenjar adrenal (Hardjopranjoto, 1995).

Inhibin dihasilkan oleh sel sertoli pada testes. Inhibin melalui umpan balik negatif akan menghambat sekresi FSH dari hipofisa anterior. Sedangkan testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig dibawah pengaruh hormon LH mempunyai 8 mekanisme umpan balik negatif terhadap hypothalamus dan hipofisa sehingga menghambat sekresi gonadotrophin oleh hipofisa anterior. Sel sertoli bentuknya cukup besar, demikian pula bentuk tight junctionnya, maka secara fungsional sel sertoli membagi tubulus seminiferus kedalam dua bagian sebagai tempat perkembangan spermatozoa. Bagian dasar di bawah tight junction berhubungan dengan sistem sirkulasi dan berupa ruang sebagai tempat spermatogonia berkembang menjadi spermatosit primer. Tight junction akan terbuka pada waktu-waktu tertentu dan diikuti dengan pergerakan spermatosit menuju ke bagian adluminal. Meiosis terjadi di dalam adluminal secara lengkap serta perkembangan sel spermatid didukung oleh sel sertoli. Pada waktu yang sama, sitoplasma dari spermatid diaktifkan oleh gertakan sel sertoli dan spermatozoa dikeluarkan menuju lumen tubulus. Pada waktu yang sama, tiga hormon yang diproduksi oleh testis yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi spermatogenesis. Ketiga hormon ini adalah testosteron, estradiol dan inhibin. Sel leydig memproduksi testosteron dan ditempatkan di dekat tubulus seminiferus. Sel sertoli terletak di dekat tubulus seminiferus dan memproduksi estradiol serta inhibin (Lestari, 2007).

Menurut Isnaeni (2006), spermatogenesis adalah proses pembentukan sperma (gamet jantan) yang terjadi dalam testis, tepatnya pada tubulus seminiferus. Testis mamalia tersusun atas ratusan tubulus seminiferus, yang merupakan bagian terpenting dalam proses pembentukan sperma. Bagian yang terdekat dengan dinding tubulus seminiferus, terdapat spermatogonia, yang merupaka sel diploid pembentuk sperma, yang belum terdiferensiasi. Tahapan pembentukan sperma (spermatogenesis) diawali dari pembentukan spermatogonium tipe A, spermatogonium 1n, spermatogonium tipe B, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, dan yang terakhir adalah spermatozoa. Menurut Hardjopranjoto (1995), sel mani diproduksi oleh tubulus seminiferus dari testis. Sel mani berkembang dari sel spermatogonia pada epitel germinatif dari tubulus seminiferus dengan jalan pembelahan. Proses spermatogenesis pada hewan mamalia dibagi menjadi empat tahap yaitu tahap proliferasi, tahap ini dimulai pada testis hewan sejak belum lahir sampai beberapa waktu setelah lahir. Bakat sel kelamin yang ada pada lapisan basal dari tubulus seminiferus melepaskan diri dan membelah secara mitosis sampai dihasilkan banyak sel spermatogonia. Tahap tumbuh, pada tahap ini spermatogonia membagi diri secara mitosis sebanyak empat kali sehingga dihasilkan 16 spermatosit primer. Lama periode ini adalah 15 sampai 17 hari. Tahap menjadi masak, pada tahap ini terjadi pembelahan miosis sehingga sel spermatosit primer berubah menjadi sel spermatosit sekunder dan jumlah kromosom menjadi separonya. Periode ini berjalan selama 15 hari. Beberapa jam kemudian spermatosit sekunder akan berubah menjadi spermatid. Tahap transformasi, pada tahap ini terjadi proses metamorfosa seluler dari sel spermatid sehingga terbentuk sel spermatozoa atau sel mani. Periode ini membutuhkan waktu 15 menit, dari 1 sel spermatogonium akan terbentuk 64 buah sel mani.

Menurut Hardjopranjoto (1995), semua proses spermatogenesis dikontrol oleh sistem endokrin yaitu hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofosa anterior, misalnya FSH (folicle stimulating hormone) mendorong proses spermatogenesis pada hewan jantan. Hormon ICSH (interstitial cell stimulating hormone) atau LH (luteinizing hormone) dari kelenjar hipofosa anterior mempengaruhi produksi hormon testosteron oleh sel-sel leydig dari testis. Hormon testosteron mempunyai fungsi mengatur kelakukan birahi hewan jantan, dan secara tidak langsung mendorong proses spermatogenesis bersama-sama dengan FSH. Hormon jantan juga mempengaruhi fungsi terhadap epididimis, ductus deferens, dan produksi kelenjar asesoris.

Menurut Isnaeni (2006), pengeluaran FSH dirangsang oleh GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone), yaitu hormon pelepas gonadotropin dan hipotalamus. Gonadotropin meliputi FSH dan LH. FSH merangsang sel spermatogenik untuk membelah secara mitosis beberapa kali, dan diakhiri dengan pembelahan meiosis sehingga dihasilkan spermatid yang bersifat haploid. FSH juga merangsang sel sertoli untuk melepaskan zat tertentu yang dapat merangsang dimulainya spermiogenesis (diferensiasi spermatid menjadi sperma). Sel sertoli juga dirangsang oleh testosteron atau androgen (hormon yang dikeluarkan oleh sel leydig). Testosteron merupakan hormon yang juga penting untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi serta ciri seks sekunder pada hewan jantan. Pelepasan testosteron dikendalikan oleh hormon pituitari anterior yang lain, yaitu LH (Luteinizing Hormone), yang pengeluarannya juga dikendalikan oleh GnRH.

Abnormalitas  primer adalah abnormalitas yang terjadi pada saat spermatogenesis yaitu di dalam tubulus seminiferus. Abnormalitas sekunder adalah abnormalitas yang terjadi setelah sperma meninggalkan tubulus seminiferus, selama perjalanan di epididimis, ejakulasi dan faktor-faktor lain (suhu tinggi, tempat penampungan tidak bersih, dan sebagainya) (Widayati et. al., 2008). Bentuk pearshape dibedakan dengan kelainan yang berbentuk seperti buah pear dimana daerah akrosom (anterior) tampak penuh berisi kromatin atau membesar, sedangkan post acrosome sempit sedikit memanjang dengan batas jelas antara daerah anterior dan posterior. Abnormal contour merupakan kelainan bentuk spermatozoa yang secara keseluruhan tidak normal, baik pada bagian kepala maupun ekor. Sedangkan undeveloped merupakan spermatozoa yang tidak mengalami perkembangan sehingga dapat berbentuk kecil, ekor pendek dan dengan pemeriksaan lanjut diperoleh bahwa sel tersebut tidak disusun oleh materi genetik yang lengkap (Bart and Oko, 1998 dalam Riyadhi et al., 2012). Round head adalah abnormalitas pada kepala spermatozoa, dimana kepala spermatozoa berbentuk bulat tanpa ada batas akrosom. Variable size merupakan istilah untuk abnormalitas pada spermatozoa memiliki ukuran kepala lebih besar (macrocephalus) atau lebih kecil (microcephalus) dari ukuran normal spermatozoa umumnya pada spesies tersebut. Double head adalah kejadian dimana kepala spermatozoa memiliki dua kepala dengan satu ekor, kedua kepala tersebut dapat berukuran serupa atau berbeda. Abaxial merupakan bentuk abnormalitas dimana posisi ekor spermatozoa tidak terletak di bagia tengah. Ekor yang seharusnya terletak menempel pada bagian tengah kepala, bergeser ke arah samping dengan membentuk fosa implantasi baru sebagian tempat pertautan ekor. Knobbed acrosome (KA) deferct merupakan kelainan yang terjadi pada bagian akrosom spermatozoa, dimana bentuk kepala tidak mulus tetapi seperti ada lekukan ke arah dalam atau ke arah luar. Detached head adalah keadaan dimana kepala spermatozoa patah atau sampai terlepas dari bagian leher dan ekor. Diadem merupakan jenis abnormalitas spermatozoa dimana terlihat seperti ada lubang-lubang yang ditemukan di daerah nukleus posterior sampai apikal akrosom, batas selubung akrosom atau di seluruh kepala spermatozoa, akan tetapi lebih sering terdapat pada bagian apeks nukleus yang disebabkan invaginasi membran nuklear ke dalam nukleoplasma (Riyadhi et al., 2012).

Secara normal, penurunan testis telah berlangsung sepurna pada waktu lahir atau segera sesudahnya. Ini ditunjukkan oleh korda fibrosa, gubernakulum yang merentang dari testis melalui kanalis inguinalis ke kulit di daerah yang akan menjadi skrotum. Fetus yang semakin membesar menyebabkan gubernakulum berhenti memanjang atau mungkin bahkan memendek, jadi akibatnya menarik testis dari rongga abdominal ke dalam skrotum. Testis yang keluar menuju skrotum, maka testis akan terlipat oleh prosesus vaginalis, suatu pipa peritoneum yang sebelumnya keluar dari rongga abdominalis melalui kanalis inguinalis menuju skrotum (Frandson, 1992). Namun tidak semua testis pada makhluk hidup dapat turun ke skrotum, kadang ada yang masih berada dalam perut, kelainan ini disebut dengan kriptorkid, yaitu testis yang gagal turun menuju skrotum. Menurut Frandson (1992), testis yang tak dapat turun disebut kriptorkid testis dan hewan dengan kondisi seperti itu disebut kriptorkid. Kebanyakan spesies hewan, testis turun ke dalam skrotum bersamaan dengan kelahiran atau sesudahnya. Seekor hewan di mana testis turun ke dalam kanalis inguinalis tetapi tidak masuk ke dalam skrotum disebut high flanker. Kriptorkid dengan kedua testis tertahan di dalam rongga abdominalis mungkin menjadi steril, karena spermatogenesis biasanya tidak secara normal, kecuali kalau temperatur testis lebih dingin daripada temperatur tubuh, suatu keadaan yang umum di dalam skrotum. Namun demikian temperatur yang relatif tinggi pada abdomen tidak berpengaruh terhadap produksi testosteron, sehingga hewan kriptorkid mempunyai aktivitas dan penampilan sebagai jantan yang normal. Kekecualiannya adalah bahwa testis tidak nampak jelas dan spermatozoa tidak dihasilkan.

Epididimis

Epididimis merupakan saluran berkelok-kelok yang menghubungkan testis dengan ductus deferens. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kepala (caput epididimis), bagian badan (corpus epididimis), dan bagian ekor (cauda epididimis) (Hardjopranjoto, 1995). Menurut Frandson (1992), epididimis merupakan pipa panjang dan berkelok-kelok yang menghubungkan vasa eferensia pada testis dengan ductus deferens (vas deferens). Epididimis merupakan saluran spermatozoa yang panjang dan berbelit, terbagi atas caput, corpus, dan cauda epididimidis, melekat erat pada testis dan dipisahkan oleh tunika albugenia (Dyce et al., 1996 dalam Wahyuni et al., 2012). Organ tersebut berperan penting pada proses absorpsi cairan yang berasal dari tubulus seminiferus testis, pematangan, penyimpanan dan penyaluran spermatozoa ke ductus deferens sebelum bergabung dengan plasma semen dan diejakulasikan ke dalam saluran reproduksi betina (Wrobel dan Bregmann, 2006 dalam Wahyuni et al., 2012).

Kepala epididimis melekat pada bagian ujung dari testis di mana pembuluh-pembuluh darah dan saraf masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis longitudinal dari testis dan ekor epididmis selanjutnya menjadi ductus deferens yang rangkap dan kembali ke daerah kepala, di mana kemudian sampai ke korda spermatik. Epididimis berperanan sebagai tempat untuk pemasakan spermatozoa sampai pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan ejakulasi. Spermatozoa belum masak ketika meninggalkan testikel dan harus mengalami periode pemasakan di dalam epididimis sebelum mampu membuahi ovum (Frandson, 1992).

Ductus deferens

Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa ductus deferens tersusun atas lumen, musculus circuler, sel epitel, lamina propria, musculus longitudinal dalam, musculus longitudinal luar, dan tunika serosa. Lumen merupakan saluran berongga yang berfungsi sebagai transport nutrien dan juga transport spermatozoa. Musculus circuler adalah lapisan yang mengelilingi bagian lumen dengan arah seperti berputar dan berfungsi untuk kontraksi. Sel epitel merupakan sel yang berfungsi melindungi bagian lumen. Tunika serosa merupakan bagian terluar dari ductus deferens dan berfungsi sebagai pelindung.

Ductus deferens (vas deferens) merupakan saluran lurus yang mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari epididimis. Ductus deferens tidak menempel pada testis dan ujung salurannya terdapat di dalam kelenjar prostat. Ductus deferens berfungsi sebagai saluran tempat jalannya sperma dari epididimis menuju vesikula seminalis. Menurut Frandson (1992), ductus deferens (vas deferens) adalah pipa berotot yang pada saat ejakulasi mendorong spermatozoa dari epididimis ke ductus ejakulatoris dalam uretra prostatik. Menurut Bahr dan Bakst (1993) dalam Johari et.al. (2009), ductus deferens adalah saluran yang melekat disepanjang medio ventral permukaan ginjal. Ductus deferens mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa sebelum diejakulasikan.

Ductus deferens meninggalkan ekor epididimis bergerak melalui kanal inguinal yang merupakan bagian dari korda spermatik dan pada cincin inguinal internal memutar ke belakang, memisah dari pembuluh darah dan saraf dari korda. Dua ductus deferens mendekati uretra, bersatu dan kemudian ke dorso kaudal kandung kencing, serta dalam lipatan peritonium yang disebut lipatan urogenital (genital fold) yang dapat disamakan dengan ligamentum lebar pada betina. Beberapa hewan ada yang homolog dengan uterus, yaitu uterus maskulinus yang merupakan lipatan genital di antara dua ductus deferens. Struktur homolog tersebut mempunyai asal usul embriologi yang sama (Frandson, 1992).

 

Penis

Penis merupakan salah satu organ reproduksi bagian eksternal dan merupakan selain sebagai organ ekskresi, penis juga berfungsi sebagai organ kopulasi. Menurut Hardjopranjoto (1995), penis mempunyai fungsi sebagai organ kopulasi dan jalan keluar air mani pada waktu ejakulasi dan mendeposisikan air mani pada organ kelamin betina. Permukaan penis terutama kepala penis (glans penis) sangat kaya dengan saraf. Oleh karena itu, bagian ini sangat peka terhadap segala rangsangan, seperti panas, dingin, atau sakit. Menurut Watson (1997), penis adalah organ tubular yang sangat banyak disuplai oleh vena besar yang dapat diisi darah yang menyebabkan organ ereksi. Penis berisi uretra yang merupakan sistem urinarius dan sistem reproduksi pria. Ujung penis terdapat pembesaran, yang disebut glan penis, yang berada di pusat meatus uretra. Menurut Hamilton (1995), penis adalah organ yang berbentuk silindris tempat lewatnya uretra. Penis terdiri dari jaringan erektil spongiosa yang kaya akan pembuluh darah. Keadaan relaksasi, penis tergantung dan lemas. Rangsangan mental dan fisik pada sistem saraf otonom menyebabkan ruangan darah menjadi membengkak, kekakuan, perbesaran, dan ereksi. Glans penis merupakan struktur pada bagian ujung distal ditutupi dengan kulit yang melipat dua kali untuk membentuk selubung yang disebut foreksin atau prefisium (Hamilton (1995). Corpus cavernosum penis berfungsi untuk menegangkan penis ketika ereksi, dan corpus cavernosum urethra berfungsi untuk merelaksasikan penis.

 

KESIMPULAN

 

            Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa organ reproduksi pada jantan berupa testis, epididimis, ductus deferens, dan penis. Testis terdiri dari 3 bagian, yaitu tubulus seminiferus, sel leydig, dan sel sertoli. Sel leydig menghasilkan hormon testosteron, sedangkan sel sertoli menghasilkan hormon estradiol dan inhibin. Epididimis terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian kepala (caput epididimisi), bagian badan (corpus epididimis), dan bagian ekor (cauda epididimis). Epididimis berfungsi sebagai tempat untuk pemasakan spermatozoa sampai pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan ejakulasi. Ductus deferens terdiri atas 3 lapisan, yaitu lamina propria, lamina muskularis, dan tunika serosa. Ductus deferens berfungsi sebagai saluran tempat jalannya sperma dari epididimis menuju vesikula seminalis. Penis merupakan salah satu organ reproduksi bagian eksternal dan merupakan selain sebagai organ ekskresi, penis juga berfungsi sebagai organ kopulasi. Corpus cavernosum penis berfungsi untuk menegangkan penis ketika ereksi dan corpus cavernosum urethra berfungsi untuk merelaksasikan penis.


DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. 2014. Male Reproductive System Epididimis. http://www.histol.chuvashia.com/atlas-en/male-02-en.htm. (Diakses tanggal 02 Oktober 2014 Pukul 12.31 WIB).

Aughey, E., and Frederic L.F. 2001. Comparative Veterinary Histology With Clinical Correlates. Manson Publishing. UK.

Elrod, S., and William S. 2002. Genetika Edisi Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hamilton,P.M. 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.

Henderson, C., and Kathleen J. 1997. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Johari, S., Ondho Y.S., Sri W., Henry Y.B., Ratnaningrum. 2009. Karakteristik dan Kualitas Semen Berbagai Galur Ayam Kedu. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

Lestari, T.D. 2007. Peran Inhibin pada Proses Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Riyadhi, M., R. Iis Arifiantini., Bambang P. 2012. Korelasi Morfologi Abnormalitas Primer Spermatozoa terhadap Umur pada Beberapa Bangsa Sapi Potong. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.

Wahyuni, S., Srihadi A., Muhammad A., Tuty L.Y. 2012. Histologi Dan Histomofetri Testis dan Epididimis Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) pada Periode Ranggah Keras. Jurnal Veteriner. Bogor. Volume 13 no 3 : 211-219. ISSN : 1411-8327.

Watson, R. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Wei, Lan., Ke-Mei Peng, Huazhen Liu, Hui Song, Yan Wang, Lia Tang. 2008. Histological Examination of Testicular Cell Development And Apoptosis In The Ostrich Chick. Journal Veterinarian Animal Science. Tubitak. China. 35 (1) : 7-14.

 

Download file Laporan Histologi Jantan

Laporan Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak Acara Anatomi Betina

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU REPRODUKSI TERNAK
ACARA II
I

ANATOMI BETINA

 

 

 

 

 

Disusun oleh:

Nurus Sobah

PT/06587

 XVI

Asisten : Awin Pinasthika

 

 

LABORATORIUM FISIOLOGI DAN REPRODUKSI TERNAK

BAGIAN PRODUKSI TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2014


 

ACARA III

ANATOMI ORGAN REPRODUKSI BETINA

 

TINJAUAN PUSTAKA

            Organ kelamin betina pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu organ kelamin dalam dan organ kelamin luar. Organ kelamin dalam terdiri dari ovarium, oviduct, cornu uteri, corpus uteri, cervix, dan vagina, sedang organ kelamin luar terdiri dari vulva, clitoris, vestibulum vaginae, dan kelenjar vestibulae. Organ kelamin dalam, kebagian dorsal digantung oleh beberapa penggantung. Ovarium digantung oleh alat penggantung mesovarium dan ligamentum utero ovarika. Oviduct digantung oleh mesosalpinc, sedangkan uterus, cervix, dan sebagian vagina digantung oleh mesometrium atau sering disebut ligamentum lata (Blakely and Bade, 1998).

Ovarium

Ovarium adalah tempat sintesis hormon steroid seksual, gametogenesis, dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel) (Yuwanta, 2004). Ovarium juga memiliki fungsi sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon kelamin betina, yakni estrogen dan progesteron. Estrogen terutama dihasilkan oleh sel-sel teka interna menjadi estrogen. Progesteron terutama dihasilkan oleh sel-sel lutein besar selama metestrus, diestrus dam kebuntingan, di samping dihasilkan pula oleh plasenta (Dellman and Brown, 1992).

Oviduct (Tuba fallopi)

Tuba fallopi juga dikenal dengan istilah oviduct (saluran telur) dan kadang-kadang disebut tuba uterina. Saluran ini terdapat pada setiap sisi uterus dan membentang dari cornu uteri ke arah dinding lateral pelvis (Farrer, 1996). Oviduct bersifat bilateral, strukturnya berliku-liku yang menjulur dari daerah ovarium ke cornu uteri dan menyalurkan ovum, spermatozoa dan zigot. Tiga segmen tuba uterina dapat dibedakan, yakni infundibulum (berbentuk corong besar), ampulla (bagian berdinding tipis yang mengarah ke belakang dari infundibulum, dan isthmus (segmen berotot yang berhubungan langsung dengan uterus (Dellman and Brown, 1992).

Uterus

Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pir, terletak di dalam pelvis, antara rektum di belakang dan kandung kencing di depan (Pearce, 1995). Uterus merupakan tempat implantasi konseptus (zigot yang telah berkembang menjadi embrio). Uterus mengalami serangkaian perubahan selama berahi (estrus) dan daur reproduksi. Pada kebanyakan spesies, uterus terdiri dari kornua bilateral yang dihubungkan dengan tuba uterina, corpus dan cervix yang berhubungan dengan vagina (Dellman and Brown, 1992).

Cervix

            Cervix atau leher uterus berdinding tebal karena berotot dan banyak mengandung serabut elastik. Mukosa-submukosa membentuk lipatan primer tinggi dan berlanjut dengan lipatan sekunder dan tersier. Cervix sapi betina terdapat empat lipatan melingkar dan 15 sampai 25 lipatan memanjang, masing-masing mengandung lipatan sekunder dan tersier. Lipatan tersebut sering memberikan kesan salah pada struktur kelenjar. Kelenjar uterus tidak menjulur dalam cervix pada kebanyakan spesies, dan elemen kelenjar yang terdapat pada cervix kebanyakan bersifat musigen (Dellmann and Brown, 1992).

Vagina

Vagina merupakan buluh berotot yang menjulur dari cervix sampai vestibulum. Lipatan memanjang rendah dari mukosa-submukosa terentang sepanjang vagina. Vagina sapi betina, lipatan melingkar yang penting juga terdapat di bagian kranial vagina. Variasi daur tampak pada tinggi serta struktur epitel. Peningkatan jumlah lendir vagina selama berahi terutama berasal dari cervix. Epitel yang mengalami kornifikasi yang meluas merupakan gejala berahi. Proses ekstensifikasi sangat jelas pada karnivora dan rodensia, tidak terjadi secara nyata pada ruminansia, mungkin karena pengeluaran estrogen yang rendah pada jenis ruminansia pada umumnya (Dellmann and Brown, 1992).

Vulva

Vulva merupakan organ genitalia eksterna, yang terdiri dari vestibulum dan labia. Vestibulum merupakan bagian dari saluran kelamin betina yang berfungsi sebagai saluran reproduksi dan urinaria. Vestibulum bergabung dengan vagina pada external urethal orifice. Vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume darah yang mengalir ke dalamnya. Labia terdiri atas labia mayora (lipatan luar vulva) dan labia minora (lipatan dalam vulva). Labia minora homolog dengan praeputium pada hewan jantan dan tidak menyolok pada hewan ternak. Labia mayora homolog dengan skrotum pada hewan jantan (Widayati et.al., 2008).

Clitoris

Clitoris mengandung erectile tissue sehingga berereksi dan banyak mengandung ujung syaraf perasa. Syaraf ini memegang peranan penting pada waktu kopulasi. Clitoris bereaksi pada hewan yang sedang estrus, tetapi hal ini tidak cukup untuk dijadikan sebagai pendeteksi estrus pada spesies (Widayati et al.,2008).

MATERI DAN METODE

 

Materi

Alat. Alat yang digunakan pada praktikum anatomi organ reproduksi hewan betina antara lain pisau, pita ukur, dan kertas kerja.

Bahan. Bahan yang digunakan pada praktikum anatomi organ reproduksi hewan betina antara lain berupa organ reproduksi domba betina Domba Ekor Tipis (DET) berumur 1 tahun dengan berat badan 18 kg.

Metode

Organ reproduksi domba betina diamati untuk kemudian diketahui fungsi dari masing-masing organ reproduksi domba betina tersebut. Masing-masing bagian organ reproduksi dibedakan, lalu dilakukan pengukuran dengan seksama menggunakan pita ukur atau mistar ukur pada masing-masing bagiannya. Semua hasil pengukuran dicatat pada kertas kerja.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Hewan betina tidak saja menghasilkan sel-sel kelamin betina yang penting untuk membentuk suatu individu baru, tetapi juga menyediakan lingkungan dimana individu tersebut terbentuk, diberi makan dan berkembang selama masa-masa permulaan hidupnya. Fungsi-fungsi ini dijalankan oleh organ-organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer, ovarium, menghasilkan ova (sel telur) dan hormon-hormon kelamin betina. Organ-organ reproduksi sekunder atau saluran reproduksi terdiri dari tuba fallopii (oviduct), uterus, cervix, vagina, dan vulva. Fungsi organ-organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan individu baru. Kelenjar air susu dapat dianggap sebagai suatu organ kelamin pelengkap, karena sangat erat berhubungan dengan proses-proses reproduksi dan esensial untuk pemberian makanan bagi individu yang baru lahir (Feradis, 2010).

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan data organ reproduksi Domba Ekor Tipis betina dara umur 1 tahun dengan berat badan 18 kg adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil pengukuran organ reproduksi betina

Nama Organ Hasil Pengukuran
Panjang(cm) Lebar(cm) Tinggi(cm) Keterangan
Bursa OvariumOvariumOviductUterus

Corpus Uteri

Cornu Uteri

Portio Uteri

Cervix Uteri

Vulva

Vestibulum6,613,8

4,5

2

4,8

0,7

22,50,8-

1,2

2,5-0,4-

 

 

Menutup

 

Portio Vaginales Cervices5–

Ovarium

            Ovarium yaitu organ betina yang homolog dengan testes pada hewan jantan. Berbeda dengan testes, ovarium tertinggal di dalam cavum abdominalis. Ovarium mempunyai dwifungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina, estrogen dan progesteron (Feradis, 2010). Fungsi ovarium adalah menghasilkan sel telur (ovum) dan sebagai kelenjar endokrin dan menghasilkan hormon estrogen, progesteron, dan inhibin (Widayati et al., 2008). Ovarium adalah organ primer (atau esensial) reproduksi pada betina seperti halnya testis pada hewan jantan. Ovarium dapat dianggap bersifat endokrin atau sitogenik (menghasilkan sel), karena mampu menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peradaran darah, dan juga ovum (jamaknya ova), yang dapat dilepaskan dari kelenjar (Frandson, 1992). Ovarium digantung atau disokong oleh suatu ligamentum yang luas (broad ligamentum) yang banyak terdapat syaraf-syaraf dan pembuluh darah (berfungsi memberi suplai zat-zat makanan yang diperlukan oleh ovarium dan saluran reproduksi). Ligamentum yang menggantung ovarium disebut mesovarium (Widayati et al., 2008). Antara ovarium dan oviduct terdapat suatu hubungan anatomik yang intim, walaupun tidak bersambung dalam arti kata yang sebenarnya. Ternak mamalia, ovarium terletak  di dalam bursa ovari yang terbuka, berbeda dengan pada tikus dimana ia berada dalam kantong tertutup. Sapi dan domba bursa ovari cukup lebar dan terbuka. Pada babi ia agak menutupi ovarium. Ovarium kuda ia sempit dan hanya menyelubungi fossa ovulatoris (Feradis, 2010).

            Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh bahwa pada bursa ovari memiliki panjang 0,6 cm dan lebar 2,5 cm, dan ovarium memiliki panjang 1 cm, lebar 0,8 cm, dan tinggi 0,4 cm. Menurut Hardjoprandjoto (1995), ovarium pada hewan pemamahbiak kecil seperti kambing dan domba, bentuknya bulat telur, sedikit gepeng, panjang antara 12 sampai 15 mm, dan beratnya antara 1 sampai 2 gram. Letaknya ada di dalam rongga pelvis. Berdasarkan literatur tersebut dikatehaui bahwa ovarium dalam keadaan normal. Faktor yang mempengaruhi perbedaan ukuran ovarium adalah umur, berat badan, dan bangsa. Menurut Feradis (2010), bentuk dan ukuran ovarium berbeda-beda menurut spesies dan fase estrus. Pada sapi dan domba ovarium berbentuk oval menyerupai buah almond, sedangkan pada kuda berbentuk seperti ginjal karena ada fossa ovulatoris, suatu legokan pada pinggir ovarium. Pada babi, ovarium berupa gumpalan anggur, folikel-folikel dan corpora lutea menutupi jaringan-jaringan ovarial di bawahnya.

            Ovarium mamalia terdiri dari dua buah. Waktu pertumbuhan embrional, ovarium akan mengalami sedikit penurunan (descensus ovarica) ke arah kaudal menjelang saat dilahirkan. Ovarium mempunyai permukaan licin pada waktu sebelum terjadinya ovulasi secara teratur, warnanya abu-abu sampai merah muda. Masa remaja, permukaan ovarium menjadi tidak rata karena terbentuk banyak folikel yang baru maupun folikel yang telah dewasa, disamping adanya corpus luteum dan corpus albikans. Bentuknya bervariasi tergantung kepada spesies hewan, dari bentuk bulat telur sampai dengan bentuk menyerupai kacang kara. Besarnya bertambah sesuai dengan bertambahnya umur maupun banyaknya anak yang dilahirkan. Golongan mamalia, ovarium terletak di dalam ronggga pelvis, sehingga organ ini sangat terlindungi dari kemungkinan kerusakan yang disebabkan oleh faktor luar. Letaknya bisa berubah-ubah karena adanya kebuntingan maupun umur yang bertambah, atau bisa juga karena terdesak oleh organ tubuh di sekitarnya (Hardjopranjoto, 1995). Ovarium memiliki beberapa bentuk tergantung dari golongan hewannya. Pada golongan hewan yang melahirkan beberapa anak dalam satu kebuntingan (polytocous), ovariumnya berbentuk seperti buah murbei, contohnya pada babi, anjing, dan kucing. Golongan hewan yang melahirkan satu anak dalam satu kebuntingan (monotocous), ovariumnya berbentuk bulat panjang oval, contohnya pada sapi dan kerbau, sedangkan pada kuda bentuknya seperti ginjal (Widayati et al., 2008).

 

Oviduct

            Nama lain dari oviduct adalah tuba fallopii, tuba uterina, salpinx, atau saluran telur. Oviduct adalah saluran yang sempit dengan dinding berotot licin, berfungsi menerima atau menangkap sel telur (ovum) yang diovulasikan. Sel telur yang telah dibuahi akan diteruskan ke uterus sebagai akibat dari kontraksi dinding oviduct (Hardjopranjoto, 1995). Tuba fallopii atau oviduct merupakan saluran paling anterior, kecil, berliku-liku dan terasa keras seperti kawat terutama pada pangkalnya. Oviduct tergantung di dalam mesosalpinx (Feradis, 2010). Menurut Widayati et al. (2008), fungsi oviduct adalah menerima sel telur yang diovulasikan oleh ovarium, transport spermatozoa dari uterus menuju ke tempat pembuahan, tempat terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa (fertilisasi), tempat terjadinya kapasitasi spermatozoa, memproduksi cairan sebagai medium terjadinya pembuahan dan kapasitasi spermatozoa, dan transport ovum yang telah dibuahi (zigot) menuju ke uterus.

            Berdasarkan data hasil praktikum, diperoleh data bahwa panjang oviduct dari domba ekor tipis adalah 3,8 cm. Menurut Feradis (2010), domba memiliki oviduct sepanjang 15 sampai 19 cm. Menurut Widayati et al. (2008), kambing dan domba memiliki oviduct sepanjang 15 sampai 30 cm. Berdasarkan literatur tersebut diketahui bahwa panjang oviduct berada di bawah kisaran normal. Faktor yang mempengaruhi perbedaan ukuran dari oviduct  adalah umur, berat badan, dan bangsa. Menurut Lewis and Berardinelli (2001), luas permukaan ampulla dapat meningkatkan distribusi produk yang keluar dari sel-sel sekresi dari ampula yang mungkin terlibat dengan pemupukan dan perkembangan embrio awal. Fungsi dari oviduct antara lain kapasitasi spermatozoa, fertilisasi, dan tempat pembelahan embrio.

            Oviduct terbagi menjadi tiga bagian, yaitu infundibulum, ampula, dan isthmus (Widayati et al., 2008). Oviduct dapati dibagi atas infundibulum dan fimbriae, ampulla, dan isthmus. Ujung oviduct dekat ovarium membentang ternganga membentuk suatu struktur berupa corong, infundibulum. Luas permukaan infundibulum mencapai 6 sampai 10 cm2 pada domba, dan 20 sampai 30 cm2 pada sapi. Muara infundibulum, ostium abdominale, dikelilingi oleh penonjolan-penonjolan ireguler pada tepi ujung oviduct, fimbriae. Fimbriae tidak bertaut dengan ovarium kecuali pada kutub atas organ tersebut terakhir. Hal ini menjamin pendeatan fimbriae ke permukaan ovarium. Ampulla oviduct merupakan setengah dari panjang oviduct dan bersambung dengan daerah oviduct yang sempit, isthmus. Isthmus dihubungkan secara langsung ke cornua uteri (pada kuda ia memasuki cornu dalam bentuk suatu papila kecil). Tidak ada otot sphincter dalamm arti kata yang sebenarnya pada daerah pertemuan utero-tubal. Namun pada babi, pertemuan ini dilengkapi dengan penonjolan-penonjolan mucosa panjang berbentuk jari yang berasal dari oviduct memasuki lumen uterus sebagai lipatan-lipatan yang cukup baik pemberian darahnya. Sapi dan domba, terdapat suatu pembengkakan yang nyata pada pertemuan ­utero-tubal, terutama selama estrus (Feradis, 2010).­

Uterus

            Uterus merupakan bagian saluran organ kelamin yang berbentuk buluh, berurat daging licin, untuk menerima ovum yang telah dibuahi atau embrio dari oviduct, dan pemberian makanan dan perlindungan bagi fetus, selanjutnya untuk mendorong fetus ke arah luar pada saat kelahiran. Bentuk morfologi uterus pada berbagai spesies hewan berbeda-beda menurut derajat ersenyawaan dari saluran muller pada periode embrional (Hardjopranjoto, 1995). Uterus adalah salah satu saluran reproduksi betina selain tuba fallopi, serviks dan vagina. Perubahan struktur dan fungsi uterus ditentu-kan oleh siklus hormonal betina. Pada setiap siklus, awalnya fungsi uterus menyiapkan penerimaan dan transportasi spermatozoa dari cervix ke tuba fallopi. Bila terjadi pembuahan, pada masa kehamilan, uterus menjadi tempat tumbuhnya zygot, hingga kelahiran tiba (Johnson, 1980 dalam Agustini et.al., 2007).

Fungsi uterus itu banyak, sebagai contoh, sebagai jalannya sperma pada saat kopulasi dan motilitas (pergerakan) sperma ke oviduct dibantu dengan kerja yang sifatnya kontraktil. Pada minggu-minggu awal masa kebuntingan, uteruslah yang mendukung perkembangan embrio melalui sekresi dari kelenjar uterus dan plasma darah (susu uterin). Uterus yang dapat mengalami perubahan-perubahan besar dalam ukuran serta bentuknya, berperan sebagai temoat perlekatan melalui plasetom bagi embrio yang sedang berkembang selama kebuntingan. Uterus juga berperan besar dala mendorong fetus serta membrannya pada saat kelahiran. Uterus kemudian dapat kembali dengan cepat ke bentuk semula setelah kelahiran, melalui proses involusi Blakely and Bade, 1998).

Berdasarkan data hasil praktikum, diperoleh data bahwa panjang uterus domba ekor tipis pada bagian corpus uteri adalah 4,5 cm dan cornu uteri adalah 2 cm. Menurut Feradis (2010), panjang corpus uteri pada domba adalah 1 sampai 2 cm dan pada cornu uteri adalah 10 sampai 12 cm. Berdasarkan literatur tersebut diketahui bahwa panjang uterus baik bagian cornu uteri maupun corpus uteri dalam keadaan tidak normal. Faktor yang mempengaruhi perbedaan ukuran uterus adalah umur, berat badan, dan bangsa.

Uterus digantung oleh ligamentum (mesometrium) yang bertaut pada dinding ruang abdomen dan ruang pelvis. Uterus merupakan suatu struktur saluran muskuler yang diperlukan untuk menerima ovum yang telah dibuahi dan perkembangan zigot. Uterus terdiri atas cornu, corpus, dan cervix. Proporsi relatif masing-masing bagian ini, bentuk dan susunan cornu uteri berbeda-beda dari tiap spesies (Widayati et al., 2008). Utero tubal junction sebenarnya merupakan konstriksi sphincter akibat tingginya konsentrasi sel otot sirkuler myometrium tuba falopii yang memisahkan bagian ujung cornue uteri dengan awal tuba falopii. Hubungan ini muncul sebagai papila dalam endometrium, memisahkan bagian akhir dari cornue uteri dengan awal tuba falopii. Ovum yang telah difertilisasi akan melewati utero tubal junction untuk selanjutnya berimplantasi (Moret dalam Jamalia, 2006).

Uterus babi tergolong uterus bicornus dengan cornu yang sangat panjang tetapi corpus yang sangat pendek. Hal ini merupakan suatu penyesuaian anatomik untuk keberhasilan produksi anak dalam jumlah banyak. Sapi, domba, dan kuda, dengan uterus yang tergolong uterus bipartitus, terdapat suatu dinding penyekat (septum) yang memisahkan kedua cornu dan corpus uteri yang cukup panjang (Paling besar pada kuda). Pada sapi dara setiap cornu membentuk satu putaran spiral lengkap, sedangkan pada sapi-sapi pluripara (sudah sering beranak) spiral tersebut sering hanya mencapai setengah putaran (Feradis, 2010). Menurut Widayati et al. (2008), uterus bicornus adalah cornu uterus sangat panjang tetapi corpus  sangat pendek, contoh pada babi. Uterus bipartitus terdapat satu dinding penyekat yang memisahkan kedua cornu dan corpus uteri cukup panjang. Pada sapi dara setiap cornu uteri membentuk satu putaran spiral lengkap, sedangkan pada sapi-sapi pluripara spiral tersebut hanya mencapai setengah putaran. Uterus duplex terdapat dinding penyekat pada cervixnya. Pada tikus, kelinci, marmot dan binatang kecil lainnya. Uterus simplex berbentuk seperti buah pir, contohnya pada manusia dan primata.

Plasenta adalah suatu alat yang berfungsi untuk menyelenggarakan pertukaran bahan-bahan secara timbal balik antara induk dan fetus, disamping bekerja sebagai kelenjar endokrin. Menurut anatomi atau bentuknya, plasenta dibagi menjadi 4 macam yaitu plasenta diffusa terdapat pada kuda dan babi, hampir seluruh permukaan chorion dan endometrium uterus bersama-sama membentuk plasenta, kecuali bagian-bagian apek chorion yang berbatasan dengan chorion dari fetus babi di sebelahnya

Cervix

            Cervix adalah suatu struktur berupa sphincter yang menonjol ke caudal ke dalam vagina. Ia dikenal dari dindingnya yang tebal dan lumen yang merapat. Walaupun struktur cervix berbeda-beda antara ternak-ternak ruminansia, dindingnya ditandai oleh berbagai penonjolan-penonjolan. Pada ruminansia, penonjolan ini terdapat dalam bentuk lereng-lereng transversal dan saling menyilang, disebut cincin-cincin anuler yang berkembang sampai derajat yang berbeda pada berbagai spesies. Cincin ini sangat nyata pada sapi (biasanya 4 buat) dan pada domba, yang dapat menutup rapat cervix secara sempurna. Cincin pada babi tersebut tersusun dalam bentuk sekrup pembuka botol yang disesuaikan dengan perputaran spiralis jung penis babi jantan. Cervix kuda terdapat lipatan-lipatan mucosa yang nyata dengan penonjolannya yang memanjang ke dalam vagina (Feradis, 2010).

            Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa cervix domba ekor tipis yang diamati memiliki panjang 4,8 cm dan lebar 1,2 cm. Kondisi dari portio uteri adalah menutup yang menunjukkan bahwa domba tersebut sedang dalam keadaan tidak estrus. Menurut Feradis (2010), domba memiliki cervix dengan panjang 4 sampai 10 cm dan diameter luar atau lebar adalah 2 sampai 3 cm. Berdasarkan literatur tersebut diketahui bahwa cervix dari domba ekor tipis tersebut dalam keadaan normal.

            Cervix berfungsi sebagai otot penutup uterus pada hewan betina yang sedang bunting. Pada permukaan dalam cervix terdapat saluran yang disebut canalis cervicalis. Pada bagian depan terdapat mulut sebelah dalam (orificium uteri internum), sedang pada bagian belakangnya terdapat mulut sebelah luar (orificium uteri externum) atau sering juga disebut sebagai mulut vagina (orificium vaginae) karena bekerja sebagai pintu ke vagina. Ke arah vagina ada bagian cervix yang menjulur keluar, kecuali pada babi, disebut portio vaginalis uteri. Bentuk mukosanya bervariasi tergantung kepada spesies hewannya. Cairan lendir yang bening dikeluarkan pada waktu birahi, atau waktu melahirkan dan setelahnya, menyebabkan saluran cervix menjadi lebih licin dan terbuka. Sebaliknya, pada waktu di luar masa birahi atau pada waktu bunting, cervix menghasilkan lendir yang kental, menutup salurannya sehingga membuat cervix tertutup rapat. Pelebaran saluran cervixs diwaktu birahi dan melahirkan merupakan proses kompleks yang terjadi karena dirangsang secara neuro hormonal, sebagian berlangsung pasif dan sebagian yang lain aktif (Hardjopranjoto, 1995). Cervix berfungsi untuk mencegah benda-benda asing atau mikroorganisme memasuki lumen uterus. Cervix tertutup rapat kecuali selama estrus, pada waktu dimana terjadi relaksasi dan sperma dimungkinkan memasuki utrerus. Mucus dilepaskan dari cervix dan dikeluarkan melalui vulva. Selama kebuntingan sejumlah besar mucus tebal disekresikan oleh sel-sel goblet cervixyang menutup atau menyumbat mati canalis cervicalis sehingga menghambat pemasukan materi infectious. Waktu lain dimana cervix terbuka adalah sesaat sebelum partus. Pada waktu ini penyumbat cervix mencair dan cervix mengembang (dilatasi) untuk memungkinkan pengeluaran fetus dan selaput-selaputnya (Feradis, 2010).

Vagina

            Vagina adalah bagian saluran peranakan yang terletak di dalam pelvis di antara uterus (arah cranial) dan vulva (caudal). Vagina juga berperan sebagai selaput yang menerima penis dari hewan jantan pada saat kopulasi (Frandson, 1992). Vagina adalah organ kelamin betina dengan struktur selubung muskuler yang terletak di dalam rongga pelvis dorsal dari vesica urinaria dan berfungsi sebagai alat kopulatoris dan sebagai tempat berlalu bagi fetus sewaktu partus (Feradis, 2010). Vagina memiliki fungsi sebagai alat kopulasi dan tempat semen dideposisikan (pada ruminansia), saluran keluar dari cervix, uterus, dan oviduct, dan jalan peranakan selama proses beranak (Widayati et al., 2008).

            Vagina terletak di bagian belakang dari rongga pelvis sebelah atas dari kantong kencing. Pada waktu melahirkan rongga vagina dapat meluas dan membesar sesuai dengan besar fetus yang akan dilahirkan (Hardjopranjoto, 1995). Vagina berbentuk pipa, berdinding tipis dan elastis. Lapisan luar berupa tunika serosa yang diikuti oleh lapisan otot polos yang mengandung serabut otot longitudinal dan sirkular. Lapisan mukosa umumnya terbentuk dari stratified squamous epithelial cells. Sel epitel ini berubah menjadi sel yang tanpa nukleus karena pengaruh estrogen. Membran mukosa vagina terdiri dari sel kelenjar dan sel bersilia. Sel kelenjarnya sangat sedikit yaitu hanya pada bagian depan. Sel kelenjar ini menghasilkan lendir yang berfungsi sebagai lubrikasi dan melindungi terjadinya aberasi pada saat kopulasi (Widayati et al., 2008). Menurut Widayati et al. (2008), ukuran vagina bervariasi tergantung pada jenis hewan, umur, dan frekuensi melahirkan (semakin sering melahirkan, maka vagina semakin lebar). Veagina terdiri dari dua bagian, yaitu portio vaginalis cervices (bagian yang dekat cervix) dan vestibulum.

            Bagian depan dari vagina mencakup portio vaginalis uteri dan permuaraan luar uterus dinamakan fornix vaginae. Dindingnya tipis terdiri dari otot licin, lumennya diseliputi oleh selaput mukosa yang berlipat-lipat, tanpa kelenjar, di mana lapisan mukosanya memperlihatkan berbagai keadaan yang secara fungsional tergantung kepada fase dari siklus birahinya (Hardjopranjoto, 1995). Legokan yang dibentuk oleh penonjolan cervix ke dalam vagina disebut fornix. Ia dapat membentuk suatu lingkaran penuh sekeliling cervix seperti pada kuda atau atau tidak ada sama sekali seperti pada babi. Suatu fornix dorsal dapat ditemukan pada sapi dan domba (Feradis, 2010). Fornix vaginae adalah suatu sudut atau refleksi, yang dibentuk oleh proyeksi pelvis ke dalam vagina. Fornix dapat berbentuk lingkaran lengkap di sekitar cervix seperti pada kuda betina atau dapat juga tidak ada sama sekali, seperti pada babi, dimana ujung caudal cervix bersambung dengan vagina. Pada sapi, domba dan kambing, hanya fornix dorsal saja yang nampak jelas (Frandson, 1992).

Vulva

            Vulva merupakan organ genitalia eksterna, yang terdiri dari vestibulum dan labia. Vestibulum  merupakan bagian dari saluran kelamin betina yang berfungsi sebagai saluran reproduksi urinaria. Vestibulum bergabung dengan vagina pada orifice urethra externa. Vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume darah yang mengalir ke dalamnya (Widayati et al., 2008). Vulva (pedundum femininum) adalah bagian eksternal dari genitalia betina yang terentang dari vagina sampai ke bagian yang paling luar. Pertautan antara vagina dan vulva ditandai oleh orifice urethra externa dan sering juga oleh suatu pematang, pada posisi cranial terhadap orifice urethra externa, yaitu hymen vestigial. Seringkali hymen tersebut demikian rapat hingga mempengaruhi kopulasi. Vestibulum vagna adalah bagian tubular dari saluran reproduksi antara vagina dan labia vulva. Umumnya vestibulum dianggap sebagai bagian vulva, tetapi N.A.V. (Nomina Anatomika Veterinaria) mencatatnya sebagai bagian terpisah baik dari vagina maupun vulva (Frandson, 1992).    Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh data bahwa panjang vulva dari domba ekor tipis tersebut sepanjang 0,7 cm, vestibulum sepanjang 2 cm, dan portio vaginales cervices sepanjang 5 cm. menurut Hardjopranjoto (1995), panjang vulva domba adalah 3 sampai 4 cm, dan menurut Feradis (2010), panjang vestibulum domba adalah 2,5 sampai 3 cm. Berdasarkan literatur tersebut diketahui bahwa vulva dan vestibulum  dari domba tersebut berada di bawah kisaran normal.

Labia terdiri atas labia mayora (lipatan luar vulva) dan labia minora (lipatan dalam vulva). Labia minora homolog dengan preputium pada hewan jantan dan tidak menyolok pada hewan ternak. Labia mayora homolog dengan skrotum pada hewan jantan (Widayati et al., 2008). Dari luar terlihat kedua bibir vulva (labia vulva) yang bersatu membentuk celah atas (commissura dorsalis) dan celah bawah (commissura ventralis). Bibir vulva yang berambut halus sebenarnya adalah penebalan kulit, dapat berpigmen atau dapat juga tidak, tergantung spesiesnya. Di bawah kulit terdapat lapisan lemak di samping beberapa urat daging melingkar (circulair) yang bekerja sebagai sphincter, yang dapat menutup saluran vulva dari dunia luar. Lapisan dalam bibir vulva berubah menjadi selaput lendir kutan dengan anus terdapat perineum, yaitu kulit yang terdiri dari jaringan ikat dan urat daging yang dapat sobek atau rusak pada waktu kelahiran yang berat (Hardjopranjoto, 1995).

 

Clitoris

            Clitoris homolog dengan glans penis pada hewan jantan, berlokasi pada sisi ventral, sekitar 1 cm di dalam labia. Clitoris mengandung erectile tissue sehingga dapat berereksi. Juga banyak mengandung ujung syaraf perasa, syaraf ini memegang peranan penting pada waktu kopulasi. Clitoris bereaksi pada hewan yang sedang estrus, tetapi hal ini tidak cukup untuk dijadikan sebagai pendeteksi estrus pada kebanyakan spesies (Widayati et al. 2008). Komisura ventral (bagian paling bawah) dari vulva terdapat clitoris yang merupakan organ yang asal-usul embrionalnya sama dengan penis pada hewan jantan. Clitoris terdiri atas dua krura atau akar, badan dan kepala (glans). Clitoris terdiri dari jaringan erektil yang tertutup oleh epitel skuamus berstrata dan dengan sempurna memperoleh inervasi dari ujung-ujung saraf sensoris (Frandson, 1992).

            Clitoris terletak pada bagian belakang dari celah bawah vulva. Bentk dan sifatnya menunjukkan persamaan dengan penis. Kebanyakan hewan, clitoris panjangnya 5 sampai 10 cm, tetapi semuanya tersembunyi dalam rongga antara kedua bibir vulva. Bibir vulva biasanya tertutup rapat karena otot spinchter, sehingga tidak menguak (Hardjopranjoto, 1995). Kebanyakan ternak memiliki clitoris berukuran panjang kira-kira 5 sampai 10 cm, tetapi seluruhnya praktis tersembunyi di dalam jaringan antara vulva dan arcus ischiadieus. Clitoris terdiri dari jaringan erektil yang diselubungi oleh epitel skuamus bersusun dan mengandung cukup banyak ujung-ujung syaraf sensoris. Sebagian terbesar clitoris pada sapi terkubur di dalam mukosa vestibulum. Clitoris pada kuda berkembang baik, sedangkan pada babi berbentuk panjang dan berkelok berakhir pada suatu titik atau puncak kecil (Feradis, 2010).

KESIMPULAN

 

Berdasarkan hasil praktikum yang kemudian dibandingkan dengan literatur diperoleh kesimpulan bahwa ovarium, cervix, vagina dan clitoris pada keadaan normal sedangkan oviduct, uterus dan vulva dalam keadaan tidak normal. Ketidaknormalan ini dapat dikarenakan faktor jenis, umur, siklus reproduksi, aktivitas, dan jenis pakan.

Fungsi-fungsi dari masing-masing alat reproduksi betina tersebut antara lain ovarium berfungsi sebagai penghasil hormon estrogen, progesteron, inhibin, dan memproduksi ovum. Oviduct berfungsi sebagai transpor spermatozoa dari uterus menuju ampulla, tempat pertemuan ovum dengan spermatozoon (fertilisasi), tempat terjadinya proses kapasitasi spermatozoa, memproduksi cairan, dan transpor ovum yang telah dibuahi. Uterus berfungsi sebagai saluran yang dilewati spermatozoa menuju oviduct, tempat implantasi embrio, tempat pertumbuhan dan perkembangan embrio, berperan dalam proses kelahiran, dan pada hewan betina yang tidak bunting berfungsi mengatur siklus estrus. Cervix berfungsi sebagai penutup lumen sehingga tidak memberi kemungkinan untuk masuknya jasad remik kedalam uterus, dan tempat reservoir spermatozoa. Vagina berfungsi sebagai alat kopulasi dan tempat sperma dideposisikan pada saat perkawinan alami, merupakan saluran keluar sekresi cervix, uterus, oviduct, dan jalan peranakan selama proses beranak. Clitoris berperan penting pada waktu kopulasi.


DAFTAR PUSTAKA

Agustini, K., Sumali W., dan Dadang K. 2007. Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum L.) terhadap Perkembangan Uterus Tikus Putih Betina Galur Wistar Prepubertal. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 9 No. 1. Hlm. 8-16.

Anonim. 2013. Ovarium Female Anatomy and Histology. (http://www.ansci.wisc.edu/jjp1/ansci_repro/lec/lec1/female_hist.html). Accesion date at December 2nd, 2014 time 22.02 WIB.

Blakely, J., and D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Dellmann, H. Dieter and Etsher M. Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Universitas Indonesia press. Jakarta.

Farrer, H. 1996. Perawatan Maternitas. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Feradis. 2010. Reproduksi Ternak. Alfabeta. Bandung.

Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.

Jamalia, R. 2006. Kajian Karakteristik Anatomi dan Morfometri Reproduksi Betina Kuda Lokal Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lewis, A. W., J. G. Berardinelli. 2001. Gross Anatomical and Histomorphometric Characteristics of The Oviduct and Uterus During The Pubertal Transition in Sheep. Department of Animal and Range Sciences, Montana State University, Bozeman 59717-2900.

Pearce, E.C. 1995. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerbit Buku Kesehatan EGC. Jakarta.

Widayati, D.T, Kustono., Ismaya., S. Bintara. 2008. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yusuf, M. 2012. Buku Ajar Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Yuwanta, T. 2004. Dasar-dasar Ternak Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Download file Laporan Anatomi Betina